Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Ilusi Cermin: Mimpi yang Berbohong

Ilusi Cermin: Mimpi yang Berbohong

Alzena Fayi | Bersambung
Jumlah kata
145.5K
Popular
100
Subscribe
9
Novel / Ilusi Cermin: Mimpi yang Berbohong
Ilusi Cermin: Mimpi yang Berbohong

Ilusi Cermin: Mimpi yang Berbohong

Alzena Fayi| Bersambung
Jumlah Kata
145.5K
Popular
100
Subscribe
9
Sinopsis
HorrorHorrorMisteriPsikopatThriller
Dika, datang ke klinik psikiatri dr. Raya dengan keluhan kerap bermimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat pembunuhan-pembunuhan mengerikan dengan detail yang sangat jelas. Awalnya, dr. Raya menganggap ini sebagai gejala gangguan psikotik. Namun, ketika melihat berita, pembunuhan benar terjadi persis seperti yang Dika gambarkan, dan dr. Raya mulai curiga. Ada apa sebenarnya? Simak kisahnya di sini!
Prolog

“Gimana, hm ... hm ....”

“Tidak!”

Seorang pria terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, seolah baru saja berenang dalam genangan kecemasan. Matanya langsung membelalak, membeliak menatap ke langit-langit kamar. Kosong, dan ia diredam ketakutan. Lampu neon di pojok ruangan berkedip-kedip seperti nyala lilin yang hampir padam, membuat bayangan-bayangan di dinding bergerak-gerak tak menentu.

Tangan pria di penghujung usia 20-an tahun itu bergetar. Lututnya ditekuk, tubuhnya menggigil.

“Tadi ....” Ia menelan ludah, suaranya serak. “Apa ... apa itu tadi?”

Ia terduduk dengan kepala pening. Isi kepalanya tak dapat berpikir tenang. Pun, ia juga tak bisa mengontrol diri, ia memeluk dirinya sendiri, menggeser pantat, dan meringkuk di pojok ranjang seperti anak kecil yang baru saja kehilangan kepercayaan pada dunia.

Napasnya memburu, dadanya naik-turun dengan ritme was-was yang tak bisa ia kendalikan. Matanya mengarah ke cermin di seberang ruangan—cermin yang retak di sudutnya, memantulkan dirinya yang seakan tak utuh.

“Aku lihat lagi,” bisiknya. “Aku lihat dia ... darah itu ... tangannya ... wajahnya ... aku ... aku ada di sana ....”

Pria itu meremas rambutnya. Ia kalut. Lalu, suara lain datang memberondong. Berbisik, menggema di kepalanya.

“Sial! Nggak, nggak!”

Pria itu menjerit tertahan. Frustrasi. Ia menutupi telinganya, menekan kepalanya ke lutut, berharap suara-suara asing yang menghantuinya itu lenyap. Namun, suara itu tak pernah benar-benar pergi. Kian menggerogoti jiwa.

***

Seorang wanita kisaran usia 55 tahun, dengan tag nama yang terjepit rapi di dada—dr. Raya Wolanda Sp.Kj—dengan percaya diri memukau khalayak.

Dr. Raya berdiri di atas panggung, mengenakan setelan abu-abu yang rapi dan kemeja biru lembut. Aula rumah sakit ternama ini sudah penuh sesak oleh dokter, mahasiswa kedokteran, dan beberapa wartawan medis yang duduk di barisan belakang, mencatat setiap kata yang ia ucapkan.

“Gangguan psikotik bukan hanya tentang kehilangan kendali atas realitas,” Suara dr. Raya tenang, stabil, tak tergesa-gesa. “Tetapi, juga tentang bagaimana trauma bisa mengakar dalam pikiran seseorang dan mengubahnya menjadi sebuah dunia yang sama sekali berbeda.”

Ia menatap audiens dengan tatapan tajamnya. Menganalisis siapa saja yang menghadiri seminar yang ia bawakan kali ini.

“Pasien dengan skizofrenia, gangguan delusi, atau PTSD berat sering mengalami halusinasi yang begitu nyata hingga mereka tak bisa membedakan mana kenyataan dan mana ilusi. Dalam kasus tertentu, mereka bahkan bisa mengalami apa yang disebut sebagai ‘delusi bersama’ atau ‘folie à deux’—delusi yang dibagi dengan orang lain.”

Beberapa orang terlihat mengangguk, terpesona oleh pembahasan dokter senior di stase kejiwaan ini.

“Tapi pertanyaannya,” dr. Raya berhenti sejenak, menyapu pandangannya lahi ke seluruh aula. “Jika otak kita bisa menciptakan ilusi yang begitu nyata, bagaimana kita bisa yakin bahwa realitas yang kita alami ini memang benar-benar nyata?”

Hening.

Sesaat, hanya ada suara detak jam dan bisikan samar di antara para peserta.

Kemudian, tepuk tangan memenuhi ruangan. Riuh, pembawaan materi seminar dr. Raya ditutup dengan apik. Dr. Raya tersenyum tipis. Ia menutup sesi seminar dengan beberapa tanya-jawab, lalu mengambil jasnya dan berjalan keluar dari panggung. Ia tak ingin berlama-lama, waktunya selalu lebih penting.

***

Malam sudah turun, menyelimuti kota dengan selendang kelam yang dihiasi gemerlap lampu jalan. Dr. Raya melangkah keluar dari aula, meninggalkan ruangan yang masih samar dipenuhi suara-suara rendah.

Seminar sudah usai, tetapi percakapan-percakapan kecil masih bergelut di udara, menggantung di antara para peserta yang berdiri berkelompok, membahas apa yang telah mereka dengar. Kata-katanya tentang trauma, delusi, dan batas tipis antara kenyataan dan ilusi, masih mengendap di benak mereka, sementara dr. Raya sendiri lebih ingin lekas sampai rumah.

Sepatunya menyentuh lantai koridor rumah sakit yang dingin, langkahnya mantap, teratur. Setiap derap yang terdengar seolah memiliki ritme sendiri—ritme yang bagi seorang wanita ini terlalu rapi, terlalu mekanis, seperti sesuatu yang telah ia jalani ribuan kali tanpa benar-benar hadir di dalamnya.

Dr. Raya mengembuskan napas. Rutinitasnya memang tampak monoton.

Tak lama, ponselnya bergetar. Dr. Raya berhenti.

Cahaya putih dari layar ponsel menusuk matanya yang sudah letih, refleksi sinarnya menari di netra. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.

“Kamu tidak bisa menyembunyikan kebenaran selamanya.”

Tenggorokan dr. Raya mengering. Hawa di sekelilingnya terasa berubah, tiba-tiba menjadi lebih berat, menekan tulang belikatnya dengan beban yang tak terlihat. Matanya menyipit, menatap barisan kata-kata di layar dengan ekspresi datar—terlalu datar.

Tangan dr. Raya bergerak pelan, jemarinya menekan tombol ‘hapus’. Tanpa ragu, tanpa ekspresi. Seolah pesan itu hanya serpihan debu yang bisa ia tiup pergi kapan saja.

Ia menarik napas dalam-dalam. Lalu, kembali melangkah.

Di luar, langit digelayuti gelap, menciptakan kanvas yang nyaris tanpa warna, hanya kelabu yang membentang luas. Lampu-lampu jalan bersinar temaram, cahayanya terpecah oleh rintik hujan, membentuk bias-bias yang berpendar samar. Bayangan pepohonan bergoyang lemah ditiup angin, menciptakan ilusi seperti sosok-sosok yang bergerak, mengawasi, menunggu.

Dr. Raya merapatkan jasnya. Udara dingin menembus pakaian, menyusup ke pori-porinya. Ada sesuatu yang terasa salah. Entah apa.

Meski langkahnya teratur, tetapi ada irama aneh yang ikut berdenting di kepala—sesuatu yang tak kasatmata, tetapi jelas terasa.

Perasaan itu datang lagi. Seperti ada yang mengawasinya.

Dr. Raya memperlambat langkah, membiarkan indranya menyelami suasana. Di kejauhan, di bawah sorot lampu jalan yang remang, terlihat sosok berdiri. Diam. Tidak bergerak.

Dr. Raya menahan napas. Sosok itu terlalu tegak, terlalu beku. Seolah bukan manusia, melainkan patung yang diletakkan di tempat yang salah. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi ia tahu—seseorang itu sedang menatapnya.

Dr. Raya menggeser kakinya, tubuhnya sedikit menegang. Ia menoleh, memastikan tak ada siapa-siapa di sekelilingnya. Kosong. Hanya deretan mobil yang terparkir, bercermin dalam genangan air hujan.

Ia menatap kembali ke depan. Sosok itu sudah menghilang.

Tak dimungkiri, jantung dr. Raya berdetak lebih cepat, tetapi ia tidak membiarkan kepanikannya menjalar kian menjadi. Ia menarik napas perlahan, mencoba merasionalisasi semuanya. Barangkali hanya efek cahaya, atau mungkin bayangan pohon yang ia lihat sekilas lalu membentuk ilusi di pikirannya.

Tanpa membuang waktu lagi, ia membuka pintu mobil, masuk, dan menutupnya dengan cepat. Di dalam, suara di luar terdengar lebih jauh, lebih teredam. Ia bersandar sejenak, membiarkan kepalanya menyentuh sandaran kursi, memejamkan mata sejenak sebelum menyalakan mesin mobil.

Namun, sebelum ia bisa menekan pedal gas, suara ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan baru muncul di layar.

“Kamu tidak bisa lari darinya.”

Dada dr. Raya terasa mengencang. Jari-jarinya menegang di atas layar, sementara pikirannya berputar mencari penjelasan. Siapa yang mengirim ini? Apa maksudnya?

Matanya tanpa sadar terangkat, menatap kaca depan. Dan untuk sesaat—untuk sesaat saja, ia merasa ada sesuatu yang lain di mobilnya. Bayangan yang tak seharusnya ada. Bukan miliknya.

Ia menatap lebih lama, mencoba memastikan. Tetapi, ketika ia berkedip, pantulan itu kembali seperti semula. Hanya dirinya sendiri di mobil. Tak ada siapapun.

Netra dr. Maya beralih menatap ponsel. Refleks ia menekan tombol ‘hapus’ sekali lagi. Tanpa suara, tanpa ekspresi. Ia tidak lagi ingin bertanya-tanya. Ia tidak ingin lagi mencari jawaban. Ia hanya menghapus.

Dr. Raya menghidupkan mesin mobil, kemudian mengemudi pergi meninggalkan pelataran parkir khusus rumah sakit. Tanpa menyadari bahwa di belakang mobilnya—di antara bias malam—sesuatu masih ada di sana.

Mengawasinya.

***

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca