Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pacarku Mama Muda

Pacarku Mama Muda

Karya saya | Bersambung
Jumlah kata
43.3K
Popular
100
Subscribe
30
Novel / Pacarku Mama Muda
Pacarku Mama Muda

Pacarku Mama Muda

Karya saya| Bersambung
Jumlah Kata
43.3K
Popular
100
Subscribe
30
Sinopsis
18+PerkotaanSekolahIdentitas TersembunyiCinta SekolahDarah Muda
Cerita ini Berlatar Disebuah SMA Yang Populer disebut SMA Napi (Naik tapi Pindah). tentang persahabatan Subarjo (Bejo) dan Satiur (Tiur). Bejo menyukai Mona Seorang siswi disekolah mereka. Mona sendiri adalah Gadis yang sangat kasar, yang pindah sekolah, karna banyak terlibat keributan disekolah sebelumnya. Pada akirnya Bejo dan Mona jadian, dan menjadi pasangan unik. Dari Bejo, Tiur pun mengenal Tante Sekar, alias ibu mona. dia jatuh cinta pada Tante Sekar tsb. seperti Terong dicabein, akirnya Tiur dan Tante Sekar menjalin Hubungan. Namun Hubungan mereka dirahasiakan agar Mona tidak mengetahuinya. Bagaimana kisah Cinta Bejo dan Mona, bagaimana keseruan hari Tiur dan Bejo, dan bagaimana Ribet Tiur dan Tante sekar menjalani kehidupan mereka. makanya dibaca.... komen..... sebagai Dukungan Pena Sentang
Bab 1 Strategi Wakuncar

Di seberang gerbang utama SMA Napi—sekolah negeri yang terkenal bukan karena prestasi, tapi karena muridnya banyak yang “naik tapi pindah”—berdiri sebuah warung legendaris. Bukan legendaris karena makanan yang enak atau harga yang murah, tapi karena aura magisnya sebagai tempat persembunyian, markas strategi, ruang rapat dadakan, bahkan kadang tempat pengadilan cinta. Warung itu milik seorang pria paruh baya yang lebih sering dipanggil dengan nama keramat: Bang Cuplik.

Bang Cuplik bukan nama asli, tentu saja. Nama itu konon lahir karena satu-satunya mata yang berfungsi tinggal sebelah. Yang satu lagi sudah pensiun sejak tahun 2005 karena kena sambitan sandal saat mau melerai dua siswa yang tawuran rebutan kursi paling belakang. Tapi satu mata itu cukup untuk mengawasi belasan anak SMA yang tiap pagi, siang, sore, bahkan kadang malam, nongkrong di warungnya. Warung Bang Cuplik ibarat ruang tamu tidak resmi bagi siswa SMA Napi. Di sana, semua kasta sosial sekolah bisa duduk dalam satu meja: anak OSIS, anak band, anak yang cuma datang waktu ujian, bahkan yang katanya udah DO tapi masih sering kelihatan.

Warungnya sendiri sederhana—banget. Hanya sebuah bangunan setengah permanen, berdinding triplek yang sudah mulai reot, dengan atap seng yang kalau hujan suaranya bisa ngalahin konser metal. Di dalamnya ada meja kayu panjang, beberapa bangku plastik yang warnanya udah gak jelas antara biru pudar atau abu-abu berselimut debu, dan satu etalase kaca tempat gorengan dan roti sobek bertumpuk dengan takdir tak pasti.

Di sisi warung, ada lahan kosong beralas kerikil dan rumput liar. Di situlah kendaraan siswa diparkir. Dari motor beat sampai motor trail, semua numpuk jadi satu seperti puzzle yang salah susun. Terkadang, sepeda lipat dan motor tua tanpa plat juga ikut nimbrung. Tidak ada tukang parkir resmi, tapi Bang Cuplik hafal siapa pemilik tiap kendaraan. Bukan karena ingatan tajam, tapi karena hutang-hutang mereka yang tak pernah lunas.

Pagi itu, warung sudah ramai bahkan sebelum bel masuk. Seperti biasa, suara sepeda motor, tawa berlebihan, dan aroma mi instan jadi kombinasi khas pagi hari. Di antara keramaian itu, duduk dua orang sahabat: Bejo dan Tiur. Bejo dengan rambut belah tengah yang terlalu ambisius dan Tiur dengan jaket oversize dan wajah lempeng yang jarang serius. Mereka duduk di pojok warung, tempat favorit buat yang niat bolos tapi pengen tetap “terlihat sibuk”.

Warung Bang Cuplik bukan hanya tempat nongkrong, tapi tempat pelarian dari kenyataan. Dan pagi itu, seperti banyak pagi lainnya, akan menjadi awal dari cerita gila yang tak akan pernah mereka lupakan.

---

Tiur menyeruput kopi sachet yang diseduh setengah air, setengah ampas. Matanya masih berat, tapi tangannya sigap mengambil tahu isi dari piring plastik yang sudah mulai menyerap minyak seperti spons. Di sampingnya, Bejo duduk gelisah. Bukan gelisah karena kopi yang pahit atau karena guru MM (Manajemen Memesan) sudah mulai absen di kelas, tapi karena satu hal yang baru saja terjadi dalam hidupnya: dia jadian. Dengan Mona.

“Aku rasa, hidupku udah nggak akan sama lagi, Tiur,” kata Bejo pelan sambil mengaduk kopi yang dari tadi sudah larut semua.

Tiur melirik sekilas. “Ngomong gitu biasanya habis ngisi pulsa istri orang.”

“Bukan, woy. Aku jadian,” jawab Bejo sambil cengengesan.

“Siapa? Jangan bilang si Santi. Dia kan baru putus semalam.”

Bejo meneguk kopinya dan menatap Tiur dengan mata berbinar. “Mona.”

Seketika tangan Tiur yang memegang tahu isi berhenti di udara. Kepalanya menoleh perlahan ke arah Bejo seperti robot rusak. “Mona siapa?”

“Mona. Yang ketua geng cewek. Yang kemarin bikin cowok kelas sebelah nangis gara-gara komentar story-nya salah. Yang kalo jalan, angin aja minggir.”

Tiur mendengus. “Yang tiap bulan HP-nya pecah karena dilempar ke tembok?”

Bejo mengangguk cepat.

“Yang pernah nyubit guru BP karena dilarang bawa cutter ke kelas?”

“Iya, itu Mona-ku.”

Tiur langsung meletakkan tahu isi ke piring, lalu menyatukan kedua telapak tangannya seperti mau mendoakan arwah. “Turut prihatin, Jo. Semoga engkau kuat di jalan cinta yang penuh kekerasan verbal dan fisik ini.”

“Eh jangan gitu, Tiur. Dia tuh sebenernya manis, cuma… tempramen dikit. Tapi hatinya baik, lembut, kayak kapas… yang ditusuk jarum,” ujar Bejo dengan senyum kikuk.

Tiur tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Terus lo ngajak gua nongkrong di sini pagi-pagi bolos cuma buat ngasih tahu itu?”

“Nggak,” jawab Bejo cepat. “Gue mau minta lo ikut pas gue ngapel pertama nanti. Gue takut sendirian. Siapa tahu bokap nyokapnya juga tempramen. Atau rumahnya ada sensor sidik jari.”

Tiur menghela napas panjang. “Ya ampun Jo… sejak kapan ngapel butuh pendamping?”

“Sejak yang diapel pacar lo adalah Mona, men,” ujar Bejo sambil melotot pelan.

Tiur mengangguk. “Oke, masuk akal. Tapi jangan harap gue berdiri di depan pintu. Gue nunggu di warung dekat rumahnya aja, kalau tiba-tiba lo kabur lompat pagar, gue siap jemput.”

Mereka berdua tertawa. Tawa khas dua sahabat yang sering melakukan hal bodoh tapi setia mendampingi satu sama lain, bahkan dalam keputusan paling nekad: pacaran sama cewek yang suka lempar vas bunga saat emosi.

---

Setelah obrolan panjang soal Mona dan rencana ngapel yang kedengerannya lebih mirip misi penyelamatan sandera, Bejo dan Tiur akhirnya mulai bersiap untuk cabut. Bejo merapikan kancing seragamnya yang dari tadi terbuka tiga biji, sementara Tiur sibuk nyari sandal jepitnya yang entah kenapa selalu beda arah kiri-kanan. Warung Bang Cuplik mulai agak sepi, sebagian siswa sudah masuk sekolah—meski dengan langkah berat dan tatapan kosong.

Bejo berdiri dan melongok ke arah dapur kecil di belakang warung. “Bang Cuplik!” teriaknya dengan gaya sok akrab. “Hitung bon dulu ya, Bang. Tapi… besok dibayar!”

Tiur langsung menoleh dengan ekspresi horor. “Ya Allah, Bejo. Lo masih utang?”

Belum sempat Bejo menjawab, dari dalam muncul Bang Cuplik dengan gayanya yang khas: kaus singlet bolong, sarung dilipat sampai lutut, dan wajah seperti belum tidur sejak pemilu terakhir. Di tangan kirinya ada buku bon legendaris—sampulnya sobek, isinya penuh coretan dan nama-nama yang bikin merinding. Bang Cuplik membuka lembarannya seperti membuka kitab kutukan. Matanya yang tinggal satu itu langsung menatap Bejo tajam.

“Besok dibayar?” ulang Bang Cuplik dengan nada datar tapi menyeramkan. “Kau ngomong enak kali… gayak ada pohon duit di belakang rumahmu.”

Bejo nyengir kecut. “Tenang aja, Bang. Aman itu. Nanti juga lunas.”

“Lunas matamu. Ini bon dari bulan lalu belum kau sentuh-sentuh! Tahu isi dua, mi instan lima kali, kopi sachet sepuluh, es teh manis empat, sama parkir motor yang kau bilang 'sebentar doang', tapi ternyata nginep tiga hari. Belum lagi gorengan buat temanmu yang selalu bilang ‘ntar Bejo bayar’!”

Tiur pelan-pelan menyingkir ke samping. “Eh, itu bukan gue, Bang. Saya mah cuma lewat.”

Bang Cuplik tidak peduli. Ia terus membaca daftar dosa Bejo. Bahkan ada satu catatan yang ditandai khusus: “Bejo – ngutang tapi nyengir. Catatan khusus: wajah tak tahu malu.”

“Bang, Bang… ini kan udah kayak keluarga. Masa keluarga ditagih bon?” kata Bejo mencoba merayu.

“Kalau kau keluargaku, dari kemarin udah kutendang keluar rumah,” gerutu Bang Cuplik. “Udah, pergi sana. Tapi ingat, besok bawa duit. Jangan besok-besok terus. Aku ini jualan, bukan donatur!”

Bejo cuma bisa angkat tangan sambil jalan mundur. “Siap, Bang. Aman. Serius. Duit udah di depan mata, tinggal nunggu dicairkan…”

“Cairkan kepala kau! Jangan sok main proyek!”

Begitu mereka keluar dari warung, Tiur langsung tertawa terbahak-bahak. “Gila, Jo. Lo tuh satu-satunya orang yang bisa bikin Bang Cuplik keluar semua kata-kata mutiara dalam sehari.”

Bejo mengangkat alis. “Itu seni, bro. Seni menunda pembayaran.”

Mereka berjalan menjauh, melewati deretan motor dan papan nama sekolah yang catnya sudah pudar, menyisakan huruf “MA NA I”—entah sengaja atau tidak, tapi sepertinya cocok dengan sekolah itu.

Pagi itu ditutup dengan tawa, bon yang menggantung, dan janji ngapel yang bakal jadi bencana. Dan itulah awal dari petualangan dua sahabat: Bejo yang nekat jatuh cinta, dan Tiur yang tanpa sadar akan segera terjebak dalam cinta yang lebih… ribet.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca