Matahari pagi menyelinap malu-malu dari balik bukit kecil di pinggiran desa Sukamakmur, menyinari rumah-rumah kayu sederhana yang berdiri berjejer rapat. Di antara rumah-rumah reyot itu, terdapat satu gubuk tua berdinding bambu, beratap seng berkarat, yang setiap pagi mengeluarkan kepulan asap dari tungku kecil di dapur. Di situlah Raka tinggal, seorang pemuda kurus berusia sembilan belas tahun yang hidup berdua dengan ibunya yang sakit-sakitan.
Pagi itu, seperti biasa, Raka sudah bangun sebelum ayam jantan berkokok. Tubuhnya yang ringkih tampak lelah, namun semangatnya tak pernah padam. Ia mengayuh sepeda tuanya menuju pasar sambil membawa sekarung kecil sayuran hasil memetik dari ladang milik orang. Bukan miliknya, karena Raka tidak punya apa-apa. Ia hanya bekerja sebagai buruh upahan, bahkan tanpa upah tetap. Kadang dibayar dengan uang receh, kadang hanya diberi makan, kadang malah cuma ucapan “terima kasih” tanpa senyum.
Namun di balik semua itu, Raka tetap tersenyum. Meski hatinya lelah, ia percaya bahwa Tuhan sedang menyiapkan kejutan untuknya.
Setelah menjual sayuran, Raka tidak pulang. Ia mengganti bajunya dengan kemeja lusuh berwarna biru, satu-satunya pakaian rapi yang ia punya, lalu mengayuh sepedanya ke SMA tempatnya sekolah. Ya, Raka adalah siswa kelas 12 yang selalu datang lebih awal. Bukan karena rajin, tapi karena tak ingin jadi bahan tertawaan saat masuk terlambat. Ia tahu betul, statusnya sebagai “siswa miskin” sudah cukup untuk membuatnya jadi bulan-bulanan.
“Eh, eh, liat tuh si Raka! Baju itu lagi, tiap hari itu-itu aja!” seru Rangga, anak orang kaya yang selalu jadi pusat perhatian.
“Jangan-jangan bajunya cuma satu, terus dicuci sambil dipake kali ya!” timpal Roni, lalu tertawa terbahak.
Anak-anak lain ikut tertawa. Raka hanya diam, menunduk, pura-pura merapikan tasnya yang mulai sobek di ujung. Ia sudah terlalu terbiasa dengan ejekan seperti itu. Bahkan, ia hafal kapan lelucon baru akan keluar dari mulut teman-temannya—biasanya saat mereka sedang bosan belajar.
Namun yang paling menyakitkan bukanlah cemoohan itu. Yang paling menyayat adalah ketika satu-satunya orang yang ia cintai diam saja saat ia dihina. Ayu.
Gadis cantik bermata lentik itu adalah pacarnya. Setidaknya, itulah yang Raka kira. Mereka mulai dekat sejak duduk di bangku kelas 10. Awalnya Ayu tampak peduli, sering menanyakan kabar Raka, bahkan memberi semangat saat ujian. Tapi semuanya berubah ketika Ayu mulai mengenal dunia "gaya hidup", mulai sering hangout dengan geng sosialita SMA yang penuh gengsi.
Kini, Ayu hanya dekat dengan Raka saat butuh sesuatu. Minta dibelikan pulsa, dijemput ke salon, disuruh kerjakan tugas, bahkan dimintai uang jajan. Raka menuruti semuanya. Demi cinta.
“Raka, jemput aku nanti jam 5 sore di cafe baru depan taman ya,” pesan Ayu lewat chat, tanpa menanyakan apakah Raka sedang sibuk atau tidak.
Hari itu, Raka pulang dengan tubuh lelah dan kantong kosong. Ia memutuskan meminjam uang dari Pak Rojak, pemilik warung, hanya agar bisa mengisi bensin sepeda motornya dan menjemput Ayu.
Namun ketika ia tiba di café sore itu, sesuatu yang menghancurkan hatinya terjadi.
Dari kejauhan, ia melihat Ayu duduk berdua dengan pria lain. Pria itu tampak rapi, memakai jam tangan mahal dan jaket bermerek. Mereka tertawa bersama. Tangan Ayu menggenggam tangan pria itu, dan matanya berbinar-binar, penuh cinta—bukan untuk Raka.
“Maaf, kamu siapa ya?” tanya Ayu saat Raka mendekat, seolah tak mengenalnya.
Jantung Raka seakan berhenti berdetak. Dadanya sesak, matanya panas. Tapi ia mencoba tersenyum.
“Aku… Raka. Kamu suruh aku jemput—”
“Oh ya ampun,” pria di samping Ayu menyela, “Ini cowok yang kamu ceritain itu ya? Si miskin?”
Ayu tertawa keras. “Iya, yang dulu pernah aku tolong. Kasian banget ya, dia pikir aku pacarnya.”
Orang-orang mulai menoleh. Beberapa tertawa. Raka berdiri di sana, tubuhnya gemetar, matanya berkaca-kaca. Ia ingin marah. Ingin berteriak. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya satu kata pelan, “Kenapa?”
Ayu bangkit, mendekatinya, lalu berbisik, “Karena aku butuh uang. Dan kamu bodoh.”
Raka pulang malam itu dengan pikiran kacau. Di rumah, ibunya sudah tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya yang bolong, lalu duduk memeluk lutut.
“Kenapa aku harus hidup begini?” gumamnya. “Kenapa harus aku?”
Pagi berikutnya, Raka tidak ke sekolah. Ia hanya menulis satu surat pendek untuk ibunya, lalu pergi membawa sebotol air dan pisau kecil. Ia melangkah ke arah hutan di pinggir desa. Tidak banyak yang tahu tentang hutan itu, hanya cerita mistis dan bisikan angin. Tapi Raka tidak peduli. Ia hanya ingin semuanya selesai.
Langkahnya membawanya ke tebing tinggi, menghadap lembah hijau. Angin bertiup kencang. Ia berdiri di ujung batu besar, menatap ke bawah. Kakinya gemetar. Tangannya memegang pisau. Ia ragu… tapi luka di hatinya terlalu dalam.
“Kalau aku mati… mungkin semuanya akan tenang,” bisiknya lirih.
Namun sebelum ia melompat, sesuatu yang ganjil terjadi.
Langit mendadak gelap. Angin berhenti seketika. Udara terasa menggigil. Lalu, sebuah suara gemuruh terdengar dari balik semak. Tanah bergetar. Cahaya biru muncul dari antara pepohonan. Sebuah lingkaran bercahaya terbentuk di udara, membesar perlahan. Suara dengungan aneh mengisi udara, seperti deru mesin canggih.
Raka terpaku. Ketakutan. Pisau terjatuh dari tangannya.
Dari dalam lingkaran cahaya itu, muncul sosok wanita berpakaian aneh—berkilauan seperti terbuat dari logam cair, rambutnya panjang mengilap, dan matanya bersinar kebiruan. Wajahnya cantik, tapi dingin. Ia menatap Raka dengan sorot mata tajam… namun bukan mengancam, melainkan penuh rasa ingin tahu.
“Koordinat… sesuai. Target ditemukan,” ucapnya dengan suara tenang, tapi seperti bergema.
Raka mundur ketakutan. “Siapa… siapa kamu?”
Wanita itu mendekat perlahan. Cahaya dari tubuhnya membuat rerumputan di sekitarnya menyala. Ia tersenyum tipis.
“Aku… bukan dari sini. Dan kamu, Raka… kamu adalah awal dari perubahan besar.”
Lalu semuanya gelap.
Raka pingsan.
Dan di sanalah segalanya dimulai.