Aiden membuka pintu untuk Duke, tapi pria itu berhenti. Aiden tidak tahu apa yang salah saat mendengar pria itu mendesah kesal. "Singkirkan tisu ini," perintah Duke, pria itu menyodorkan kaki kanannya.
Aiden sudah menunggu di sana selama hampir satu jam dan dia harus meengambil tisu yang menempel di sol sepatu Duke. Aiden tak akan pernah protes, dia membutuhkan pekerjaan itu.
"Dasar menjijikan." Duke menatap Aiden.
Aiden terdiam, dia paham kalau Duke selalu menganggapnya seperti sampah. Dia meremas tisu itu dan mengantonginya.
Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan sedang. Aiden sesekali melirik ke arah spion tengah. Sepanjang jalan menuju rumah, Duke terus menggerutu.
"Aku ingin laporan itu segera dikirim, malam ini juga." Duke memijat kepalanya setelah menutup telpon.
Beberapa menit kemudian mereka akhirnya sampai di depan rumah Duke. Aiden segera membuka pintu, Duke yang tengah kesal langsung turun sebelum pintu terbuka lebar. Aiden hampir jatuh karena Duke mendorong pintu itu.
Eri keluar dari rumah, melewati Duke begitu saja lalu memeluk Aiden seolah mereka tak bertemu dalam waktu yang lama.
"Ada apa?" Aiden sebenarnya kesal dengan apa yang baru saja Duke lakukan, tapi dia sangat pandai menyembunyikan perasaannya.
"Aku sangat bahagia." Eri tersenyum lebar. Aiden hanya tersenyum, memeluk Eri sekali lagi. "Kamu nggak bahagia?"
Aiden tertawa. "Tentang apa? Melihat kamu hari ini? Tentu saja aku bahagia."
"Bukan. Aku punya kabar bahagia." Eri memasang wajah centil.
"Apa?"
Eri terdiam, ingin membuat Aiden penasaran.
"Apa?" Aiden tertawa palsu, terlihat jelas kalau dia tampak muak karena dipermainkan oleh Duke dan putrinya.
"Ayah sudah merestui kita," kata Eri terlihat bangga. "Aku udah buat janji supaya besok kita bisa mencoba pakaian penikahan."
"Aku tidak bisa." Aiden menggosok-gosok lehernya. "Kami harus pergi ke suatu tempat. Au harus mengantar papamu mengunjungi suatu perusahaan."
"Tidak bisakah orang lain saja yang pergi ke sana, kamu harus pergi denganku."
Aiden tersenyum lucu. "Sayang, aku bekerja bukan sedang main-main."
Eri bersandar di pintu mobil sambil memasang wajah cemberut, enggan melihat Aiden. Kalau sudah seperti ini, Aiden yang harus punya inisiatif untuk membujuk pacarnya. Terakhir kali mereka bertengkar gara-gara Eri bingung harus pilih gaun hitam atau hijau pekat untuk ke pesta, dan Aiden tak mengerti apa pun tentang fashion.
"Gaun hitam terlihat bagus."
"Gaun hitam seperti pergi ke pemakaman," kata Eri.
Aiden sepertinya tersinggung dan bilang, "Memang apa yang salah jika mengingat kematian saat pergi bersenang-senang."
Lalu, Eri marah. "Apa kamu sedang mengejekku karena pergi pesta dan kamu tidak, begitu?"
Keduanya sama-sama meninggikan suara, tak ada yang mau mengalah, mereka pasangan suami istri yang sudah lama menikah, padahal bercinta juga tak pernah. Tapi pada akhirnya Aiden kalah, dia meminta maaf dan bilang Eri sangat cantik dengan gaun hitam itu.
Seperti saat ini, Aiden hanya diam membelai rambut Eri sampai amarah wanita itu reda.
"Aku akan bilang sama papa supaya kamu mengambil waktu libur."
Aiden menahan tangan Eri dengan cepat. "Jangan, jangan." Ia bergumam mencari solusi terbaik untuk mereka berdua. "Bagaimana kalau sabtu?"
"Sabtu lalu kamu juga tidak bisa. Kamu pergi untuk survei lapangan," kata Eri mengingatkan.
"Aku akan meluangkan waktu."
Minggu juga tidak bisa, Duke dan keluarganya pergi ke gereja. Selain itu kadang mereka juga mengunjungi panti asuhan atau membagikan makanan untuk gelandangan. Aiden sebenarnya ragu kalau apa yang dilakukan keluarga itu karena mereka mempercayai Tuhan. Aiden sempat dengar kalau Duke mulai tertarik dengan politik dan mulai mengenalkan dirinya sebagai orang yang dermawan sebelum terjun lebih dalam.
"Aku akan bicara dengan Duke."
"Kamu yakin?" Eri tahu, Aiden tak punya keberanian sedikit pun untuk bicara dengan ayahnya.
"Iya, demi kamu, aku juga harus berusaha bukan?" Aiden tersenyum.
"Aku senang mendengarnya." Eri memeluk Aiden sekali lagi. "Bagaimana pun dia akan jadi ayahmu juga nanti."
Aiden mengangguk lalu melepaskan pelukannya, ia mencium Eri sekali dengan takut-takut. Eri tersipu malu. Aiden melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil.
***
Pagi itu Aiden terlambat sampai di rumah Duke, macet membuatnya terjebak lebih lama di jalan. Duke bahkan sudah ingin berkata kasar, tapi Eri akan protes jika Duke menghina Aiden.
"I'm sorry," kata Aiden membuka pintu. Dia melihat Eri berdiri di pintu, melambaikan tangan lalu memberi isyarat agar berbicara dengan Duke. Aiden mengangguk sekali.
Mobil menembus jalanan dengan tenang. Duke sibuk dengan ponselnya. Aiden harus bicara sekarang, jika tidak, dia tidak akan punya kesesmpatan lagi.
"Pak, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan."
Duke melirik dengan wajah malas. "Apa itu?"
"Bisa aku pulang cepat besok."
"Kenapa? Kamu malas pergi bekerja di hari sabtu."
"Bukan begitu, Eri memintaku menemaninya ke toko butik." Aiden menatap kaca spion, menunggu reaksi pria itu, tapi Duke hanya diam. "Dia ingin aku melihat gaun pengantinya."
"Kamu juga ingin mencoba gaun pengantin, begitu?" Duke mengatakannya tanpa menoleh.
"Saya juga harus mencoba beberapa jas."
"Semua jas sama saja." Perkataan Duke membuat Aiden terdiam.
Aiden tidak boleh menyerah, Eri akan marah besar karena dia terus ingkar janji. "Tapi, Eri memaksa, aku sudah bilang kalau aku tidak bisa pergi."
"Sekarang kamu menyalahkan anakku," kata Duke tertawa tepat ketika mobil berhenti di persimpangan.
"Bukan begitu, Pak." Lampu merah menyala, Aiden kehabisan kata-kata. Duke selalu punya cara untuk membungkam AIden.
"Terserah, kamu boleh pergi, aku bisa minta yang lain buat gantiin kamu. Anggap saja pemotongan gaji."
Sial, bagaimana mungkin dia mengutamakan Eri sementara dia butuh uang.
"Pak, saya cuma minta izin pulang lebih cepat, bukan minta izin libur."
"Itu berarti kamu tidak bertanggung jawab. Pegawai boleh izin pulang atau tidak bekerja jika sakit atau sesuatu hal yang penting terjadi."
Mobil kembali berjalan, Aiden hanya menatap lurus ke depan.
"Apa perlu aku jelasin lagi isi kontrak kerjamu."
Tanpa sadar Aiden menginjak gas lebih dalam.
"Aiden!" Mobil hitam itu hampir menabrak mobil di depan yang perlahan-lahan melambat.
"Aku minta maaf." Jantung Aiden seperti ingin lepas, dia melamun begitu dalam.
"Ada apa denganmu, kau ingin membunuhku?"
Di depan sedang terjadi kecelakaan, sehingga beberapa kendaraan terpaksa melaju pelan. Aiden menoleh ke samping. Ia bisa melihat beberapa petugas medis mengeluarkan pria itu dari dalam mobil yang depannya penyok karena menghantam pembatas jalan.
"Aiden, fokus."
Aiden sempat melihat sebuah kartu. Pria itu menggengamnya, mungkin sedang bermain kartu saat mengemudi. Tidak masuk akal.
"Kalau sampai hal ini terulang lagi, aku akan memecat kamu."
Pukul 6 sore, Aiden meninggalkan mobil di parkiran kantor. Dia tidak bisa membawa mobil itu ke apartemennya. Setiap pagi dia harus datang ke kantor menggunakan kereta lalu menjemput Duke dia rumahnya kemudian kembali lagi ke kantor. Merepotkan, tapi itu akan Duke, pria itu suka menyiksa Aiden.
Dia berjalan melewati sebuah gang, jalan pintas untuk sampai di gedung apartemen. Jalan itu cukup sempit dan gelap. Kadang ada anjing atau kucing yang melintas.
"Anak babi tersesat." Ada seorang pria bertubuh agak besar di depan Aiden.
"Anak babi yang membawa kayu atau emas?" tanya pria lainnya.
"Lebih tepatnya anak babi yang tidak punya orangtua."
Mata Aiden berubah tajam, dia benci diolok-olok seperti itu.
"Kenapa? Kamu tidak suka, hah?"
Aiden mendengus, dia mulai kehilangan kesabaran. "Minggir."
Pria itu menumbuk dadanya main-main. "Apa yang akan kau lakukan kalau aku tidak mau, huh?"
"Jangan merendahkanku." Aiden melayangkan tinju ke arah pria itu.
"Fuck."
Aiden segera berlari, ketiga pria itu mengejarnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, dia hanya mengambil jalan sesuai insting. Ketika bertemu persimpangan empat, dia memilih berlari ke kiri, jalan kecil itu menuju jalan raya. Dia merasa akan selamat.
"Hei." Pria itu memanggilnya.
Aiden segera menyeberangi jalan penuh kendaraan, suara klakson terdengar di telinga sebelah kiri. Dia hampir saja tertabrak.
Sesekali dia akan menoleh ke belakang untuk memastikan para pria itu tidak mengikutinya. Tapi saat memasuki gedung apartemen, seorang pria menonjoknya, diwaktu yang bersamaan sebuah mobil berhenti dan beberapa keluar. Mereka menyeret Aiden ke sebuah gang lalu mengajarnya di sana.
Aiden tergeletak di dalam kegelapan dengan muka babak belur, dia menoleh ke samping, orang-orang itu masuk ke sebuah mobil lalu pergi. Tapi mobil SUV yang baru saja berhenti membuatnya pesanaran. Kaca pintu di bangku tengah terbuka setengah, ada seorang pria yang tengah menatapnya.
"Duke," katanya susah payah, ujung bibirnya perih.