

"Cupu, cupu! Cupu, cupu!"
Ledakan tawa terdengar bersahut-sahutan saat seorang remaja lelaki bernama Ryan Suratmo, memasuki halaman sekolah dengan berjalan kaki. Pemuda berambut hitam model mangkok itu diam saja dengan pandangan tertunduk. Kedua tangannya mencengkram kuat tali tas ransel yang sudah usang.
Sejak kedua orang tua Ryan meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu, hidupnya berubah drastis. Kini, ia tinggal bersama nenek dan kakak perempuannya yang juga satu sekolah. Namun, Rina enggan mengakui Ryan karena sang adik adalah seorang pecundang sekolah.
"Heh, lihat sepatunya. Menjijikkan! Bagaimana ia masih bisa bersekolah di tempat bergensi seperti ini? Kau mencemarkan nama baik SMA Premier, Cupu!" seru seorang gadis yang tak lain adalah Siska Darmawan.
Cewek populer sekolah dan ketua cheerleader. Anak konglomerat dan merupakan putri tunggal keluarga Darmawan.
Ryan terus berjalan tak menjawab sampai masuk ke kelas. Ia membenarkan kacamata tebalnya. Duduk, seolah semua makian yang ia dengar sedari tadi adalah angin lalu. Ryan mengambil sebuah buku, bermaksud memeriksa kembali PR matematika yang telah ia selesaikan sejak pulang sekolah kemarin.
Akan tetapi, "Hei!"
"Eits!" seru seorang pemuda tampan bernama Tomy Nasution.
Tomy adalah ketua basket sekolah, playboy dan anak orang kaya yang terpandang di kota. Memiliki gang bernama Tomy Rock atau disingkat TR.
Ryan menatap Tomy tajam di balik kacamatanya. Namun, Tomy malah mengambil kacamata tebal Ryan lalu meledeknya.
"Tom, balikin!" teriak Ryan berusaha mengambil kacamatanya, tetapi, "Agh!"
"Hahaha! Si mata rabun nyungsep!" teriak Tomy saat melihat Ryan jatuh tersungkur karena tersandung kaki meja.
Anak-anak satu kelas meledeknya. Kali ini, Ryan tak terima. Ia begitu marah. Segera, ia bangkit dan berusaha menghajar Tomy. Namun, lagi-lagi kesialan mengikutinya.
BUAK!
"Aduh!"
"Mampus lu!" pekik Tomy yang kemudian meletakkan buku dan kacamata Ryan di meja dengan tergesa.
Napas Ryan menderu. Kedua tangannya mengepal seperti seorang petinju. Seketika, keheningan menyelimuti isi kelas.
"Ryan! Apa-apaan kau ini? Kau berani memukul ibu?"
Sontak, amarah Ryan reda seketika. Ia tertegun, keningnya berkerut seraya memajukan tubuhnya. Memastikan, siapa yang bicara barusan.
"I-ibu Dian?" tanyanya gugup.
"Kamu keterlaluan! Ayo, ikut ibu ke ruang BK!"
"B-bu! Ini salah paham!" jawab Ryan saat tangannya ditarik paksa oleh Bu Dian keluar kelas.
"Heh! Nglawan guru lagi, lu! Dasar murid gak tau diri!" seru kawan Tomy bernama Tama.
"Pegangi dia! Bawa si Cupu ini ke kantor BK! Dia harus dihukum biar kapok!" titah Tomy.
"Argh! Lepasin!" teriak Ryan saat dirinya dipegangi dengan kuat oleh kawan-kawan Tomy.
"Dasar gak waras! Pantes aja kakak lu Rina gak pernah anggep lu sebagai adik. Lu psikopat!" cecar seorang gadis yang membuat dada Ryan terasa sesak seketika.
"Kalau bukan karena dia pinter dan beasiswa, udah diusir dari sekolah! Cowok gak tau diri!" sahut remaja lain yang membuat mental Ryan semakin tersudut.
Ia digiring beramai-ramai sampai ke ruang konseling. Praktis, hal itu membuat para murid yang sedang berlalu lalang di koridor penasaran. Berita cepat menyebar sampai ke telinga kakak perempuan Ryan, Rina.
"Apa? Ish, bener-bener bikin malu gue! Bodo amat! Kali ini gue gak mau ikut campur. Dia dikeluarin dari sekolah juga gue gak peduli. Males ngurusin adik yang bisanya nyusahin doang!" seru Rina ikut emosi setelah mendapatkan laporan dari adik kelas.
"Iya. Dia bisa bikin lu kena masalah juga. Jangan sampai lu kena sial gara-gara kelakuan buruk Ryan. Bisa-bisa, lu nanti juga dikeluarin dari sekolah. Ih, gawat! Lu udah kelas 3, udh mau lulus!" seru Tina, kawan karib Rina.
Mendengar hal itu, Rina makin geram. Ia benar-benar kesal. Hampir setiap hari, Ryan selalu terlibat masalah. Ia muak dan merasa jika Ryan hanya membawa sial di hidupnya.
"Rin, lu harus lakuin sesuatu ke adik cupu lu," bisik Nara.
Rina diam sejenak tampak berpikir serius. Hingga tiba-tiba, senyum liciknya terpancar. "Heh, gue tau gimana cara singkirin si kutu kupret itu."
"Ih, gue seneng liat muka iblis lu. Libatin gue dong. Gue juga kesel sama adik lu. Gara-gara dia nyapa gue, Fredy jadi jauhin gue. Bener-bener bawa sial si Ryan cupu!" caci Tina.
"Gue juga dong. Please, ya, ya," rengek Nara sembari menelungkupkan kedua tangan, memohon.
"Oke. Jadi gini, denger baik-baik. Ini rahasia," bisik Rina seraya membungkukkan badan. Tina dan Nara merapat, mendengarkan dengan serius rencana licik Rina.
Di ruang Bimbingan Konseling.
Ryan duduk terpaku tanpa kacamata. Ia tak tahu siapa saja orang-orang yang duduk mengelilinginya. Namun, ia bisa merasakan ketegangan di ruangan tersebut. Kali ini, ia terancam akan di skors, atau terburuknya, dikeluarkan dari sekolah karena memukul guru.
"Jelaskan kepada kami runtut permasalahannya," ucap seorang pria berkumis dan memiliki jambang tipis. Pak Sudibyo, selaku kepala sekolah.
"Ini salah paham, Pak, saya--"
"Begini, Pak," sahut Tomy tiba-tiba yang membuat Ryan langsung menoleh.
Ia sangat mengenali suara Tomy yang selalu membuatnya dalam masalah. Ditambah, kali ini kepala sekolah ikut hadir. Ryan merasa dirinya benar-benar dalam bahaya!
"Baiklah. Tomy. Kamu adalah saksi saat kejadian terjadi. Kami akan mendengarkan kesaksianmu," ucap Pak Sudibyo.
Ryan mengembuskan napas dengan lesu. Tamatlah riwayatku, begitu pikirnya. Tomy pasti akan merekayasa semua cerita. Ditambah, anak-anak lain pasti membenarkan cerita Tomy, tak ada yang memihaknya. Bahkan, ia sangat yakin jika Rina juga sudah jengah mengurusinya. Namun, ia sudah bosan ditindas.
"Jadi gini, Pak. Ryan tadi--"
"Ya, saya memukul Bu Dian karena mengira itu Tomy. Dia mengambil buku PR matematika saya dan mengambil kacamata saya paksa," sahut Ryan cepat dengan tenang.
Tomy melotot. "Gak, Pak! Itu fitnah!"
"Jika fitnah. Kenapa saya sekarang tidak memakai kacamata? Kalian semua tahu jika mata saya rabun, minus 6. Saya juga murid yang cerdas dan selalu mendapatkan rangking 1 di kelas. Sedangkan Tomy, silakan kalian periksa sendiri PR matematikanya. Apakah sudah dikerjakan atau belum?"
Sontak, ucapan Ryan membuat para guru saling memandang.
"Ambil buku dan kacamata Ryan! Bawa juga buku PR milik Tomy!" tegas Pak Sudibyo.
"Baik, Pak!" jawab seorang guru pria yang sigap keluar ruangan.
Tomy terlihat pucat. Ryan tahu jika pengakuannya akan menimbulkan masalah, tetapi tidak di ruangan ini. Dirinya sadar, kesialan akan membuntutinya saat pulang sekolah.
"Pak, saya sudah memeriksanya dalam perjalanan ke sini. PR Tomy belum dikerjakan sama sekali. Sedangkan Ryan, semua jawabnya benar. Selain itu, saat saya tadi memancing pertanyaan di kelas, di mana kacamata Ryan yang diambil Tomy, semua anak serempak menunjuk ke bangku Ryan."
Ryan tersenyum dengan pandangan tertunduk. Tomy pucat pasi saat ditatap oleh para guru di ruangan itu.
"Ryan, Tomy. Sekarang sudah jelas duduk perkaranya. Oleh karena itu, saya menghukum kalian berdua sesuai peraturan sekolah!"
"Apa!" pekik Ryan dan Tomy bersamaan.