Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Semua Gara-Gara Raka

Semua Gara-Gara Raka

Zhu Phi | Bersambung
Jumlah kata
237.0K
Popular
11.3K
Subscribe
570
Novel / Semua Gara-Gara Raka
Semua Gara-Gara Raka

Semua Gara-Gara Raka

Zhu Phi| Bersambung
Jumlah Kata
237.0K
Popular
11.3K
Subscribe
570
Sinopsis
PerkotaanSekolahUrbanCinta SekolahPria Miskin
Rakabumi Wangsa atau biasa disebut Raka hanyalah siswa biasa saja di SMA Harapan Bangsa. Ia masuk ke sekolah elite tersebut melalui jalur beasiswa sehingga sedikit saja menyinggung perasaan anak-anak kaya tersebut maka ia bisa dikeluarkan dari sekolah. Namun, suatu kejadian yang dialaminya membuat Raka harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Gara-gara Raka, kehidupan siswa di SMA Harapan Bangsa juga turut berubah. Seperti apakah perubahan itu? Siapakah gadis yang akhirnya akan berhasil meluluhkan hati dingin Raka? IG : zhu.phi
01.TAWURAN

"Woiii! Jangan lari, lu!!"

Suara lantang itu melesat di udara seperti tembakan. Getarannya menggema di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang di Jalan Thamrin—jantung sibuk ibu kota yang biasanya dipenuhi kendaraan dan orang kantoran berjas rapi.

Para pengendara motor dan mobil refleks menekan rem, menoleh ke arah suara. Beberapa dari mereka mengangkat alis, yang lain mengumpat pelan. Lalu, suasana jalan yang tadinya normal berubah tegang. Orang-orang tahu betul apa artinya ketika segerombolan remaja berseragam putih abu-abu mulai berteriak dan berlarian ... tawuran.

Mereka memilih berhenti alih-alih terjebak di tengah-tengah tawuran antar dua kubu yang bersiteru yang bisa merusak kendaraan mereka.

Dari kejauhan, terlihat puluhan pelajar berhamburan di jalan, saling kejar seperti sekelompok serigala memburu mangsanya. Mereka mengenakan seragam sama, tapi jelas sekali terbagi dalam dua kubu. Wajah-wajah tegang, sebagian memegang helm, sebagian menggenggam batu, sisanya hanya tangan kosong dan teriakan penuh amarah.

Yang berada di barisan terdepan adalah Raka Wangsa—pemuda berambut cepak dengan wajah keras dan tatapan tajam. Meski hanya berseragam sekolah, aura kepemimpinannya terasa mencolok. Jaket motor tergantung di pinggang, dan tato henna-nya mengintip sedikit dari balik kerah seragam.

"Terus kejar! Jangan kasih napas mereka!" teriaknya lantang, membakar semangat teman-temannya.

Langkah kaki berderap di belakangnya. Napas-napas memburu, menggema di lorong sempit Jalan Thamrin yang sore itu seperti ditelan amarah mentari. Bau aspal panas dan knalpot motor yang terbakar memenuhi udara. Di tengah deru kota Jakarta yang tak pernah benar-benar diam, belasan anak remaja berseragam lusuh berlari dengan semangat membara.

Mereka bukan sekadar anak SMA biasa. Mereka adalah pasukan jalanan—Klub Motor Matik Cakrabuana—yang sudah lama jadi cerita turun-temurun di kawasan Pademangan. Di sana, rumah petak kecil milik Raka berdiri bersandar pada dinding kota yang kian hari makin sesak. Ia tinggal bersama ibu dan neneknya, di antara lorong-lorong sempit, bau gorengan, dan suara musik berdentum keras yang kerap terselip di antara sirene ambulans.

“Huff... mereka di depan,” ujar Rizal, napasnya terputus-putus, helm hitam tergenggam erat di tangan kanan.

Raka mengangguk pelan, matanya menyipit menatap barisan di seberang jalan. Di sisi lain, berdiri sekelompok pelajar dari SMA Hutama. Seragam mereka masih rapi, tapi wajah-wajahnya menyimpan amarah yang tak kalah dari panasnya matahari sore. Di tengah mereka, Hardi Hutomo berdiri seperti patung perunggu—tinggi, tegap, dengan jaket kulit hitam yang mengilap dan sepatu bermerek mencolok.

Dari balik kacamata hitamnya yang mahal, tatapan Hardi menyapu tajam.

“Sini lu, anak bangsat!” teriaknya, suaranya berat dan kasar, mengguncang udara.

Seketika, tangannya melempar sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu melesat, menghantam aspal hanya beberapa sentimeter dari kaki Rizal. Suara "duk!" yang keras membuat beberapa orang di sekitar spontan mundur menjauh.

“WOI!” teriak Rizal. “Lu pikir ini film action?! Sembarangan banget lu!”

Raka maju selangkah, matanya membara seperti bara yang disiram bensin. “Jangan sok jagoan, kalian!” suaranya lantang. “Mentang-mentang anak orang kaya, seenaknya nguasain jalanan! Gak ada sopan-sopannya!”

Tawa Hardi menggema, dingin dan menyebalkan, seperti lolongan serigala di tengah malam. Ia meludah ke samping. “Gue suka-suka, lah! Bokap gue tajir, ngerti?! Jalanan juga milik gue! Gak kayak lu, anak kampung!”

Rizal mengepalkan tangan, urat di lehernya menegang. “Ka, hajar aja yuk! Gak usah banyak bacot!” Ia mengangkat helm ke atas, siap dilempar atau dipakai sebagai tameng. Mata liarnya seperti nyala petasan di malam takbiran.

“Gue juga setuju, Ka!” Aditya menimpali dari belakang, tangannya menggenggam rantai besi yang terayun-ayun pelan. Suara logamnya berdenting, membuat bulu kuduk merinding. “Orang kayak dia kudu dikasih pelajaran!”

Raka menatap dua sahabatnya dengan wajah penuh pertimbangan. Meski dadanya membara, pikirannya masih berusaha mencari jalan keluar.

“Gue cuma mau nakut-nakutin mereka,” katanya pelan tapi tegas. “Jangan bikin ribut sama anak orang kaya. Bahaya, men! Urusannya bisa panjang. Bisa sampe ke kantor polisi atau lebih gila lagi... viral!”

Rizal melirik, lalu senyum kecil terbit di wajahnya yang berkeringat. “Eh, Ka… gue juga anak orang kaya. Tapi kan gak songong kayak dia. Makan tahu-tempe juga hayuk, asal sambelnya pedes.”

Raka tertawa, menepuk punggung sahabatnya keras-keras, membuat Rizal nyaris terpental. “Lu mah beda, Zal. Anak orang kaya yang bisa nyambel di warteg!”

Tawa kecil mereka terasa seperti jeda dalam film perang—sekejap, tapi menghangatkan. Namun ketegangan tak benar-benar mereda. Di udara, aroma keringat, bensin, dan amarah masih menggantung. Jalanan yang tadi ramai kini mulai lengang. Pedagang kaki lima menyingkir, beberapa pejalan kaki memutar arah.

Langit Jakarta mulai berubah warna, tapi bukan karena senja. Itu adalah warna kemarahan yang belum selesai.

Belum ada polisi. Belum ada suara sirine. Hanya anak-anak kota yang sedang mempertaruhkan harga diri mereka di jalanan yang seharusnya milik semua, tapi hari ini... terasa seperti arena perang.

Tapi di balik semua keributan itu, satu hal yang tak diketahui publik: ini bukan sekadar tawuran pelajar. Ini perang harga diri antar klub motor. Di jalanan, motor bukan hanya kendaraan—mereka adalah simbol kekuasaan.

Dan hari itu, dua simbol berbeda bersiap saling mengalahkan: Motor Matik vs Motor Gede.

Rakyat jelata vs Pewaris Tahta.

Suara deru knalpot mulai terdengar dari kejauhan—suara khas motor-motor besar yang menggetarkan dada. Sekelompok anggota Klub Motor Gede meluncur dari arah selatan, memotong arus lalu lintas dengan seenaknya. Beberapa dari mereka bahkan menyalakan lampu sorot depan ke arah kelompok Raka. Terlihat jelas logo naga merah menyala di jaket mereka—simbol kebanggaan Klub Motor Gede Warrior.

Raka mendecak pelan. “Tuh kan, bala bantuan mereka datang. Anak-anak ninja udah muncul.”

“Gas aja, Ka! Biar tahu rasa mereka!” teriak Aditya, menggenggam helmnya seolah siap melemparkannya seperti granat.

Namun Raka mengangkat tangan, memberi aba-aba untuk berhenti.

“Kita gak nyari mati, Dit. Jangan kebawa emosi. Mereka mau provokasi. Kalau kita kalap, kita kalah.” Nada suaranya tegas, matanya menyapu jalanan, menghitung kemungkinan mundur atau menyergap.

Rizal melirik ke arah Raka. “Terus, sekarang kita gimana? Mundur? Gue udah nanggung panas nih, Ka.”

Raka menghela napas, menatap lawan di seberang. Di tengah barisan mereka, Hardi berdiri tegak dengan senyum congkaknya.

“Gue cuma pengen kasih pesan, Zal. Jalanan ini bukan punya bokap dia.”

Lalu, Raka melangkah maju. Satu langkah, dua langkah. Jalanan seolah berhenti bergerak. Semua mata menatapnya.

Hardi tertawa kecil. “Liat nih, jagoannya motor matik maju sendiri. Berani juga lu. Tapi kalo udah pincang, jangan nyesel ya.”

“Lu pikir lu keren naik motor gede? Cuma modal duit bokap. Gak ada nyali, cuma nyombong doang.” Raka membalas, suaranya dingin, tajam seperti pisau.

“Nyali? Lu mau uji nyali? Sini maju. Kita satu lawan satu.” tantang Hardi, sambil melepas jaketnya. Suasana makin memanas.

Tapi sebelum langkah pertama duel dimulai, suara sirine memecah ketegangan.

"WEEE OOO WEEE OOO!"

Mobil patroli polisi meluncur cepat dari arah barat. Dua motor polisi mengikuti di belakangnya. Beberapa pelajar langsung panik. Ada yang lari terbirit-birit ke gang, ada yang naik motor dan kabur tanpa helm.

“Bubar! Polisi, bro! Cabut dulu!” teriak salah satu anggota Klub Motor Gede.

Hardi mendesis, “Sial! Lain kali, Raka! Ini belum selesai!” Dia mundur perlahan, lalu berlari ke arah motornya.

Raka berdiri di tempat, menatap kepergian Hardi dengan rahang mengeras. Tangannya mengepal, tapi ia tak bergerak. Rizal dan Aditya buru-buru menariknya ke arah gang terdekat.

“Ayo Ka! Ntar kita diciduk!”

Di tengah hiruk-pikuk pelarian, napas masih memburu dan jantung berdetak cepat. Tapi di dalam kepala Raka, satu hal makin jelas:

Pertarungan ini belum berakhir. Bukan cuma soal motor. Ini soal harga diri.

Dan di jalanan ibukota yang panas dan penuh asap knalpot ini, harga diri bisa jadi taruhan yang jauh lebih mahal daripada sekadar motor gede atau matik.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca