Langit Jakarta siang itu kelabu, seperti kanvas tua yang dipenuhi debu asap kendaraan. Udara begitu lengket, menusuk hidung dengan bau aspal panas dan oli terbakar. Di antara ribuan kepala yang berkutat dalam kemacetan, Wisnu melangkah tertatih, langkahnya berat oleh sepatu proyek yang penuh semen kering.
Helm proyek yang sudah kusam bertengger miring di kepalanya, sementara rompi keselamatan yang dulunya oranye terang kini nyaris sewarna tanah. Keringat mengalir di pelipisnya, menetes di leher, lalu menghilang ditelan kaos dalam yang lembap. Setiap langkah di koridor bangunan setengah jadi itu menggema, bercampur dengan suara dentang palu, gemeretak besi, dan gelegar mesin.
“Bro, hati-hati, tuh balok belum dipasang sempurna!” seru suara serak dari kejauhan.
Wisnu mendongak sedikit, mengangkat tangan pelan sebagai tanda mengerti.
“Siap, Mas,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Matanya menyipit, bukan hanya karena cahaya matahari yang memantul di besi-besi panas, tapi juga karena rasa lelah yang merayap sejak subuh tadi. Tangannya kasar, kuku-kukunya hitam oleh semen yang menempel meski sudah berkali-kali digosok.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencium aroma khas campuran debu dan semen basah yang memenuhi paru-parunya. Sesaat, dia bersandar di tiang beton, mencoba meredakan debar jantung yang terasa seperti genderang perang.
‘Masih harus ngejar kuliah nanti sore,’ pikirnya getir.
Jam di tangannya — jam murah yang kacanya sudah retak — menunjukkan pukul 13.00. Matanya menyipit, menghitung waktu sambil menelan ludah kering. Badannya remuk, tapi pikirannya sudah melayang pada ruang kuliah yang dingin, di mana dia akan duduk paling belakang, sendirian.
Di kampus, Wisnu hanyalah bayangan.
Tak ada yang memanggil namanya.
Tak ada suara tawa yang menyapa saat dia lewat.
Tak ada gadis yang bahkan menoleh untuk sekadar bertukar pandang.
Dia sering duduk di pojok, menunduk, mencatat diam-diam, bahkan tak ada yang tahu bahwa di balik bau semen yang masih menempel di tangannya, ada otak yang haus ilmu, ada mimpi yang enggan mati.
‘Kenapa aku selalu merasa tak terlihat?’ batinnya sesekali muncul, seperti bisikan gelap di belakang kepala.
Hidup Wisnu adalah sebuah pola — bangun, kerja, kuliah, tidur sebentar, ulangi.
Tak ada ruang untuk bersantai, tak ada tempat untuk merasa bangga.
Hanya rutinitas ...
Sampai hari ini ...
Sebuah suara retakan tajam memecah fokus Wisnu. KREEEEK!
Dia refleks mendongak, matanya melebar seketika.
Di atas sana, balok baja raksasa — hitam legam, sebesar tubuh mobil — terlepas dari crane. Tali pengikatnya putus entah kenapa, dan kini, benda itu meluncur jatuh… tepat ke arahnya.
Semuanya melambat.
Udara tiba-tiba terasa hampa, suara-suara bising di sekitarnya mendadak lenyap, berganti dengan denging tipis di telinganya. Wisnu bisa melihat tetesan keringat yang melayang dari dahinya, seolah waktu benar-benar membeku.
‘Apa… ini?’ pikirnya panik. Jantungnya menghantam tulang rusuk.
‘Kenapa sekarang?’
Di detik yang terasa seperti abadi itu, bayangan hidupnya melintas ... wajah ibunya di kampung, wajah ayahnya yang dulu selalu menasehati keras, lelahnya bekerja di proyek, sepinya duduk di pojok ruang kuliah…
Dan hanya satu kalimat yang bergema di kepalanya:
"Mungkin, inilah akhir hidupku."
BRUAAAKK!!
Tubuhnya terhempas keras ke lantai, punggungnya menghantam lantai beton yang dingin, menyisakan denyut perih yang menjalar sampai ubun-ubun. Pandangannya bergoyang, warna-warna bercampur kabur, telinganya berdenging keras. Nafasnya memburu, dada naik-turun, tapi … anehnya, ia masih bernapas.
Perlahan, matanya terbuka sedikit. Sekilas, dia melihat sesuatu yang ganjil.
Cahaya biru.
Melayang, berkilau samar seperti bintang kecil, tepat di atas tubuhnya.
Tiba-tiba, terdengar suara yang bukan berasal dari mana pun — bukan dari luar, tapi langsung bergema di dalam pikirannya.
[Sistem Aktivasi Awal ...]
Suara itu terdengar tenang, hampir seperti suara mesin.
Wisnu mengerjap, bibirnya bergerak pelan.
“... Apa … ini …?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
[Selamat! Kamu telah dipilih oleh “Sistem Pemikat Wanita Cantik”!]
Alisnya berkedut. Apa?! Dia merasa tubuhnya berat, tapi pikirannya kini dipenuhi tanda tanya.
[Misi Utama: Raih Hati Para Dewi Kampus!]
[Setiap pengalaman berkesan dengan wanita cantik akan menghasilkan Poin Pesona.]
[Gunakan Poin untuk: Upgrade Penampilan, Karisma, Gaya Bicara, dan banyak lagi!]
Seketika, napas Wisnu tercekat.
‘Apa ini? Sistem … pemikat wanita?’ pikirnya limbung.
Tiba-tiba, kilasan wajah-wajah gadis di kampus muncul di benaknya — wajah yang selama ini hanya dilihat dari jauh, yang bahkan tak pernah meliriknya. Jantungnya berdegup cepat, bukan lagi karena takut, tapi…
karena harapan aneh yang menyelinap masuk.
Wisnu perlahan tersenyum miring, meski tubuhnya masih lunglai.
“... Ini … mimpi, ya …?” bisiknya pelan, sebelum matanya tertutup pelan, menelan kesadaran dalam gelap yang pelan-pelan datang.
Seketika, tubuh Wisnu terasa ringan, seolah beban berton-ton yang tadi menghimpit tulangnya mendadak lenyap. Nafasnya terengah, dada naik-turun cepat, tapi … rasa sakit yang menusuk punggungnya perlahan memudar. Dengan gemetar, dia menoleh sedikit.
Balok baja raksasa itu — benda yang nyaris mengirimnya ke alam lain — menggores lantai beton hanya beberapa senti dari tempatnya tergeletak. Pecahan kecil batu dan debu beterbangan, menusuk-nusuk matanya, tapi dia tak peduli.
Dia masih hidup.
Tubuhnya masih utuh.
Nyawanya masih melekat.
Namun, mungkin … akal sehatnya yang baru saja direnggut.
“Ini … pasti mimpi,” gumamnya pelan, suaranya serak, nyaris tak terdengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Tapi suara itu — suara aneh, mekanis, nyaring di kepalanya — terus bergema, nyata, mendesak.
[Misi Pertama: Dekati Seorang Gadis Cantik dalam 24 jam. Hadiah: 50 Poin Pesona.]
[Penalti: Penurunan Daya Tarik sebesar 10% jika gagal.]
Wisnu memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan, menatap langit Jakarta yang kelabu, mendung, seolah ikut menertawakannya dari atas sana. Gadis cantik? Mendekati gadis cantik?
Dia, Wisnu, yang bahkan belum pernah diajak bicara oleh satu pun gadis kampus, yang setiap hari hanya jadi bayangan di pojok ruangan, harus melakukan itu? Rasanya mustahil.
Dia ingat jelas ... saat makan di kantin, dia duduk sendiri, mendengar tawa ceria para gadis dari meja lain. Saat kuliah, dia hanya jadi penonton yang tak pernah dilirik. Gadis-gadis itu… mereka seperti makhluk dari dunia lain.
Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut mati — itu sudah dia lewati barusan — tapi karena sesuatu yang lebih dalam, lebih liar …
Kesempatan.
Mungkin … mungkin inilah momen di mana hidupnya berubah.
Atau mungkin … ini hanyalah lelucon kejam semesta, cara alam menggoda sebelum membantingnya lebih dalam lagi ke jurang kegagalan.
Wisnu mengerang pelan, mencoba duduk, lututnya gemetar, tangan yang kotor oleh debu mengepal perlahan. “Baik,” desisnya, napasnya bergetar. “Satu gadis cantik. Dua puluh empat jam.”
Dia menatap kosong ke depan, senyum tipis menggantung di bibir yang pecah-pecah.
“Apa sesulit itu?”
Tapi begitu bayangan wajah para dewi kampus melintas di pikirannya — gadis-gadis dengan tawa ringan, rambut harum yang terayun ketika berjalan, mata yang berkilau penuh percaya diri — Wisnu merasakan sesuatu yang dingin menyelinap di tengkuknya.
Ini … mungkin … misi tersulit dalam hidupnya.
Dengan napas berat, dia berdiri perlahan, lututnya nyaris goyah. Suara mesin, suara sistem, suara tantangan baru kini berdengung di telinganya, membisikkan janji ...
Mulailah, Wisnu. Mulailah, sekarang.