Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dear Seno

Dear Seno

Nadya Meisitha | Bersambung
Jumlah kata
70.2K
Popular
560
Subscribe
125
Novel / Dear Seno
Dear Seno

Dear Seno

Nadya Meisitha| Bersambung
Jumlah Kata
70.2K
Popular
560
Subscribe
125
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeCinta SekolahUrbanHarem
Namanya Seno—Senopati Anggara. Ketua geng motor, jago tawuran, tapi juga langganan juara olimpiade dan ranking satu di sekolah. Di balik sosok bad boy dan otak encernya, Seno menyimpan luka yang belum sembuh: kematian pacarnya yang dulu ia cintai sepenuh hati. Sejak saat itu, hatinya tertutup rapat. Cinta? Sudah tak ada dalam kamus hidupnya. Namun, hanya Maudy — teman kecil Seno yang mungil tapi berani itu yang mampu membuatnya tertawa lepas. Padahal ada Wilona, cegil paling cantik satu sekolah yang terang-terangan menyukainya. Lalu antara Maudy dan Wilona, siapa yang dapat membuat Seno bisa membuka hatinya lagi?
1. Balapan Liar

Seorang cewek seksi memakai tank top dan hot pants mengibarkan bendera bermotif kotak hitam putih ke udara seiring dengan suara deru knalpot motor balap yang siap melesat. Tangan besar dengan bantalan sarung tangan menarik gas kuat-kuat saat bendera itu cukup tinggi. Motor ninja itu melesat cepat seperti angin. Udara dingin menggigit tidak mampu menembus jaket tebal warna hitamnya. Mata tajam dibalik kaca helm tembus pandang menatap fokus ke depan, dia tidak melihat lawan yang tertinggal jauh di belakang, dia hanya fokus untuk melupakan kejadian pahit tempo hari.

Balapan kali ini taruhannya lebih besar yaitu delapan ratus ribu rupiah, ia harus menang. Dalam hati ia berharap semoga polisi tidak mengadakan razia balapan liar lagi.

Balapan harus melewati tiga putaran sirkuit melingkar dari bundaran depan markas Sengkuni, komunitas motor gede Yogyakarta, memutar melewati depan universitas terbuka, lurus, kemudian belok kanan melewati bundaran lalu memutar lagi hingga garis finish di depan perbatasan antara Sleman dan Klaten.

Seno menambah kecepatan hingga 180 km/jam, motornya melesat menembus kabut, deru knalpotnya memecah keheningan malam, roda berputar makin seiring garis finish dan kerumunan pendukung kubunya dan kubu lawan semakin terlihat.

Roda depan motor Seno lebih dulu menyentuh garis finish. Tangan dan kakinya bersamaan menginjak dan menarik rem. Suara riuh tepuk rangan dan teriakan senang pendukung Seno terdengar. Mereka senang menang taruhan dari tim lawan. Ia tersenyum puas lalu membuka helm racing-nya.

“Menang lagi,” ujar Ragil sambil menyerahkan amplop padanya. Seno tersenyum simpul, kemenangan itu menyelamatkan uang sakunya selama sebulan.

“Makasih, Bro.”

“Seno!”

Maudy berada di antara kerumunan. Mereka penasaran melihat kerumunan penonton balap liar. Betapa terkejutnya Maudy melihat pembalap liar itu adalah Seno. Giginya bergemeretak menahan marah. Seno yang selama ini ia anggap cowok baik-baik ternyata punya sisi gelap. Seno adalah seorang pembalap liar yang melanggar hukum.

“Maudy?” Seno terkesiap, ia tak mampu berkata apapun tatkala teman kecilnya tahu rahasia yang ia tutupi

“Maudy kecewa sama Seno!” seru Maudy marah kemudian berbalik meninggalkan kerumunan dengan perasaan campur aduk.

“Seno harus sadar kalau Tiara udah nggak ada. Bolehlah sedih, menyesal, tapi kamu harus tetap hidup,” tukas Maudy.

Masih di sekitar area balapan. Temaram lampu jalan menerangi pasangan teman kecil itu. Dulu Seno pernah janji untuk tidak akan menjadi bad boy lagi sejak pacaran dengan Tiara, ternyata setelah Tiara meninggal, sifat badung Seno muncul lagi.

“Tapi aku sayang banget sama dia, Dy,” tukas Seno Maudy menghela napas. Entah mantra apa yang Tiara punya sehingga sahabatnya bisa tergila-gila.

“Jalan kamu masih panjang, Seno. Kamu bilang mau kuliah di UGM dan masih banyak cita-cita kamu yang lain,” ucap Maudy.

“Aku tahu maksud kamu, Dy. Teman-teman aku juga sering bilang gitu,” ujar Seno lesu.

“Cinta sih boleh tapi apa benar sedalam itu?” tanya Maudy ragu.

“Dy, kamu pernah pacaran?” Seno balik bertanya. Maudy menggeleng pelan menanggapi pertanyaan kakaknya. Tujuh belas tahun, Maudy terlalu cuek, dia sangat mengutamakan diri sendiri sampai tidak sempat mencari cinta.

“Nah, makanya kamu belum mengerti kalau rasa takut kehilangan itu otomatis tercipta pada orang kita sayangi,” ujar Seno

“Tiara sayang sama Seno?”

“Ya iyalah.”

“Kalau sayang ya coba aja ikhlasin, lanjutin hidup kamu!” suara Maudy mulai tinggi. Semburat bening memenuhi matanya. Sedetik lagi air itu akan jatuh ke pipinya. Ia tahu rasanya kehilangan meski bukan pacar tapi ibu.

"Aku nggak tahu rasanya kehilangan pacar tapi aku tahu rasanya kehilangan ibu," jawab Maudy lagi. Dia menghela napas kemudian berjalan kembali ke lapak ayam penyet 24 jam di sekitar lokasi balap liar. Bapaknya butuh bantuan, jelang pagi waktunya mempersiapkan dagangan.

"Dy, maaf," ujar Seno. Maudy hanya mengangguk kemudian meninggalkan Seno di sana. Beberapa jam lagi ia harus sekolah sementara dagangan masih belum siap. Gadis sekecil itu harus berjibaku dengan dagangan belum lagi kegiatan di sekolah yang tidak habis-habis.

Seno pulang ke rumahnya, dia memandangi rumah Maudy di sebelah. Tetangga dengan kesenjangan sosial yang jauh. Rumah Seno tertutup beton dengan pagar yang rapat sementara Maudy hanya rumah petakan biasa tanpa pagar. Mereka sudah bertetangga dari kecil hanya saja beda sekolah dalam satu kompleks. SMA 127 dan SMA 125 hanya berbatas tembok.

Keesokan harinya Seno masuk kelas seperti biasa tapi dihalangi oleh Wilona, cewek paling cantik satu sekolah. Dandanannya tidak seperti pada umumnya, kemejanya dari kain mengkilap, rambutnya wavy sepunggung, dengan bando merah menyala seperti putri salju.

"Hai, duda," sapa Wilona. Semua orang di sekolah tahu kalau Seno baru saja mendapat musibah yaitu Tiara meninggal karena sakit thalassemia.

"Apaan sih, Na."

Seno melangkah cuek, dia meletakkan tas ranselnya di meja lalu membuka permen lolipop bentuk kaki yang ia beli di warung Madura tadi.

Tak berhenti sampai di situ, Wilona malah duduk di meja Seno, menunjukkan paha mulusnya tepat di samping kepala Seno. Noleh sedikit, sudah dapat paha!

Seisi kelas langsung heboh, mereka ingin dapat perhatian dari cewek paling cantik satu sekolah. Tak salah jika Seno juga jadi incaran, wajah tampannya menyamai aktor ternama dengan raut wajah kalem disertai wajah putih mulus seperti selesai treatment. Alisnya tebal membuat pandangannya terasa lebih membara, apalagi senyumnya membuat cewek-cewek gemas seketika.

"Udahlah, Na. Balik ke kelas lo," ucap Seno dingin. Dia mengangkat lehernya dengan hati-hati khawatir tersentuh paha Wilona.

"Nanti kita ke kantin, oke?" paksa Wilona.

"Nggak."

"Pilihannya cuma iya atau iya," paksa Wilona dengan centil lalu meninggalkan kelas XI IPA 3.

"Duh, No. Kata gue sih, ambil!" ujar Jun begitu Wilona pergi.

"Belum juga tujuh hari, Jun."

"Ya nanti, paling nggak lu punya stok cewek di hati lu."

Jun duduk di bangku depan, sebelah Seno. Tujuannya supaya bisa belajar bareng bintang kelas satu ini padahal nyatanya mereka malah asik ngobrol.

"Lu kira hati gue gudang retail kali, banyak stok," Seno menggigit sisa permen supaya cepat habis.

Teeett!!

Bel masuk berbunyi bersamaan dengan pak Jaka, guru bimbingan konseling (BK) masuk ke kelas untuk menemui Seno.

"Seno, ikut bapak ke ruangan."

Tanpa berkutik, Seno segera berdiri dari kursinya kemudian ikut di belakang pak Jaka.

Sesampainya di ruang BK, Seno duduk santai seperti bos.

"Ada apa, Pak?"

"Sekolah ini sangat mengecam praktek perjudian," pak Jaka memberi prolog pada ucapannya.

"Lalu?"

"Kamu sudah melanggar peraturan itu dengan melakukan balapan liar lengkap dengan taruhannya!" suara pak Jaka agak meninggi disambut dengan ekspresi kaget dari wajah Seno.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca