“Woy bangsat, maju lo!”
Dengan napas menggebu-gebu, lelaki berambut messy itu menunjuk lawannya dengan tak terima. Gara berlari kemudian menendang perut Bramasta—musuh bubuyutan Gara sejak lama. Seolah tidak cukup jika hanya menendang, setelah Bramasta berhasil jatuh karena tendangan Gara, lelaki itu terus menghajar Bramasta habis-habisan.
"GAR, UDAH GAR!" Lelaki berambut cepak itu menarik seragam Gara, berusaha menghentikan pukulan Gara karena Bramasta sudah terbaring lemas di bawah Gara.
Langit terus berusaha menghentikan Gara. Perlu membutuhkan waktu cukup lama akhirnya Gara menghentikan pukulannya. Napas lelaki itu memburu, menatap musuhnya dengan seringaian.
"Kalau lo mau lawan gue, sini duel lo sama gue. Jangan bisanya bawa anak buah buat main kroyokan," Gara berdecih, membuang ludahnya dengan asal. Menatap Bramasta dengan penuh kedengkian.
Bramasta terbatuk-batuk ketika Gara menghentikan pukulannya. Dada Bramasta terasa sangat sesak akibat pukulan Gara.
Gara bangkit, mengubah posisinya menjadi berdiri. Menatap lawannya dengan tajam, setajam mata harimau yang sedang berburu. Sementara Shendy menarik Gara untuk mundur beberapa langkah, memberi jarak dan mencoba memisahkan antara Gara dan Bramasta.
Shendy menepuk-nepuk bahu Gara, mencoba menenangkan. Gara adalah sosok tempramental yang tidak memiliki sedikitpun kesabaran. Bahkan setipis tisu dibagi dua pun masih kalah dengan kesabaran Gara. Kekurangan Gara adalah adalah pedang bermata dua untuk gank Gramesta.
Gramesta, sebuah kelompok yang memang sengaja di bentuk ini biasanya beranggotakan pentolan-pentolan sekolah. Gara merupakan salah satu dari sekian banyaknya orang yang terkenal menjadi pentolan sekolah.
"Bro, cabut kuy." Dito menepuk pundak Gara.
"Liat aja pembalasan gue nanti," desis Bramasta sambil berusaha bangkit di bantu oleh Gilang.
Gara berdecih sinis, matanya mendelik. “Bangun aja masih dibantuin lo. Gak usah belagu.”
Gara terus menatap Bramasta dengan penuh kebencian, hingga akhirnya suara Shendy mengalihkan perhatian Gara. "Luka lo harus cepat-cepat di obati.”
Garaze Andriano Sanjaya nama lengkapnya. Biasa di sapa Gara, orangnya juga tukang cari gara-gara. Gara, tak lebih dari seorang murid bandel yang hobinya berantem tapi nyatanya paling takut dengan jarum suntik.
Kaki panjangnya melangkah membawanya masuk ke dalam sebuah rumah mewah, rumah para pejabat pada umumnya. Seakan jiwa Gara tertinggal, jangan pernah mengharapkan keramahtamahan seorang Gara jika berada di dalam bangunan yang enggan ia sebut sebagai 'rumah'.
Sanjaya—ayah Gara, seorang pejabat ternama di negara. Wajahnya mudah ditemukan di platform berita. Walau beliau terkenal karena kebaikan hatinya, tapi nyatanya Gara tidak menemukan kebaikan hati Sanjaya kepada Gara. Semuanya hanya citra seorang Sanjaya sebagai seorang pejabat.
“Mau jadi apa kamu jam segini baru pulang? Dasar anak gak tahu diuntung! Kerjaannya cuma bisa bikin malu saya saja!” teriak Sanjaya begitu melihat wajah putera sulungnya masuk ke dalam rumah.
“Muka bonyok aja belagu. Gak usah sok jadi jagoan! Setelah ujian kamu akan saya asingkan keluar negeri, daripada kerjaan kamu hanya bikin saya malu saja di sini!”
Brak!
Gara mengabaikan amarah Sanjaya, kemudian masuk ke dalam kamar dan tak lupa untuk membanting pintu kamarnya. Terbilang sudah banyak properti rusak di rumah akibat keributan yang sering terjadi.
Suara helaan napas terdengar di kamar bernuansa hitam, putih, abu-abu ini. Gara membanting tubuhnya ke kasur, mengabaikan rasa sakit akibat pukulan Bramasta tadi. Rasa sakit di hatinya melebihi rasa sakit di kepala dan perut akibat jotosan.
Di rogoh saku seragamnya dan mengeluarkan ponsel warna hitam berlogo brand terkenal, apel. Membuka aplikasi berwarna hijau dan putih dan mengetik pesan.
Den, gue kangen banget sama lo.
Delete.
Gara menggelengkan kepalanya membaca ulang teks yang telah di ketiknya, kemudian langsung menghapus kembali pesan itu, mengurungkan niat untuk mengirimnya kepada Adena.
Kita pernah dekat sedekat nadi sebelum kita jauh sejauh matahari.
Delete.
Membaca ulang teks itu membuat Gara melakukan hal yang sama kembali, menghapus teks itu.
Aku benci ketika rindu ini menghampiriku. Hati dan logika kadang tak sejalan. Hati berkata bertahan namun logika berkata melepaskan. Rindu ini terasa sesak, seolah mencekikku. Dan semua kata tak sempat terucap. Bagaimana bisa aku mencintaimu dengan sebodoh ini?
Gara mengalihkan perhatiannya ketika mendengar suara pintu kamar di ketuk dari luar. Kemudian muncullah sosok gadis yang langsung menunjukkan cengiran khasnya kepada Gara, memperlihatkan behel di giginya yang berwarna hijau.
Garazia Andrea Sanjaya, gadis yang usianya terpaut hanya dua tahun tahun itu adalah satu-satunya adik Gara.
"Lihat dong, gue nemu apa barusan di gudang." Sumringah Zia sambil menunjukan sebuah bingkai foto.
Tanpa sadar jempol Gara menekan tombol kirim saat Gara mengalihkan perhatiannya pada Zia. Teks alay yang berniat untuk Gara hapus kembali telah terkirim dengan sempurna.
Zia memberikan bingkai foto kepada Gara. Lelaki itu tersenyum miris melihat foto, sebuah kenangan yang Gara tidak tahu apakah bisa diulang lagi.
Di dalam foto itu terdapat sosok lelaki yang sedang merangkul akrab gadis di sampingnya. Mereka berdua kompak berpakaian kostum hantu, foto itu di ambil saat mereka masih menginjak sekolah memengah pertama. Ceritanya, mereka sedang menakuti adik kelasnya yang sedang melakukan jurit malam.
Foto itu di ambil tepat dua tahun sebelum kecelakaan terjadi dan mengubah segalanya.
Gadis itu Adena Margarita, seorang gadis yang mampu membuat Gara tersenyum di kala sedih, seorang gadis yang mampu membuat Gara tertawa di kala marah, gadis yang selalu bersemangat untuk membantu tugas bahasa Gara. Adena dan Gara sudah saling mengenal sejak kecil sebelum tiba-tiba hubungan mereka berubah menjadi orang asing. Dia adalah Adena Margarita, cinta pertama Gara.
"Gue jadi kangen Kak Aden," gumam Zia sambil mengambil tempat di sebelah Gara.
"Apa lagi gue,” tambah Gara.
Getaran ponsel Gara menyadarkan Gara dari kenangan yang selalu datang tanpa permisi tentang-nya. Satu spanduk pemberitahuan muncul, atas nama Adena Margarita.
Tentu saja Gara terkejut, bahkan Gara sampai menangkap layar notifikasi pesan tersebut. Kapan lagi seorang Adena mengirimnya pesan? Selama ini Gara selalu diabaikan oleh Adena.
Zia ikut mengintip layar ponsel Gara, kepo. Setelah melihatnya, Zia sama terkejutnya dengan Gara.
Gara segera membuka pemberitahuan tersebut. Gara tersedak oleh ludahnya sendiri ketika membaca pesan dari Adena.
Adena Margarita
Dari google y? Karangan mana lagi yang lagi lo buat?
Read.
Mata Gara sukses melotot saat melihat teks yang hendak ia hapus tadi telah terkirim. Gara menolehkan kepalanya ke samping, menatap Zia dengan tatapan paling horor di milikinya.
"JIA TAYO! GARA-GARA LO TAYO! MALU-MALUIN BANGET SIH!" Rengek Gara. Zia merebut ponsel Gara dan membaca percakapan yang terjadi di antara Gara dan Adena, bukannya merasa bersalah Zia malah terkekeh ringan.
Zia terkekeh sambil menekan luka yang berada di pelipis Gara, membuat lelaki itu yang tadinya sedang merengek menjadi meringis kesakitan.
"Aduh!"
"Gak tahu bersyukur banget sih lo. Harusnya lo bersyukur, kapan lagi kak Den nge-chat elo?" Zia pergi keluar kamar Gara, tak lama kemudian Zia kembali dengan kotak P3K di tangannya.
“Tapi enggak dengan cara yang memalukan kayak gini juga kali.” Gara menutup wajahnya menggunakan bantal, sekarang Gara tak memiliki wajah untuk bertemu dengan Adena.
Cepat-cepat Gara kembali mengetik pesan untuk dikirim kepada Adena. Setidaknya Gara harus berusaha menyelamatkah wajahnya di detik-detik terakhir moment memalukan di hidupnya.
Salah kirim. Ini kerjaan adik gue yang lagi galau. Bukan gue. Sumpah bukan gue!
Send.
Zia yang mengintip layar ponsel Gara pun berdecih sinis. Ini bukan pertama kalinya Zia dijadikan tumbal oleh Gara. Gemas, Zia justru sengaja menekan luka di wajah Gara sebagai pembalasannya.
“Aw!" ringis Gara sambil menatap Zia kesal.
"Luka lo itu, ish!" Decak Zia, gadis itu kembali duduk di sebelah Gara dan mulai mengobati luka Gara.
Dalam hati Gara bersyukur, di tengah-tengah keluarganya yang hancur masih ada satu orang yang tetap mempedulikannya. Gara berjanji dalam hati akan menjaga gadis kecilnya ini selamanya.
Orang tua yang bercerai, ayahnya yang menjadi gila jabatan. Walau ibunya sudah tiada di mata Gara, namun ada sosok gadis kecil yang selalu siap mengulurkan tangan setiap kali Gara terluka.
"Ji,” panggil Gara pelan.
"Bawel lo, jangan banyak omong,” omel Zia.
Gara terdiam sebentar. "Makasih tetap ada buat gue meski lo tau betapa berengseknya gue,” gumam Gara walau Zia masih bisa mendengar dengan jelas.
Zia menghentikan gerakannya mengobati luka Gara, tertegun dengan ucapan abangnya. Seorang Gara cukup langka untuk mengucapkan terima kasih dengan tulus.
“Baru sadar lo kalau lo berengsek?” cibir Zia mengudang decakan penuh penyesalan dari Gara.
Zia tersenyum tipis menatap wajah Gara. "Karena lo abang gue, cuma lo doang yang gue punya di kehidupan ini."
Gara tersenyum tulus mendengar jawaban adiknya. Senyuman yang jarang sekali Gara perlihatkan.