"Dia lagi, dia lagi. Nggak bosen apa, dihukum terus tiap hari?"
Bisik-bisik itu muncul dari kelompok siswa yang sedang duduk santai di teras kelas. Mereka menyipitkan mata, menatap ke arah lapangan basket yang disinari mentari pagi.
Suara mereka lirih, tapi cukup jelas terdengar di antara gumam obrolan lainnya.
"Gimana nggak dihukum? Datang telat terus, seragam juga kayak baru diangkat dari jemuran," sahut yang lain sambil tertawa pelan, menahan geli.
"Serius, bukan cuma nggak rapi, bro. Itu mah lusuh. Kusutnya parah."
"Sama aja lah. Intinya, nggak niat sekolah banget itu anak."
Tawa ringan mengiringi komentar-komentar tajam tersebut. Bagi mereka, pemandangan di lapangan itu bukan hal baru. Hampir setiap minggu, ada satu sosok yang jadi tontonan gratis dan sasaran komentar pedas.
Sosok itu tampak berlari mengitari lapangan, seakan tidak peduli pada cuaca, keringat, atau bahkan sorotan mata yang mengikuti setiap langkahnya.
Baju putihnya lecek, nyaris tak berbentuk. Dasi tak terlihat entah ke mana. Lengan kemejanya digulung sembarangan. Sepatunya hitam, tapi warnanya sudah pudar dan kotor, seperti baru diseret dari genangan air comberan.
Itu Brian Renaldi.
Siswa kelas sebelas yang namanya sudah terkenal dengan cara yang tidak diinginkan kebanyakan orang.
Di mata guru-guru, ia adalah biang kerok. Anak yang terlalu sering melanggar aturan sampai-sampai wali kelasnya sendiri sudah kehabisan alasan untuk membelanya. Tapi di kalangan siswa, terutama yang baru masuk, Brian justru jadi semacam legenda urban. Bukan karena prestasi akademik. Bukan pula karena paras rupawannya. Tapi karena keberaniannya untuk berbeda.
Berandal. Antisosial. Anak bermasalah.
Label-label itu sudah terlalu lama melekat padanya. Namun tidak satu pun yang membuat Brian goyah. Ekspresinya datar. Tatapannya kosong. Meski peluh mengalir dari pelipisnya, langkahnya tetap stabil, tidak menunjukkan kelelahan atau niat untuk mempercepat gerakan.
Pak Yanto, guru olahraga yang berjaga di pinggir lapangan, hanya melirik sekilas dari balik clipboard-nya. Dia sudah terlalu sering melihat pemandangan itu. Brian, seperti biasa, dihukum lari keliling lapangan. Tapi tidak seperti siswa lain, dia tidak pernah membantah, tidak pernah mengeluh, bahkan tidak pernah menunjukkan rasa bersalah.
"Anak itu kayak batu," gumam Pak Yanto dalam hati. "Dipukul nggak pecah, dipuji juga nggak meleleh."
Ketika bel tanda akhir jam istirahat berbunyi, Brian menyelesaikan putaran terakhirnya. Napasnya masih teratur, tidak terengah. Ia memperlambat langkah, lalu berhenti di bawah bayang-bayang pohon besar dekat gerbang kecil. Ia mengusap keringat dari dahinya, lalu berjalan santai kembali ke gedung sekolah.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Langkahnya pelan, tetapi tegas. Seolah-olah dia baru saja selesai mengikuti sesi meditasi, bukan lari keliling lapangan tiga puluh kali.
Dan saat ia melewati kelompok siswa yang tadi membicarakannya, Brian tidak menoleh sedikit pun. Dia tahu mereka sedang menatapnya. Dia tahu mereka sedang menilai. Tapi seperti biasa, dia tidak peduli.
Karena bagi Brian Renaldi, dunia sekolah bukan tempat mencari teman. Bukan tempat mencari pujian. Sekolah hanyalah satu dari sekian banyak hal yang harus ia lewati.
Dan tidak ada yang tahu, bahwa di balik sikap dingin dan tatapan kosong itu, ada dunia lain yang jauh lebih rumit daripada sekadar seragam kusut dan hukuman dari guru.
***
Kelas 11-B tampak seperti biasa. Meja dan kursi tersusun rapi, beberapa masih menunjukkan bekas goresan spidol atau coretan iseng dari generasi sebelumnya. Udara di dalam ruangan terasa kompleks, bercampur antara aroma kertas, bekal makanan, dan pendingin ruangan.
Sebagian siswa masih menyantap bekal mereka dengan malas, sementara lainnya sibuk menunduk, terpaku pada layar ponsel masing-masing. Percakapan kecil terdengar dari berbagai sudut, sebagian besar tak berarti, hanya sekadar mengisi kekosongan waktu sebelum guru datang.
Begitu Brian melangkah masuk, suasana itu sedikit berubah.
Beberapa pasang mata langsung melirik ke arahnya. Ada yang menatap lekat-lekat, ada pula yang hanya sekilas lalu cepat-cepat berpaling. Beberapa bahkan pura-pura tidak melihat, meski jelas-jelas penasaran. Suara di dalam kelas pun sedikit mereda karena kehadiran Brian.
Semua tahu: Brian baru saja dihukum. Lagi.
Tanpa bicara, tanpa ekspresi, Brian berjalan menuju bangkunya yang berada di dekat jendela. Ia menarik kursinya dengan suara berderit tajam, lalu duduk dengan posisi santai, seolah dunia di sekelilingnya tidak layak diperhatikan. Tidak ada sapaan. Tidak ada basa-basi. Hanya keheningan dan sikap dingin yang seperti sudah menjadi bagian dari dirinya.
Beberapa detik setelahnya, pintu kelas terbuka kembali.
Sosok yang masuk kali ini bukan murid. Pak Soni, guru sejarah yang dikenal tenang dan murah senyum, melangkah masuk dengan buku catatan di tangan dan senyum tipis di wajahnya.
“Selamat pagi, anak-anak,” ucapnya.
“Pagi, Pak,” jawab sebagian siswa, sebagian setengah hati, sebagian nyaris tak terdengar.
Pak Soni mengangguk kecil.
“Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, kita kedatangan teman baru. Silakan masuk.”
Langkah pelan terdengar dari luar. Sesosok siswi melangkah masuk ke dalam kelas.
Rambut hitamnya panjang, diikat rapi ke belakang tanpa aksesori berlebihan. Seragam putih abu-abu-nya bersih dan terlipat sempurna, nyaris seperti baru diambil dari gantungan toko. Wajahnya tidak terlalu mencolok, namun ada sesuatu dalam caranya berdiri, tenang dan percaya diri, yang membuat semua orang diam. Aura anggun tanpa dibuat-buat.
“Namaku Seva Winata,” ucapnya dengan nada sopan namun jelas, “Aku pindahan dari Sekolah Menengah Swasta Nirwana, di Provinsi Tenya.”
Gumaman kecil terdengar dari beberapa siswa. Nama sekolah itu bukan sembarangan. Nirwana dikenal sebagai sekolah elite, hanya bisa dimasuki oleh siswa dari kalangan atas, dengan biaya yang mencengangkan. Satu semester saja bisa membiayai hidup satu keluarga selama setahun.
Seva memandang ke seluruh ruangan dengan tenang. Tidak gugup, tidak canggung. Matanya menyapu seluruh kelas, lalu berhenti sejenak pada sebuah bangku kosong tepat di pojok kelas.
“Seva akan duduk di bangku sebelah Brian,” ujar Pak Soni, nada suaranya masih sama hangatnya. “Tolong dibimbing ya, Brian.”
Tidak ada jawaban. Tidak ada anggukan.
Brian bahkan tidak menoleh. Matanya masih tertuju ke luar jendela. Tapi dari sudut matanya, ia menangkap sosok itu, siswi baru yang akan duduk di sebelahnya.
Langkahnya ringan. Seragamnya nyaris terlalu sempurna. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja masuk ke lingkungan asing.
Brian menghela napas pelan.
“Tipikal anak pintar yang rajin dan bakal disayang guru,” pikirnya dingin. “Seminggu lagi juga bakal mulai muak sama tempat ini.”
Siswi itu duduk tanpa banyak suara. Tidak ada basa-basi, tidak juga sapaan. Hanya ketenangan kaku yang biasa dimiliki orang-orang yang terbiasa mengikuti aturan. Brian tidak menatap langsung, tapi ia bisa merasakan aura “murid polos” dari cara duduknya yang tegak dan rapi.
Di belakangnya, ada bisik-bisik pelan, komentar dari siswa lain yang masih penasaran. Tapi Brian tidak peduli.
Ia tahu tipe seperti Seva.
Siswa pindahan dari sekolah elite. Nilai bagus, tutur kata halus, pakaian licin tak bernoda. Mungkin punya prestasi akademik atau piala pidato. Mungkin juga sekadar anak orang kaya yang dibuang sementara agar “belajar bersosialisasi”.
Semua itu tidak penting.
Karena dalam pikiran Brian, semua orang hanya datang dan pergi.
Dan yang datang dengan terlalu banyak cahaya biasanya akan pergi lebih cepat dari yang lain.
Brian menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, menutup matanya sejenak. Bukan untuk tidur. Hanya untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri, menjauh dari suara-suara, dari tatapan-tatapan, dan dari kesan pertama yang, menurutnya, sudah cukup untuk menyimpulkan:
Siswi baru itu bukan ancaman. Tapi bukan juga sesuatu yang akan ia pedulikan.