Sore itu, langit mulai menggelap. Awan kelabu menggantung rendah, pertanda hujan akan turun kapan saja. Di atas motor masing-masing, Ethan dan Ferdy melaju beriringan menyusuri jalan sempit sepulang kerja.
Ketika melintasi sebuah gang, pandangan mereka tertumbuk pada kerumunan tak wajar. Beberapa pria bertubuh besar tengah mengeroyok seorang lelaki paruh baya yang sudah tergeletak di tanah.
“Hei, lihat itu!” seru Ethan sambil memperlambat laju motornya.
“Gila, mereka memukuli orang tua?” Ferdy ikut menghentikan motor.
Tanpa pikir panjang, Ethan turun dari motornya dan berjalan cepat ke arah keributan. Ferdy, meski ragu, menyusul.
“Hentikan!” teriak Ethan sambil menarik salah satu pria kekar menjauh dari korban. “Kenapa kalian memukuli orang tua ini? Nggak malu ngeroyok orang yang jelas-jelas nggak bisa lawan balik?”
Para pengeroyok langsung berhenti. Pandangan mereka tajam, penuh ancaman. Salah satu dari mereka melangkah maju, menatap Ethan dengan wajah mengenali.
“Eh, aku kenal kau. Bukankah kau putranya Nyonya Elizabeth?” suara pria itu tinggi, mengandung ancaman. “Jangan ikut campur, anak muda! Mau nasibmu sama seperti dia?”
Ferdy mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Ethan. “Sepertinya mereka anak buah Tuan Drago. Mungkin si bapak ini punya utang yang belum lunas.”
Ethan membalas pelan, “Kalau cuma nagih utang, kenapa harus dipukuli sampai begini?”
“Itu memang cara mereka. Kejam dan brutal. Kita sebaiknya pergi sekarang, sebelum keadaan makin runyam,” ucap Ferdy sambil menarik lengan sahabatnya.
Ethan menepis tangannya. “Aku nggak bisa tinggal diam. Kita pernah dilatih untuk membantu siapa pun yang kesusahan, ingat?”
“Kalian dua benar-benar cari masalah!” bentak pria yang dikenali Ethan tadi. “Namaku Hendrick. Kalian tahu siapa Tuan Drago, kan? Satu kata darinya, kalian bisa hilang tanpa jejak!”
Ethan berdiri tegak. “Kami nggak takut. Empat lawan dua, itu belum berarti kalian bisa seenaknya.”
Hendrick melotot. “Serang mereka!” perintahnya pada tiga pria lainnya.
Tanpa pilihan, Ferdy ikut bersiap. Perkelahian tak terelakkan.
Mereka berdua bukan tandingan biasa. Pelatihan wajib militer dan pengalaman kerja sebagai petugas keamanan membuat pukulan mereka terukur dan cepat. Dalam beberapa menit, tiga anak buah Drago ambruk di tanah, mengerang kesakitan.
Hendrick melangkah maju, wajahnya merah padam.
“Kalian berani mempermalukan kami?!” ia mengayunkan pukulan ke arah Ethan.
Belum sempat mengenai sasaran, suara tembakan terdengar memecah udara. Semua orang sontak menoleh.
Seorang pria paruh baya keluar dari mobil hitam di tepi jalan, pistolnya masih berasap. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam seperti elang.
“Cukup!” bentaknya. “Ethan, bukan? Putra Nyonya Elizabeth?”
Ethan mengangguk, masih waspada.
“Aku Flint. Tangan kanan Tuan Drago. Dan kau baru saja membuat kesalahan besar.”
“Kesalahan?” Ethan mendekat dua langkah. “Kalau membela orang lemah disebut kesalahan, maka aku tidak menyesal.”
“Kau tahu apa tentang urusan ini?” suara Flint meninggi. “Pak tua itu punya utang. Waktunya sudah habis. Kau mau bayar utangnya?”
Flint mengacungkan pistol ke arah Ethan. Suasana mendadak membeku.
“Tenang, Ethan,” bisik Ferdy dari samping. “Dia kelihatan serius. Kita harus mundur.”
“Aku nggak tahan lihat orang tua dipukuli begitu, Fer. Dia mungkin bersalah, tapi bukan begitu caranya menagih,” sahut Ethan, tetap menatap Flint tanpa gentar.
“Pergi sekarang juga, atau peluru ini akan mampir ke tubuh kalian!” bentak Flint, nadanya tajam dan dingin.
Ethan menghela napas. “Baik. Kami akan pergi. Tapi lepaskan pak tua itu.”
Flint tertawa kecil, meremehkan. Tapi sebelum ia menjawab, sebuah tangan melambai dari dalam mobil hitam. Perintah diam-diam dari seseorang yang duduk di dalam.
Flint melirik, lalu memberi aba-aba. “Kalian beruntung. Tuan Drago sedang bermurah hati hari ini. Tapi lain kali, jangan harap bisa lolos.”
Hendrick dan anak buahnya segera masuk ke mobil. Dalam hitungan detik, kendaraan itu melaju pergi, meninggalkan Ethan dan Ferdy yang basah kuyup karena gerimis yang mulai turun deras.
Ferdy menoleh ke arah pria tua yang masih duduk lemah. “Pak, kami antar pulang ya.”
“Aku yang bonceng,” tawar Ferdy. “Motor Ethan cuma muat satu.”
“Rumahku dekat. Dua blok dari sini,” ucap si bapak dengan suara lemah. “Terima kasih... siapa nama kalian?”
“Aku Ethan. Ini Ferdy.”
“Terima kasih banyak. Kalian sungguh baik.”
“Jangan ditolak, Pak. Hujan begini bisa bikin bapak sakit,” ujar Ferdy sambil membantu si bapak naik ke motornya.
Sebelum mereka berpisah, Ethan mengingatkan sahabatnya. “Jangan lupa jemput aku jam tujuh malam, ya. Ulang tahun ibunya Mona.”
Ferdy mengacungkan jempol. “Kalau nggak ada halangan, pasti!”
Ethan menyalakan motornya dan melaju perlahan. Hujan mengguyur tubuhnya, tapi pikirannya masih tertinggal di tempat kejadian tadi—dan pada sosok misterius yang mengamati mereka dari dalam mobil.