Bab 1
[Kamu itu si Tulang Wangi. Beruntunglah kamu karena memiliki kepekaan batin yang luar biasa. Kelak, kamu adalah pembawa harapan …, juga misteri sekaligus.]
BRAK!!!
Bumi langsung membuka mata. Kesadarannya dipaksa pulih setelah terbangun dari tidur sore. Secepat angin dia melompat turun dari tempat tidur dan berlari keluar kamar.
“Nek, sudah berapa kali kubilang? Ini sudah nunggak tiga minggu. Kalau tak punya uang, jangan terus-terusan ngutang ke kami.”
“Halah, jangan kelewat lembut sama dia. Ambil sana meja sama kursi. Gerobaknya juga sekalian, jangan lupa dibawa. Kita tak dapat uang, setidaknya Bos masih mau terima rongsokan dari Nenek ini.”
Bumi langsung meloncat ke hadapan nenek. Dia berdiri bak pelindung. Tubuhnya tegap dengan sorot mata garang.
“Bang, jangan buat rusuh di sini,” geram Bumi.
“Nenek kau itu yang jangan buat rusuh. Sudahlah ngutang ke kita, ditagih susahnya minta ampun,” keluh salah satu dari dua orang pria berbadan gempal yang berdiri di warung sang nenek.
Bumi merogoh kantong celana. Dilemparkannya segulung rupiah ke arah dua pria itu. “Sepertiga cicilan. Sisanya akhir minggu ini.”
“Nggak bisa gitu kau, Le. Ini masih utang pokok saja. Bunganya mana?”
Bumi sekali lagi merogoh kantong. Namun, kali ini gerakannya ditahan oleh sepasang tangan halus dengan kulit keriput Nenek.
“Itu uang buat sekolahmu. Jangan dipakai, Bumi.”
Senyum Bumi tipis. “Nek, mana yang lebih penting harus kita dahulukan. Nggak enak juga ditonton sama tetangga.”
Wajah Nenek pucat, tak lagi mampu memerah. Akhirnya kepala Nenek menunduk seiring berpindah tangan segulung uang lagi dari tangan Bumi.
Huru-hara sore menjelang malam itu berhasil diredam oleh Bumi. Para tetangga yang masih memiliki rasa kasihan turut membantu membereskan warung makan Nenek yang berantakan akibat ulah anak buah rentenir. Beberapa dari mereka menasehati agar tidak meminjam dari rentenir itu lagi. Namun, semua perkataan itu hanya ditanggapi senyum dingin oleh Nenek dan Bumi.
“Nek, aku mau keluar sebentar. Nggak bakal pulang malam. Nenek tak usah khawatir orang-orang itu akan datang lagi. Aku sudah minta tolong Pak RT buat bantu awasi warung.”
“Mau ke mana, Bumi?”
“Kerja kelompok.” Hanya itu jawaban singkat dari mulut yang sangat irit informasi. Bumi memindahkan ransel dari bahu kanan ke bahu kiri, mencium punggung tangan Nenek, dan bergegas pergi dari warung yang berada di bagian depan rumah kecil itu.
Gang demi gang dilalui Bumi dengan berjalan kaki. Dia dan Nenek memang tinggal di dalam gang di daerah tidak jauh dari Zona Juruhan, tempat di mana sekolah elite Juruhan yang meliputi TK sampai kampus berada. Secara hati-hati lelaki tujuh belas tahun itu memilih jalan agar tidak sampai berpapasan dengan teman-teman sekolahnya.
Hingga setengah jam kemudian, dia tiba di depan satu bangunan modern bergaya minimalis. Fasad kaca besar di bagian depan menampilkan banyak orang tengah workout. Bumi melenggang masuk begitu santai, seolah sudah sering mendatangi gedung eksklusif itu.
“Kau sudah ditunggu,” sapa sekuriti di bagian depan.
“Taruhanmu besar, Bocah. Aku pasang delapan puluh buatmu. Malam ini, kamu harus menang.”
Bumi hanya mengangguk singkat, tanpa senyum, tanpa kata. Diantar oleh seorang sekuriti, mereka melewati koridor kaca menuju ke satu pintu tebal dengan kunci sandi khusus. Begitu pintu itu terbuka, anak tangga ke bawah terlihat curam dan menegangkan.
Bumi berjalan di belakang sekuriti. Suara ramai perlahan-lahan menyambutnya. Rupanya tangga itu menuju ruang bawah tanah berukuran sangat luas. Lampu menyorot bagian tengah ruangan. Sorak-sorai bergemuruh saat wasit mengumumkan kehadirannya.
“Malam ini istimewa. Petarung tangguh kita akhirnya datang. Ladies and Gentlemen, mari kita sambut. BAYUJALA!”
Bumi membuang tas ranselnya ke lantai. Berikutnya jaket juga terlempar begitu saja. Hanya berbekal celana training dan kaus oblong, lelaki itu melompat ke atas ring. Tepat di hadapannya, ada seorang lelaki muda lain dengan tampang tengil yang tersenyum pongah.
Bumi berjalan mendekat. Hidungnya tepat berhadapan dengan hidung si penantang yang sama tinggi dengannya. “Pasang pengamanmu, Bro. Malam ini adalah milikku.”
Tidak ada jawaban diterima Bumi. Sebagai balasan atas provokasinya, penantangnya langsung menerjang. Siku kiri dikibaskan seperti parang, mengarah ke pelipis Bumi. Namun, Bumi bergeming. Dia hanya memiringkan badan setengah jengkal, cukup untuk membuat serangan itu mengenai angin kosong.
Berikutnya dentuman lutut menghantam tulang rusuknya. Keras. Bumi mundur dua langkah sembari menahan napas. Senyum tipisnya tersungging.
“Berisik sekali pukulanmu, Bro,” gumam Bumi.
Tak diberi waktu jeda, lawannya kembali menghunjam lagi. Tinju kanan seperti palu, menyusul low kick ke paha. Namun, Bumi tak melawan dengan gaya sama. Dia berkelit menghindar, membiarkan tubuhnya melenting seperti rotan basah. Dan saat lawan kehilangan ritme sedetik saja, Bumi masuk.
DAGH!
Satu hantaman telapak terbuka mendarat tepat di dada. Lawan Bumi terdorong. Ekspresinya terkejut, bukan karena sakit, tetapi karena bingung–itu bukan pukulan tinju, tetapi tenaga dalam.
Bumi kini mengejar. Sikut kanan menghantam pelipis, lutut naik ke perut, dan tangan kiri menekuk lengan lawan dengan teknik kuncian yang lebih mirip jurus silat daripada gaya bebas.
Sorak sorai semakin keras. Mereka mengelu-elukan petarung jalanan yang naik ke ring gelap. Bandar mulai tersenyum lebar karena banyak yang memasang nama Bayujala sebagai pemenang pertarungan ini.
Sementara di atas ring lawan mencoba lepas, tetapi setiap gerakannya malah mengikat dirinya lebih dalam masuk jerat Bumi. Kali ini Bumi menutup gerakan lawan dengan satu sapuan kaki dan menjatuhkan musuhnya ke kanvas, lalu menindih dengan siku ke tenggorokan. Wajahnya tetap datar. Dingin.
Wasit mengangat tangan. Penonton meledak.
Bumi berdiri, meludah ke samping, lalu berjalan keluar ring seperti habis memadamkan rokok, bukan seperti habis bertarung hidup dan mati.
“Bilang sama mereka yang di atas.” Bumi mengambil ransel dan jaketnya dari sekuriti. “Lain kali cari orang yang bisa bertarung, bukan yang cuma bisa berisik.”
Sekuriti nyengir lebar. Bumi berjalan mengambil uang kemenangannya. Sempat dia ditahan sejenak saat hendak ngeloyor pergi.
“Mau ke mana? Masih sore ini. Ada dua orang lagi yang bisa kamu layani.”
Bumi menggeleng. “Besok ada kerjaan aku, Bang. Nggak bisa pulang malam-malam.”
“Tapi uangmu masih sedikit.”
Bumi mengintip isi dalam amplop. Lembaran merah dan biru tertumpuk rapi di sana. Sembari menghitung cepat, Bumi bisa memastikan isinya lebih dari cukup untuk membayar sisa utang Nenek bulan ini ke rentenir.
“Segini dulu aja, Bang. Kabari kalau ada lawan yang oke.”
Dan Bumi menyelinap pergi dari ruang bawah tanah. Saat berada di luar, langit sudah gelap. Terdengar suara badai dan aroma hujan. Bergegas Bumi pergi dari pusat fitness yang juga memiliki arena underground fighting.
Lalu hujan deras turun. Begitu derasnya hujan, sampai Bumi tidak menyadari ada satu mobil yang berjalan mengikutinya pelan dari belakang. Saat Bumi menghilang ke satu gang sempit, mobil itu berhenti bergerak.
“Rumahnya di sekitar sini?” tanya seseorang di jok belakang.
“Tidak, Tuan. Masih empat kilometer dari sini. Bocah itu selalu berjalan kaki ke sini. Kita pergi ke rumahnya, Tuan?”
Sopir melirik spion di atas dasbor. Gelengan dari pria yang memakai topeng berukir Kala menjadi jawaban.
“Sampai di sini saja.” Pria itu mengetuk gagang pedang. “Bayujala, ya? Nama itu seharusnya dikubur, bukan dipakai bocah yang ingin hidup tenang. Kalau dia sudah berani memakai nama itu, maka darahnya pantas tumpah.”