Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Cinta Anak Gen Z

Cinta Anak Gen Z

Ailah Sarii | Bersambung
Jumlah kata
127.4K
Popular
2.6K
Subscribe
210
Novel / Cinta Anak Gen Z
Cinta Anak Gen Z

Cinta Anak Gen Z

Ailah Sarii| Bersambung
Jumlah Kata
127.4K
Popular
2.6K
Subscribe
210
Sinopsis
18+PerkotaanSekolahPria MiskinCinta Sekolah
Satria, seorang pemuda miskin yang harus berjuang untuk bisa menggapai cita dan cintanya di masa SMA. Walaupun hidupnya mengalami kesulitan, ia tatap berusaha karena mempunyai cita-cita yang tinggi. Bukan hanya itu, ia juga jatuh hati secara diam-diam pada sahabatnya yaitu Citra seorang gadis cantik nan kaya raya yang ternyata menyukai lelaki lain. Akankah Satria sanggup dengan kehidupannya yang kesulitan, ataukah ia akan menyerah begitu saja? Lantas, bagaimana dengan kisah cinta segitiganya? Mungkinkah Satria akan mendapatkan Citra atau justru harus merelakannya bersama orang lain?
Bab 1 Perjuangan Menuju Sekolah

Mentari pagi menyinari seorang pemuda berkulit putih bersih yang tengah mengayuh sepeda bututnya mengelilingi jalan raya yang begitu padat. Ia menempuh jarak empat kilometer untuk bisa tiba di sekolah.

Ia memperlambat laju sepedanya ketika melihat mobil berwarna merah terparkir di depan gerbang, senyum pemuda tampan itu merekah ketika melihat seorang gadis yang baru saja keluar dari sana.

"Pagi Satria," sapa gadis berambut sebahu dengan seragam sekolahnya yang rapi nan bersih.

Satria Wiguna, itulah nama pemuda yang sejak pagi menyusuri jalan untuk menuntut ilmu, berharap di kemudian hari bisa menjadi orang sukses. Ia adalah pemuda yang akan baru menginjak usia 18 tahun.

"Pagi juga." Ia membalas sapaan itu.

"Satria, Om titip Citra, ya. Kalau ada apa-apa kamu langsung bilang sama Om," ucap seorang pria paruh baya yang berada di dalam kendaraan roda empat itu.

"Iya siap, Om."

Citra Bellaria, ia adalah gadis manis berwajah cantik itu sahabat dari Satria. Satria menjadi kepercayaan orang tua perempuan tersebut karena mereka sudah lama saling kenal, cukup tahu bahwa Satria adalah pemuda yang sangat baik. Dua insan itu memasuki area sekolah dengan langkahnya yang pelan mengedarkan pandangan ke sekitar.

"Hari ini pertama kamu masuk sekolah di sini, pasti kamu perlu beradaptasi dengan orang-orang di sini." Satria mengawali pembicaraan di tengah-tengah perjalanan.

"Aku rasa tidak perlu beradaptasi dengan siswa yang lain, bagiku satu sekolah denganmu saja udah cukup."

"Citra, kita datang ke tempat ini untuk menuntut ilmu, kamu jangan salah mengartikan tujuan." Satria memberitahu gadis yang setahun lebih muda darinya.

"Kau benar, aku terlalu senang."

Satria mengantarkan gadis itu tepat sampai di depan pintu kelasnya, mereka berpisah karena Satria sudah kelas 11 sedangkan Citra baru kelas 10. Pria bertubuh tinggi yang sudah mencapai 160 di pertengahan sekolahnya itu duduk di kursi barisan paling kedua dari depan.

Ia sedikit merenung, tetapi bukan pelajaran yang ia renungkan. Tentu tidak mungkin bagi seorang Satria merenungkan masalah pelajaran, ia adalah siswa yang berprestasi di kelasnya.

"Satria, pagi banget kamu datang." Seorang teman sebangkunya mengapa sambil duduk di sampingnya.

"Aku jauh, kalau gak datang pagi-pagi bisa terlambat."

"Kamu, kan searah sama cewek kelas 10 temanmu itu yang katanya orang kaya, kenapa gak numpang aja."

Lelaki sebaya itu tahu tentang Citra karena ketika penerimaan siswa baru.

"Selagi aku mampu, aku tidak membutuhkan bantuan orang lain."

Ucapannya mampu menutup mulut temannya, bel masuk sekolah berbunyi. Suara itu terdengar ke seluruh penjuru menandakan semua murid harus segera berada di kelas. Satria tidak sabar menunggu guru datang untuk membawakan ilmu baru. Ketika seorang guru menjelaskan pelajaran hari ini, tlinga, tangan dan matanya sibuk menjalankan tugas masing-masing.

Seorang pria berkacamata yang sejak tadi telah memberikan contoh dalam mengerjakan penjumlahan pun berkata. "Buka halaman 90, kerjakan tugasnya, bapak tunggu sampai jam istirahat."

Di saat teman-temannya bingung karena ketika ada penjelasan malah mengobrol bahkan sebagian ada yang tidur, tetapi justru Satria sibuk berkutat dengan alat tulisnya. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk menjawab sepuluh soal. Satria tersenyum ketika memandang bukunya bernilai seratus.

"Satria, bantuin." Begitulah kata teman-temannya pada lelaki itu, tetapi Satria tidak bisa berbuat apapun.

Ia meninggalkan ruangan kelas karena sejak awal sudah diintruksikan siapa yang menjawab soal dengan benar bisa istirahat.

Satria merogoh saku celananya, mengambil uang pecahan lima ribu yang dibawanya dari rumah. Dengan cepat lengannya kembali memasukkan kembali ketika melihat Citra berlari kecil ke arahnya.

"Satria, ayo kita ke kantin," ajaknya seraya menggandeng lengannya, bahkan menarik pelan agar lelaki itu mau beranjak pergi.

Satria membalas dengan anggukan kecil, Citra banyak cerita dalam perjalanan menuju ke kantin. Ia merasa senang karena bertemu dengan teman perempuan yang baik.

"Kalau begitu kenapa kamu gak ke kantin bareng mereka?" tanya Satria mampu membuat langkah gadis itu terhenti.

"Lebih seru sama kamu," jawabnya sambil kembali melanjutkan tujuannya.

Muda mudi itu duduk di kursi saling berhadapan terhalang oleh meja yang sudah tersedia sendok dan garpu.

"Satria, kamu mau pesan apa? Biar aku yang pesankan untukmu."

"Nasi goreng aja," jawabnya.

"Hanya itu?" tanya gadis itu lagi.

"Ya," jawabnya singkat.

"Masa kamu makan tanpa minum? Nanti nyangkut di tenggorokan."

"Aku bawa air di tas, jadi aku akan minum setelah di kelas."

"Kamu pilih aja minumannya biar aku yang bayar," titah Citra.

"Gak usah, Cit. Sayang air yang udah aku bawa masa gak dilupakan," tolak Satria.

Sejujurnya itu hanyalah alasan, Satria hanya bisa membayar seporsi nasi goreng yang harganya lima ribu. Ia tidak mampu membeli minumnya apalagi pelengkap makanan yang satu itu.

Citra menganggap Satria lelaki aneh, ia tidak tahu mengapa setiap kali diajak makan pasti Satria tidak membeli minumnya. Padahal, di sana ada berbagai macam minuman yang manis dan enak serta menyegarkan.

Sejujurnya, bukan Satria tidak tertarik, tetapi karena memang tidak punya uang. Ia juga membuat alasan agar tidak menyusahkan sahabatnya. Waktu terus berlalu sampai jam pulang sekolah telah tiba, Satria tidak kunjung minum.

Keringat kian membasahi seragam sekolahnya, suasana hari ini sangat panas mampu membuat tenggorakan Satria terasa kering. Ia melupakan tentang itu, sepedanya melaju dengan cepat agar segera tiba di tempat tujuan.

Pasar yang ramai, itulah tujuan Satria. Ia bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang sedang menunggu datangannya laris, sedari pagi sampai pukul dua siang masih berdiam diri di sana dengan sejuta harapan.

"Maaf, Bu. Aku baru pulang," kata Satria pada wanita dengan pakaiannya yang lusuh itu.

"Satria, kamu pulang saja, Nak. Lagian yang beli gak rame jadi Ibu bisa layani sendirian."

"Justru karena sepi maka dari itu itu aku harus membuat dagangan Ibu jadi ramai pembeli," kata Satria yang membuat ibunya menggeleng pelan.

Ia sudah tahu bahwa putranya memang anak yang menantang ucapannya, tetapi menantang demi kebaikan.

"Aku ganti baju dulu, Bu. Aku akan segera kembali," pamit Satria.

Lima menit kemudian, ia kembali dengan menggunakan celana pendek selutut dan kaos hitam lengan pendek. Bukan hanya hari ini, tetapi setiap hari Satria memang selalu membawa baju ganti di dalam tas sekolahnya.

"Bu, aku ambil beberapa sayuran, aku akan menjualnya ke tempat lain."

"Ini udah siang, siapa yang mau beli sayur selain di pasar?"

"Optimis, Bu. Pasti bakal ada yang beli kalau kita berusaha," jawabnya sambil di akhiri dengan senyuman.

Satria tetap patuh pada pendiriannya memasukkan sayur-sayuran ke dalam keranjang. Dua keranjang telah ia penuhi dengan berbagai jenis sayur.

Satria melangkah dengan kedua tangannya membawa benda itu. "Bu, aku pamit."

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca