

Suara riuh rendah di koridor sekolah tiba-tiba lenyap, di gantikan oleh keheningan yang tegang saat Pak Tejo, Pegawai tata usaha yang di wakili olah bapak kepala sekolah, menempelkan selembar kertas di papan pengumuman utama.
Kertas itu lebih dari sekadar pengumuman, itu adalah vonis, tiket emas, sekaligus palu godam bagi siswa kelas dua belas. Peringkat paralel semester akhir.
Penentu tunggal siapa yang berhak mendapatkan rekomendasi utama untuk masuk universitas negeri favorit tanpa tes.
Kerumunan segera mengerubungi papan itu. Di tengah desakan, Mahendra hanya berdiri diam di kejauhan, napasnya tertahan. Ia tidak perlu melihat.
Ia sudah tahu hasilnya berdasarkan perhitungan nilai-nilai ujian terakhirnya.
“Sialan!”
Sebuah suara penuh amarah membelah kerumunan. Ricki, dengan wajah merah padam, meninju loker di sebelahnya dengan keras, membuat beberapa siswa terlonjak kaget.
Matanya yang tajam langsung mengunci sosok Mahen yang berdiri tenang di ujung koridor.
Di belakang Ricki, dua pengikut setianya, Aldo dan Bimo, memasang tampang sangar, seolah ikut merasakan amarah bos mereka.
Ricki berjalan cepat menerobos kerumunan, langkahnya berat dan mengancam.
“Peringkat satu... Mahendra,” desis Ricki saat ia berhenti tepat di depan Mahen.
Jarak mereka begitu dekat hingga Mahen bisa mencium aroma parfum mahal yang bercampur dengan bau amarah.
“Peringkat dua... Ricki. Lucu, bukan?” ujarnya lagi seolah mengejek diri sendiri, namun tidak bagi orang lain yang mendengarnya.
Mahen menatapnya dengan tenang. “Itu hanya angka, Rick. Hasil dari usaha kita semua.”
“Usaha?” Ricki tertawa sinis.
“Usahamu itu muncul entah dari mana di semester terakhir. Tiba-tiba menyalip semua orang. Menyalip aku.”
Lelaki berkulit putih, tampan itu dengan arogan menatap sangar Mahen yang masih memandang nya datar.
“Aku hanya belajar lebih giat,” jawab Mahen, suaranya tetap datar.
“Oh, ya? Atau kau menemukan cara lain?” Aldo menimpali dari
belakang Ricki, menyeringai.
“Mungkin kau dapat bocoran soal?”
“Atau mungkin kau main dukun?”
Bimo menambahkan dengan tawa yang di buat-buat.
Mahen menghela napas. “Kalau kalian tidak punya bukti, itu namanya fitnah.”
“Aku tidak butuh bukti!” bentak Ricki.
“Aku tahu tempatku di mana, dan itu bukan di bawahmu. Ini belum selesai, Hen. Ingat itu.”
Ricki mendorong bahu Mahen kasar sebelum berbalik pergi, di ikuti oleh dua bayangannya.
Mahen hanya diam di tempatnya, menatap punggung mereka yang menjauh. Ini akan menjadi hari yang panjang baginya.
****
Sore harinya, saat sebagian besar siswa sudah pulang, Mahen memilih untuk menyelesaikan beberapa catatan tambahan di perpustakaan.
Ia tahu Ricki tidak akan melepaskannya begitu saja. Intimidasi adalah bahasa utama Ricki saat egonya terluka.
Ketika ia melangkah keluar dari gerbang perpustakaan menuju area parkir yang sepi, dugaannya terbukti benar.
Ricki, Aldo, dan Bimo sudah menunggunya, bersandar pada sebuah mobil dengan sikap menantang.
“Pulang cepat, Jenius?” sapa Ricki, senyumnya tidak menunjukkan keramahan sama sekali.
“Aku harus pulang, Rick. Tidak ada urusan lagi di sini,” jawab Mahen, bersikap normal mencoba berjalan melewati mereka.
Aldo segera menggeser tubuhnya, menghalangi jalan Mahen.
“Bos kami belum selesai bicara denganmu.”
Aldo berkata dengan tatapan tajam.
“Mau bicara apa lagi?” tanya Mahen, tas ranselnya ia pegang erat-erat.
“Peringkatnya tidak akan berubah hanya karena kau menghalangiku di sini.”
Mahen kembali berkata dengan kini membalas tatapan Aldo.
Ricki maju selangkah.
Menggantikan Aldo yang mundur sesaat setelah tangan kanan teman yang mereka panggil bos menepuk bahunya.
“Aku tidak peduli dengan peringkat sialan itu lagi. Aku hanya tidak suka melihat wajahmu.
Wajah yang seolah-olah tidak bersalah tapi sudah merebut milikku.”
“Aku tidak merebut apa-apa,” Mahen menegaskan.
“Ini kompetisi. Ada yang menang, ada yang kalah, bukankah itu normal? ”
“Dan kau pikir aku akan menerima kekalahan begitu saja?”
Suara Ricki memberat, sangat terlihat emosi.
“Kau mungkin pintar di kelas, Hen. Tapi di luar kelas, aturannya berbeda.”
Ricki terdengar ingin menakut nakuti mahen, yang juga teman sekelasnya itu.
“Aturan apa?”
“Aturan di mana tiga orang selalu menang melawan satu orang,” Bimo menyeringai, meretakkan buku-buku jarinya.
Mahen meletakkan tasnya perlahan. Ia melihat sekeliling. Parkiran sepi, hanya ada beberapa motor dan mobil yang tersisa. Tidak akan ada yang akan menolongnya.
“Jadi ini maumu?” tanya Mahen, suaranya kini terdengar sedikit lebih dingin.
“Kau pikir dengan cara ini, peringkatmu akan kembali? Universitas akan menerimamu karena kau berhasil memukuliku?” tanya Mahen dengan seringai meremehkan.
“Aku tidak peduli!” teriak Ricki, kehilangan kesabarannya.
“Ini tentang harga diri! Hajar dia!”
Aldo yang paling bersemangat. Ia maju pertama, mencoba melayangkan pukulan ke arah wajah Mahen.
Mahen, yang tubuhnya tidak sebesar Aldo, bereaksi dengan cepat. Ia tidak menangkis, melainkan merunduk dan sedikit memutar tubuhnya. Pukulan Aldo meleset, dan karena momentumnya sendiri, ia terhuyung ke depan.
Pada saat yang sama, Bimo mencoba menangkap Mahen dari belakang. Mahen, sudah mengantisipasinya, menjatuhkan diri sedikit lebih rendah dan menyapu kaki Bimo dengan kakinya sendiri. Gerakan itu tidak bertenaga, tapi cukup untuk membuat Bimo kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpa Aldo yang masih terhuyung.
Keduanya jatuh dalam tumpukan yang canggung.
Ricki tertegun. Ia tidak menyangka Mahen bisa bergerak selicin itu.
“Kau… kau belajar bela diri?” tanya Ricki, antara kaget dan marah.
“Hanya sedikit senam kelenturan,” jawab Mahen sambil berdiri tegak kembali. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyerang.
“Sudah selesai? Aku benar-benar harus pulang.”
Kemarahan Ricki mencapai puncaknya. Ia menerjang maju, tidak menggunakan teknik, hanya amarah buta. Ia mencoba merangkul dan membanting Mahen.
Mahen, alih-alih melawan kekuatan dengan kekuatan, justru mengikuti arah dorongan Ricki. Ia membiarkan Ricki mendorongnya mundur beberapa langkah ke arah mobil Ricki sendiri.
Tepat sebelum punggungnya membentur mobil, Mahen menggunakan mobil itu sebagai tumpuan untuk mendorong balik dengan kakinya, sambil memutar pinggangnya.
Efeknya seperti pegas. Dorongan Ricki yang kuat berbalik ke arahnya sendiri. Ricki terdorong mundur dengan keras, punggungnya menghantam pintu mobilnya sendiri dengan bunyi “BRAK!” yang nyaring.
Alarm mobilnya seketika berbunyi, memecah keheningan sore itu dengan suara melengking.
Ricki mengerang kesakitan sambil memegangi punggungnya. Aldo dan Bimo yang baru saja berhasil bangkit, membeku di tempat, kaget melihat bos mereka dikalahkan dengan cara yang begitu… cerdik.
“Dengar,” kata Mahen dengan suara tegas, menatap lurus ke mata Ricki.
“Kekerasan tidak akan menyelesaikan apa pun. Itu hanya menunjukkan kalau kau tidak punya kekuatan lain, apalagi main keroyokan,” ujar Mahen dengan senyum sinisnya.
“Kamu lemah!!”
Mahen kembali berkata dengan tangan kanan mengambil tasnya, menyampirkannya ke bahu, dan berjalan pergi meninggalkan ketiganya yang masih terpaku diiringi suara alarm mobil yang memekakkan telinga.
Laki laki yang dikira penakut itu tidak lari, langkahnya tenang dan mantap. Ia tidak menang dalam perkelahian, tapi ia jelas tidak kalah.