Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dunia Milik Alva

Dunia Milik Alva

Leva Lorich | Bersambung
Jumlah kata
53.7K
Popular
634
Subscribe
105
Novel / Dunia Milik Alva
Dunia Milik Alva

Dunia Milik Alva

Leva Lorich| Bersambung
Jumlah Kata
53.7K
Popular
634
Subscribe
105
Sinopsis
PerkotaanSekolahUrbanDarah MudaCinta Sekolah
Ini adalah DUNIA MILIK ALVA. Ini adalah Alva Waluyo dengan segala apa yang ada pada dirinya. Tapi kata Mozza, dia buaya. Alva pandai, dia tampan, mahir bertarung. Mozza juga bunga sekolah. Sayangnya, mereka bagai air dan api.
BAB 1

“Penilaian majas kalian sudah ibu rekap. Nilai terendah dipegang pasangan Alva dan Mozza. Kalian berdua ini sebenarnya niat turun ke masyarakat tidak sih?“ mata Bu Sumaknah menatap tajam ke arah Mozza dan Alva.

Semua mata siswa dikelas ikut-ikutan menatap Alva dan Mozza, seperti terdakwa di kursi pesakitan.

Mozza yang pertama tidak terima. Dia sendiri yang melihat kegigihan Alva dalam mendekati masyarakat.

“Kami sudah keluar masuk pasar, ketemu orang. Tapi memang minim orang yang mengenal majas, Bu,” kilah Mozza membela diri.

“Itu hanya alasanmu saja. Paling-paling kalian malah sibuk jalan-jalan di pasar, santai-santai—”

“Tidak, Bu. Kami memang tidak seberuntung pasangan lainnya,” potong Alva menimpali.

Siswa-siswi kelas Alva memang sedang mendapatkan tugas mencatat majas yang diketahui masyarakat. Semua siswa harus berpasangan dan pasangan ditentukan oleh Bu Sumaknah, guru pelajaran Bahasa Indonesia, yang terkenal galak, killer.

“Ini bukan masalah beruntung atau tidak beruntung. Tiga majas yang kalian dapatkan pun susunannya kacau. Tidak sesuai aturan majas,” Bu Sumaknah semakin meninggi intonasi suaranya.

“Bukankah itu sesuai yang diucapkan masyarakat, Bu? Kami hanya mencatat apa yang mereka ketahui,” Mozza semakin geram, merasa pembelaan Bu Sumaknah terlalu mengada-ada.

Bu Sumaknah menggeleng. “Ibu tidak mau tahu. Kalian akan mendapatkan hukuman. Temui ibu di ruang guru nanti saat istirahat pertama!“

Bel istirahat berdering. Alva baru saja akan bangkit dari kursi saat lengannya ditahan Bisri. “Bro, ajarin gue dulu rumus yang ini. Gue udah belajar sendiri tapi belum bisa,” lirihnya.

Tanpa penolakan, Alva dengan telaten menerangkan cara memahami rumus matematika yang dipusingkan Bisri.

“Uraikan dulu satu demi satu bilangannya. Kalau perlu, tutup bilangan yang lainnya sama tangan lu, biar nggak bingung,” ujar Alva mengajarkan.

Melihat Bisri yang menjadi senang, beberapa siswa lain urung beristirahat dan mendekati Alva untuk ikut bertanya pelajaran.

“Lu itu dianugerahi otak encer, Va. Lu pinter dan mudah nyantol pelajaran,” puji Bisri apa adanya.

“Gue ikut seneng kalau bisa ngebantu bikin temen-temen paham,” balas Alva merendahkan hati.

Bisri menepuk bahu teman sebangkunya itu. “Lu nggak sekadar bikin kita-kita paham, tapi lu udah jadi mentor khusus buat kita. Lu keren!“

Tanpa di sadari Alva dan Bisri, interaksi antara Alva, Bisri dan beberapa siswa lain, diperhatikan oleh Mozza yang saat itu berdiri di belakang bangku Alva.

“Ishh, pede amat. Cowok mah gitu, suka tebar pesona. Berharap dikerubungin ciwi-ciwi. Hihh, najong!“ bisik Mozza menilai dalam hati.

Mozza memang sensitif terhadap laki-laki. Bagi Mozza, cowok dimanapun sama saja. Semua buaya, kecuali ayah, kakek, dan buyutnya.

Begitu Alva selesai menjelaskan pada mereka, Mozza menghampiri mejanya, berdiri tanpa senyum.

“Va,” panggilnya singkat.

Alva menoleh. “Hm?”

Mozza mencondongkan tubuh sedikit, suaranya agak pelan. “Lu lupa, ya? Kita disuruh ngadep Bu Sumaknah jam istirahat ini. Sekarang.”

Alva mengernyit. “Astaga! Gue lupa. Keasyikan ngebantu temen-temen barusan.“

Mozza mengangguk. “Iye. Tadi pagi kan dia bilang, ‘nanti istirahat pertama ke ruang guru’. Lu iya-iyain, tapi kayaknya lu zonk tadi.”

Alva berdiri sambil ngelap keringat di kening pakai tisu. “Oke, oke. Ayo.”

Mereka berdua berjalan menuju ruang guru. Beberapa teman melirik ke arah mereka, ada yang bersiul goda-goda, tapi Alva cuek. Mozza juga pasang muka datar khasnya.

Sampai di depan ruang guru, Alva mengetuk pelan. Dari dalam terdengar suara lantang.

“Masuk!”

Bu Sumaknah sedang duduk di balik meja penuh kertas dan map. Kacamatanya berada di ujung hidung, dan alisnya naik begitu melihat dua murid itu.

“Kalian berdua… pasangan paling parah dalam majas,” katanya langsung tanpa basa-basi.

Mozza dan Alva berdiri kaku. Mozza melirik Alva sebentar, Alva membalas lirikan itu dengan tatapan ‘tenang aja’.

“Hanya tiga majas. Tiga! Dan itupun salah semua!” seru Bu Sumaknah sambil menekuk mulutnya.

“Maaf, Bu…” Alva mencoba bicara.

“Tidak cukup hanya minta maaf,” potong Bu Sumaknah cepat. “Kalian berdua harus membuat satu cerpen sebagai hukuman.“

Mozza dan Alva saling pandang.

“Batas waktunya dua minggu. Tema bebas. Cerita pendek. Paling sedikit dua halaman, paling banyak bebas mau berapa halaman.”

Alva menelan ludah. “Maaf, Bu. Bukan masalah hukumannya. Yang saya pertanyakan, apakah majas tidak bisa dibuat sesuka hati?“ Alva mulai melancarkan protesnya.

Bu Sumaknah memicingkan mata seolah tak terima. “Tentu saja. Harus sesuai KBBI. Yang kalian tulis itu salah semua!“ serangnya sengit.

“Tapi itu kan sesuai dengan 'mulut' masyarakat. Bukankah tugas kami hanya mencatat majas yang mereka ketahui?“ Alva masih tak terima.

Belum sempat Bu Sumaknah melontarkan perlawanan lanjutan, Bu Widya, guru fisika, memasuki ruang guru dan melintas di dekat mereka.

“Alva, Mozza. Kalian pasti sedang membuat masalah dengan Bu Sumaknah, ya?“ goda Bu Widya tanpa menghiraukan wajah angker Bu Sumaknah.

Alva tak menanggapi, tapi justru melontarkan pertanyaan kembali. “Bu Wid, ibu tahu majas?“ tatapan Alva beralih sejenak pada Bu Widya.

“Kau menghina? Meski guru Fisika, ibu tau dong apa itu majas. Gaya bahasa, kan?“ mata Bu Widya mengerling. Dia memang salah satu guru muda cantik yang di idolakan banyak siswa.

Alva belum puas. “Coba sebutin contohnya, Bu,” pintanya, terkesan mendesak.

Bu Widya terkekeh sejenak. Dan Mozza, hanya bisa diam seperti penonton sepak bola menyaksikan setiap 'tendangan' yang terlontar dari bibir Alva.

“Matanya gede banget, segede piring. Itu majas, kan?” ucap Bu Widya berbangga diri.

“Salah.“ Lugas Alva.

“Salah?“ mulut Bu Widya membeo.

“Majas ibu tidak sesuai KBBI. Ibu payah!“ sembur Alva, sengaja dibuat dramatis.

“Lah? Emang ada aturan harus sesuai KBBI? Berarti, orang di luar sana bego semua dong! Kayak hukum Newton, atau Hukum Archimedes, apakah semua orang harus paham?“ bantah Bu Widya tak terima.

“Tanya aja ke Bu Sumaknah. Beliau yang mengatakan seperti itu,” Alva melempar bola panas pada si empunya masalah.

Dari meja guru bagian belakang, terdengar suara Pak Mochtar, guru Bahasa Indonesia senior, yang mau pensiun tahun depan.

“Jangan terlalu kaku. Bahasa Indonesia itu indah. Modifikasi terbuka di segala sisi, selama itu tidak merubah makna dari majas yang dimaksud,” timpal Pak Mochtar dengan suara khasnya yang nge-bass.

Semua mata kini tertuju pada Bu Sumaknah.

Alva, Mozza, dan Bu Widya seolah menuntut penjelasan dari sang juniornya Pak Mochtar tersebut.

“Baiklah. Kali ini kalian tidak jadi dihukum. Kembali saja ke kelas sana,” wajah Bu Sumaknah berubah merah, hijau, kuning, biru. Sangat malu. Tengsin banget.

“Saya tetap akan menerima tugas cerpennya. Itu sebagai pengingat bahwa ibu jangan semena-mena lagi pada siswa dengan mengatasnamakan pelajaran sekolah,” jawab Alva dingin, tapi hatinya berteriak 'hahaha..camkan itu!'

Alva dan Mozza keluar dari ruang guru. Alva tampak sumringah, sedangkan Mozza, biasa saja, terkesan menjaga image-nya sebagai bunga idola sekolah.

“Va, lu ngapain sih pake acara nyerang Bu Sumaknah segala?!“ protes Mozza seolah tak suka.

“Lu tanggung jawab gue. Kalau harus dihukum, itu kesalahan gue. Jadi gue harus bisa perjuangin apa yang menurut kita bener,” ujar Alva bersungguh-sungguh.

“Tapi, kita ini tim, pasangan. Itu tanggung jawab berdua!“ Mozza tak bisa menerima begitu saja.

“Moz, gue ini cowok, lu cewek. Mau tim atau bukan, selama lu sama gue, maka gue yang harus pasang badan.“

Mendengarnya, Mozza hanya memasang wajah datar, kemudian pergi begitu saja.

“Yaelah, cewek. Bilang makasih kek, tengkiu kek. Maen pergi-pergi aja kayak tukang ojek!“ dongkol Alva menatap punggung Mozza yang kian menjauh.

Alva tiba di rumah dengan wajah sedikit kusut setelah masalah dengan Bu Sumaknah.

“Kenapa, Va. Kok pulang-pulang wajahnya ditekuk gitu?“ Yeni, ibu Alva menatap anak bungsunya sedikit heran.

Alva melepas tali sepatunya sambil bersungut. “Biasalah, Bu. Itu si guru killer, seneng banget mojokin siswa tanpa alasan,” cerocosnya.

Yeni hanya tersenyum bijak. “Namanya anak sekolah, itulah dinamikanya. Ya udah, kamu cuci muka sana, lalu makan. Habis makan pasti pikiranmu bisa selow lagi deh. Percaya sama ibu,” ucap Yeni penuh kasih sayang.

Usai makan, Alva masuk ke kamarnya, berniat merebahkan tubuh sejenak.

Tiba-tiba ponsel Alva berdering. Nama Suwito muncul di layar.

“Alva, sumpah gue buntu banget baca tugas Bahasa Indonesia. Puisi dengan rima aaaa, itu gimana sih? Apa belakangnya harus dikasih huruf aaaa gitu semua?“ Suwito yang temperamental terdengar sewot di telepon.

Alva justru terkekeh mendengarnya. “Iya kasih aaaa semua, biar lu dapet aaaaperkat dari bu guru killer seantero jagat,” banyolnya.

Suwito masih nampak bingung. “Misal nih ya… Aku berlari ke pantai lalu berteriak aaaa. Lalu aku terperosok lubang dan menjerit aaaa. Setelah itu….“

“Eh Wit Wit, stop, Wit! Bukan gitu ah lu,” Alva buru-buru memotong.

“Nah terus, gimana?!“

“Belakangnya pakai akhiran yang sama di tiap bait dan nggak harus huruf 'a'. Jangan banyak-banyak 'a' nya, dodol!” Alva mencari penjelasan yang termudah untuk Suwito.

“Ooh, begitu. Jadi misal ada empat bait nih. Belakang bait pertama misalnya gue kasih akhiran 'ing', maka tiga bait lainnya juga dibegituin?“ cerocos Suwito.

“Cakep. Pinter.“

Baru saja Suwito menutup telepon, ponsel Alva kembali berdering. Kali ini muncul nama Mozza di layar.

“Halo, iya, Moz?“

“Alva, gua nggak suka ya lu sok-sokan pasang badan. Apa sih maksud lu? Mau sok jadi pahlawan?“

###

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca