Pemuda itu melihat ke sekeliling, rumah ini sekarang sudah jadi milik orang tuanya. Ya, kakeknya telah mewariskannya. Dia sempat menulis surat wasiat sebelum meninggal.
"Biasanya rumah ini selalu ramai, aku jadi teringat masa kecilku bersama kakek," suara Adrian terdengar lirih.
Sudah lama dia tidak mengunjungi rumah ini, sekitar setahun yang lalu. Karena memang banyak disibukkan oleh ujian kelulusan dan persiapan untuk masuk ke perguruan tinggi.
Saat sedang berjalan menuruni tangga, ia melihat anabulnya Rea, berlari kencang menuju gudang belakang rumah.
"Rea!" Adrian memanggil anjingnya, sambil melangkah pelan.
"Di mana Rea? Mengapa dia membawaku ke sini?"
Kakinya berhenti di depan pintu usang. Dia terdiam cukup lama. Saat ingin berbalik pergi, tiba-tiba pintu terbuka dengan sendirinya.
"Hah? Ada apa di dalam?" gumam Adrian pada dirinya sendiri.
Adrian mengintip isi ruangan itu. "Inikan... tempat kakek menaruh koleksi barang-barang kunonya."
Pemuda itu mengernyitkan dahi. Entah mengapa, kakinya terasa gatal. Ia ingin masuk ke dalam. Rasa penasaran pun mulai menghantuinya. Dia mulai bertanya-tanya. Apa saja barang yang kakeknya simpan di ruangan ini?
"Apa tidak masalah, kalau aku masuk ke ruangan ini?"
Adrian mulai ragu, takut dicap ingin tahu tentang privasi kakeknya. Tetapi, dia sudah terlanjur masuk ke dalam.
Di sana ternyata terdapat banyak sekali benda-benda asing yang tak pernah dia lihat, berbagai macam jenis barang antik juga terdapat di sana.
Matanya menyapu seluruh ruangan yang terlihat sedikit gelap. Cahaya matahari tak dapat masuk, terhalang hordeng besar yang bertengger di jendela.
Adrian menelusuri rak coklat yang terpajang di sana, dan dia menemukan sebuah benda unik berupa kotak kecil berwarna perak, dengan ukiran naga di sampingnya. Sedangkan di bagian atasnya terdapat sebuah logam kecil yang ditempel.
“Kotak Nestapa–Hutan Pati”
Tangannya meraih kotak itu, membuka tutupnya perlahan dan mendapati ada selembar kain merah sedang melilit tongkat kecil yang bagian ujungnya melengkung.
Tongkat itu terlihat begitu tua namun tetap unik dan memikat, mirip seperti sendok logam antik.
"Kotak Nestapa... Dilihat dari simbolnya, seperti mirip simbol keberuntungan misterius yang biasa tertulis dalam kitab Jawa Kuno."
Adrian mengangguk paham, benda ini dulunya pernah diceritakan kakeknya saat dia masih kecil. Matanya berpindah melirik ke pojok ruangan.
"Eh, apa ini? Helm astronot?" tanyanya bingung.
Adrian menyentuh benda bundar itu, bentuknya seperti topi besi dengan kaca penutup di bagian wajah.
Benda mirip helm itu terlihat sudah berkarat. Tapi tidak, itu bukan helm astronot. Bentuknya lebih jadul dan... terbuat dari bahan seadanya.
**BRUKK**
Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari belakang. Adrian pun langsung menoleh. Dia melihat benda itu, itu adalah peti kayu yang terjatuh dari meja.
Dia memungutnya, kemudian meletakkannya kembali di tempat semula. Peti ini sangat berat, kira-kira apa isinya? Di atasnya terdapat sebuah kertas berisi aksara kuno, seperti mantra.
Jantung Adrian seketika berdegup kencang. Pikirannya melayang, membayangkan entah pusaka sakti apa yang berada di dalamnya.
Suasana menjadi terasa berbeda, dia memberanikan diri mengambil kertas yang terasa kaku itu dan membacanya.
"Tulisan ini, aku bisa membacanya. Tetapi aku tidak mengerti maknanya."
Adrian tersadar, ada hal yang harus diurusnya. Dia pun bergegas pergi meninggalkan gudang. Dan secara tak sengaja, kertas itu terbawa olehnya.
Malamnya, saat Adrian sedang duduk di tempat tidurnya, dia kembali teringat tentang kertas itu. Tangannya pun merogoh kantong celananya. Dan benar saja, dia menemukan sebuah kertas coklat terlipat di sakunya.
Adrian memperhatikan mantra itu dengan seksama. Mencoba mengingat bahasa apa yang digunakan, kemudian sebuah ingatan kecil muncul. Dia mengerti satu dua kata yang tertulis.
"Menukar nyawa... dengan uang?"
Dahinya mengernyit, dia memastikan ulang arti kata yang diterjemahkannya.
"Seingatku... Memang ini artinya, Kak Alvin pernah memberitahuku makna dua kata asing ini, saat kami menonton film bersama.
Dalam bahasa jawa kuno, makna Mundhut adalah membeli, sedangkan Atma berarti nyawa, dan artu yaitu... uang. Apa maksudnya semua ini?" Dia belum bisa mencernanya.
Adrian kembali mendatangi gudang tua itu saat semua orang sudah tertidur lelap.
"Aku harus memastikan semua ini, dan peti itu... aku harus membukanya."
Pintu terbuka, Adrian masuk ke dalam. Tanpa berlama-lama dia pun langsung mengangkat peti itu, dan membawanya ke kamar.
Dia meletakkan peti itu di atas kasur, lalu ikut naik ke atas. Adrian tampak merenung sejenak. Ekor matanya melihat ke arah gembok yang mengunci rapat peti persegi panjang itu.
"Kira-kira pakai apa bukanya? Alat apa yang bisa membobol peti ini?" gumamnya sambil berpikir.
Adrian berjalan menuju laci. Dia menarik salah satu kotak yang ada di lemari, lalu mengambil sebuah jarum. Kemudian dia tusukkan ke lubang gembok itu.
Gembok pun terlepas. Peti itu akhirnya bisa dibuka. Adrian menyingkap tutupnya, munculah cahaya kebiruan dari dalam peti. Cahayanya sangat terang sehingga membuat matanya silau.
Perlahan-lahan, cahaya itu mulai hilang. Adrian menengok ke dalam melihat isi peti. Dari bekas cahaya kebiruan tadi, ada sebuah kalimat yang tertulis di dinding dalam peti.
Di sisi lainnya, ternyata terdapat sebuah petunjuk.
> Mantra pengubah uang untuk menebus nyawa. Tulislah mantra yang ada pada dinding peti di sebuah kertas merah, maka mantra itu akan berubah menjadi jumlah nominal yang harus dibayar untuk menghidupkan satu orang.
> Kamu harus menyiapkan uang sebanyak yang disebutkan oleh kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam peti dan menguncinya kembali.
> Siapa saja bisa dihidupkan kembali dengan mantra ini, tetapi konsekuensi yang ditanggung oleh setiap nyawa berbeda. Semakin sulit garis takdirnya dan tragis kematiannya, semakin besar pula uang yang harus dikeluarkan untuk membuatnya hidup kembali.
> Tetapi jiwa yang kembali tidak akan sama lagi. Itulah harga yang harus dibayar, untuk mengubah suatu garis takdir.
"Apa maksudnya semua ini?" Adrian membaca semua tulisan itu. Dia merasa tertarik. Tetapi juga memikirkan apa yang akan menjadi konsekuensinya jika dia melakukan hal itu.
Pikirannya tertuju kepada sang kakek. Apa ini keputusan yang baik, membuat kakek hidup lagi? Bagaimana jika... justru malah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada kakek?
"Tapi, semua orang merindukan kakek..."
Adrian menarik nafasnya dalam. Dia memejamkan matanya.
"Aku harus melakukan ini. Karena ibu, aku, dan adik membutuhkan kakek."
Remaja laki-laki itu meraih selembar kertas, lalu mulai menyalin sebuah mantra yang tertulis di dalam peti, dan sebuah nama.
~ Karman Widoyo
"Kakek. Semoga dengan hal ini, kita bisa berkumpul lagi." Adrian menunduk, dia tersenyum sedih. Tapi kali ini dia menaruh harapan.
Tak membutuhkan waktu lama. Beberapa detik kemudian, cahaya biru itu muncul lagi, tetapi kali ini di atas kertas yang sudah ditulisnya.
Mata Adrian berbinar. Angka itu sudah muncul dan terlihat jelas. Ternyata harga yang diperlukan untuk membuat kakeknya kembali tak begitu besar, hanya 5 juta rupiah.
"Besok aku harus segera mengambil uang tabunganku di ATM. Aku akan membuktikannya," ucap Adrian bertekad.
Keesokan harinya, Adrian pergi ke ATM terdekat untuk mengambil uang. Setelah berhasil mencairkan saldo, dia pun dengan cepat kembali ke rumah.
"Baiklah, percobaan gila yang di luar nalar ini aku lakukan."
Remaja itu berharap semuanya tetap berjalan semestinya, dan baik-baik saja. Meski hatinya sempat ragu, tentang konsekuensi yang diterima seperti kata peti itu.
"Ini semua demi kakek," Adrian menggelengkan kepala, berusaha meyakinkan dirinya lagi.
Dia memasukkan 50 lembar uang kertas seratus ribuan ke dalam peti tua berwarna coklat itu, tak lupa dia juga memasukkan kertas berisi nama dan mantra yang telah ditulisnya.
Anak muda itu duduk di dekat peti sambil berdoa, berharap percobaannya berhasil. Tetapi setelah menunggu sekian lama, tak ada apapun dan tak ada yang kembali. Sosok kakeknya yang telah meninggal juga tidak muncul di hadapannya.
"Apa percobaan yang kulakukan gagal?"
Adrian mulai gelisah. Sia-sia saja uang yang sudah dia keluarkan, jika kenyataannya semua itu tidak bisa merubah takdir. Padahal ia memerlukan uang itu untuk masuk kuliah.
Remaja itu tertidur pulas, dirinya terlalu bosan untuk menunggu. Harapannya pupus seketika. Saat terbangun dari tidurnya dia melihat peti itu masih berada di depannya. Adrian menendangnya, merasa kesal karena benda itu telah membohonginya.