Dentuman orkestra menggetarkan ballroom Hotel Landow Imperial. Kristal-kristal lampu gantung menari liar, memantulkan kilau dari perhiasan para tamu yang bernilai setara mansion mewah. Di tengah lautan tuksedo dan gaun berkilau, Mahesa Adinata berdiri membeku. Tatapannya kosong menembus keramaian, seolah seluruh kemewahan di hadapannya hanya fatamorgana yang menyesakkan.
"Selamat ulang tahun, Tuan Muda!"
Suara-suara itu berdengung bagai kawanan lebah. Mengganggu dan beracun. Setiap jabatan tangan terasa seperti borgol es yang mencengkeram. Para eksekutif berjas mahal mengelilinginya dengan senyum predator, mata mereka berkilat penuh perhitungan.
"Putra Adinata yang sempurna."
"Pewaris tunggal."
"Masa depan cerah."
Kata-kata itu menghujam seperti pisau. Mahesa mengepalkan tangan, buku-buku jarinya memutih. Di sudut ruangan, ayahnya tertawa dengan sekelompok direktur. Tawa yang sama saat mereka membicarakan akuisisi perusahaan kecil minggu lalu.
"Tuan Muda?" Hartono, bayangan setia ayahnya, muncul bagai hantu. "Anda belum boleh pergi. Masih ada tiga puluh tamu penting yang harus …"
"Cukup." Suara Mahesa bergetar. "Aku butuh udara."
Ia melesat ke balkon, mengabaikan tatapan tajam Hartono. Angin malam menerpa wajahnya. Dingin, tapi lebih jujur dari kehangatan palsu di dalam.
"Selamat ulang tahun, Tuan Muda."
Suara yang terdengar lebih sejuk diantara suara lain, Dimas. Pengasuhnya sejak kecil berdiri di sana, rambutnya kini seputih salju. Kerutan di wajahnya menampakkan perjalanan panjang kehidupan yang sudah dilalui. Di tangannya tergenggam amplop coklat.
"Pak Dimas ..." Suara Mahesa melembut. Hanya di hadapan pria tua inilah topeng pewaris sempurnanya bisa retak.
"Hadiah terakhir sebelum saya pensiun." Dimas menyodorkan amplop itu. "Kebebasan yang selalu Anda impikan."
Di dalam amplop itu, sebuah kartu identitas berkilat di bawah cahaya bulan. Mahesa Winata. Nama yang asing namun terasa begitu tepat, seperti kunci yang akhirnya menemukan gembok yang pas.
"Azka akan menjadi sopir sekaligus penjaga Anda," Dimas menunjuk seorang pria muda yang berdiri dalam diam. "Dia putraku. Anda bisa memercayainya seperti memercayai saya."
Mahesa menggenggam kartu itu erat. Jantungnya berdentum lebih keras dari musik orkestra. "Tapi Ayah ..."
"Akan kuurus semuanya." Dimas tersenyum. Kerutan di wajahnya menyimpan rahasia dan rencana. "Tuan Besar tidak akan curiga sampai rapat direksi minggu depan. Saat itu, Anda sudah akan memulai hidup baru."
Suara langkah mendekat memaksa mereka berpencar. Aditya Adinata muncul. Sosoknya mengisi ambang pintu balkon bagai bayangan raksasa.
"Mahesa." Suaranya berat dengan otoritas. "Masih banyak tamu yang menunggu."
"Ya, Ayah." Mahesa mengangguk patuh, menyembunyikan kartu identitas barunya dengan gerakan halus. Menyimpan secerca harapan dapam genggaman.
Malam semakin larut. Para tamu mulai berkurang, meninggalkan piring-piring kotor dan gelas-gelas anggur setengah kosong. Mahesa berdiri di kamarnya, menatap ransel usang. Satu-satunya barang yang tidak mencerminkan status Adinata.
Tangannya meraih puzzle kayu pemberian ayahnya bertahun lalu. Momen langka saat Aditya Adinata menjadi seorang ayah, bukan sekadar CEO. Mahesa menyelipkan puzzle itu ke dalam ransel, di antara beberapa helai pakaian biasa.
Suara langkah kaki terdengar, sepatu kulit yang menyentuh lantai marner berdentang. Tanpa kata, tangan itu mendorong pintu kamar Mahesa hingga terbuka.
"Besok, kau akan bertemu guru les bahasa baru." Aditya muncul tanpa peringatan. "Dan minggu depan."
"Rapat direksi. Aku tahu, Ayah." Mahesa menyembunyikan ranselnya. Dia hanya menjawab dengan lelah, rutinitas yang tidak ia sukai.
"Jangan mengecewakan." Aditya berbalik pergi. Aroma parfum mahal dan beban ekspektasi yang mencekik menguar di udara.
Pukul tiga pagi. Mansion Adinata tertidur dalam kegelapan. Mahesa melangkah tanpa suara, menuruni tangga seperti pencuri di rumahnya sendiri. Dimas menunggu di pintu belakang, wajahnya cemas.
"Tuan Muda ..." Dimas memeluknya erat. "Berjanjilah untuk bahagia."
Pria tua ini jauh terasa seperti keluarga dibandingkan ayahnya, dia lebih terasa manusiawi dibandingkan Aditya Adinata yang seperti gunung es.
Mobil sedan hitam menunggu di luar gerbang. Azka membukakan pintu belakang, gesturnya tenang namun waspada. Mahesa menoleh sekali lagi pada mansion yang telah memenjarakannya selama tujuh belas tahun.
"Selamat tinggal, Mahesa Adinata."
Mobil meluncur dalam kegelapan. Lampu-lampu Kota Landow perlahan memudar, berganti dengan hamparan sawah dan kemudian bangunan-bangunan rendah Kota Velmora. Mahesa tertidur, untuk pertama kalinya tanpa beban nama besar di pundaknya.
"Tuan Muda," Azka membangunkannya lembut. "Kita sudah sampai." Suara Azka tidak berhasil membangunkan Mahesa.
Fajar mulai merekah di ufuk timur. Rona langit mulai berganti. Di hadapan mereka berdiri sebuah apartemen sederhana. Sangat berbeda dari mansion mewahnya, tapi entah mengapa terasa lebih seperti rumah.
"Tuan Muda." Azka menyentuh bahu Mahesa lembut. "Kita sudah sampai."
Mahesa mengerjap, mengusir kabut kantuk dari matanya. Pemandangan asing menyapa. Tidak ada pagar tinggi, tidak ada taman mawar, tidak ada air mancur kristal.
"Kota Velmora," Azka menjelaskan. "Cukup jauh dari Landow. Tuan Besar tidak akan mencari sampai ke sini."
Mahesa turun dari mobil, matanya menyusuri rumah kecil di hadapannya. Bangunan itu bahkan tidak lebih besar dari kamar pribadinya di mansion.
"Maaf, karena mendadak hanya ini yang bisa disewa." Azka membuka pagar yang berderit protes. "Rumah yang lebih baik butuh persyaratan rumit."
Untuk pertama kalinya, mata Mahesa berbinar. "Tidak apa-apa. Ini yang aku mau."
Di dalam, ruangan-ruangan kecil menyambut dengan kesederhanaan. Kamar sempit dengan dipan dan kasur tipis. Jendela yang membingkai secuil langit. Kamar mandi mini dengan shower menetes. Dapur sederhana dengan kompor dua tungku.
"Apa TV-nya rusak?" Mahesa menekan tombol power. Layar tetap gelap.
"Maaf, belum sempat diperbaiki."
"Tidak masalah." Mahesa justru tersenyum, menjelajahi setiap sudut dengan mata berbinar.
"Tuan Muda ..." Azka ragu. "Anda yakin bisa tinggal di sini? Anda bahkan belum pernah menyalakan kompor."
"YouTube pasti punya tutorialnya." Mahesa menjawab polos.
Azka menepuk jidat, antara geli dan prihatin.
Sepanjang hari mereka bereksperimen. Belajar menumis bawang dan menggoreng telur. Berbelanja di pasar tradisional di antara aroma rempah dan ikan segar. Mahesa belajar mengunci pintu, mencuci piring, dan hal-hal sederhana yang tidak pernah ia lakukan seumur hidup.
"Anggap saja kita sedang main survival game," canda Mahesa saat matahari mulai tenggelam.
Azka tertawa. Tuan Mudanya menganggap kemiskinan sebagai level baru dalam game komputer.
Pagi berikutnya, Mahesa berdiri di depan cermin. Seragam putih abu-abu melekat sempurna di tubuhnya. Terlalu sempurna.
"Ingat," Azka menyerahkan map biru berisi dokumen palsu. "Mulai sekarang Anda Mahesa Winata. Jangan sampai salah sebut nama."
Mobil berhenti beberapa blok dari sekolah. Gerbang berkarat dengan grafiti liar menyambut di kejauhan.
"Tunggu." Mahesa mengernyit. "Mobilnya terlalu mencolok."
"Pintar." Azka tersenyum. "Mulai besok naik bus saja."
Mahesa melangkah menuju gerbang sekolah. Azka menatap punggungnya yang menjauh, berbisik pelan, "Semoga tidak ada yang membullynya."