"Arya, apa yang sedang kamu lakukan? Bagaimana bisa kamu mengirimkan pesanan begitu terlambat hingga membuat pelanggan marah?" Di dalam sebuah toko roti, seorang pria paruh baya berperut besar tampak membentak seorang pemuda tampan yang tampak lesu dan tertekan.
"Maaf, Bos. Saya tidak akan mengulanginya lagi," ujar Arya dengan suara rendah sambil membungkuk. Dia merasa tertekan, namun tidak bisa berkata banyak. Bagaimana mungkin Bos mengetahui bahwa ia sudah mencoba menghubungi pelanggan tersebut untuk menanyakan alamat, namun panggilannya tidak pernah diangkat? Belum lagi, saat Arya berkeliling kompleks, ban motornya tiba-tiba bocor, dan ia terpaksa mendorong motornya sejauh sepuluh kilometer untuk mencapai bengkel.
Melihat wajah Arya yang tertekan, Bos Erik menghela napas panjang. Dia tahu bahwa kejadian ini bukan sepenuhnya kesalahan Arya, namun situasi ini membutuhkan seseorang untuk disalahkan. Dengan tatapan kosong, Bos Erik mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetnya dan menyodorkannya ke arah Arya.
"Ini, ambil gajimu. Besok kamu tidak perlu datang lagi," kata Bos Erik dengan suara datar, tak memberikan ruang untuk argumen. Setelah itu, dengan langkah berat, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Arya yang terdiam di bawah tatapan penuh keheranan dari seluruh karyawan toko roti.
Arya menatap uang seratus ribu yang ada di tangannya dengan senyum pahit. Ia merasa seperti menelan pil pahit setelah bekerja keras selama sebulan penuh tanpa kesalahan. Bahkan, ia seringkali tidak sempat sarapan saat berangkat ke toko, namun ketika satu kesalahan terjadi, tampaknya orang miskin selalu menjadi korban. Begitulah hidup, pikirnya. Arya sudah tidak heran lagi.
Tatapan sinis para karyawan roti yang menghina hanya semakin memperparah perasaannya. Dengan perasaan berat, Arya meremas uang seratus ribu itu di tangannya, seperti mencoba menghapus segala rasa sakit yang membebaninya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah keluar dari toko, membiarkan segala penghinaan dan kekecewaan itu tertinggal di belakangnya.
Di luar, Jakarta tetap sibuk seperti biasa, dengan kepadatan lalu lintas yang tak pernah berkurang. Kemacetan menyelimuti setiap jalan, seolah tak ada ujungnya. Sinar matahari yang terik menyengat kulit, membuat udara terasa semakin panas. Arya, yang kini duduk di atas motor Vega tua yang sudah usang, menarik napas dalam-dalam sebelum menyalakan mesin motor. Dengan pelan, ia mulai mengendarai motornya, menembus hiruk-pikuk kota yang tak pernah berhenti, sambil merenung tentang hari-hari yang penuh tantangan dan kekecewaan.
Pada usia 21 tahun, Arya merasa beruntung bisa melanjutkan studi di Universitas UI, perguruan tinggi paling terkenal di Jakarta, berkat beasiswa yang ia terima. Namun, meski mendapatkan bantuan dari pemerintah, hidupnya tetap penuh perjuangan. Berasal dari kota terpencil dengan latar belakang keluarga miskin, biaya hidup di Jakarta terasa sangat membebani, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan.
Saat ini, pandangan Arya terhenti pada sebuah toko perhiasan di seberang jalan. Vitrinanya yang berkilau memamerkan koleksi cincin dan gelang yang tampak mewah.
Tiba-tiba, sebuah ingatan menghampiri Arya, pacarnya, Bella, pernah meminta sebuah cincin berlian sebagai hadiah untuk ulang tahunnya. Dan hari ini, ternyata adalah hari ulang tahun Bella. Perasaan cemas dan terburu-buru menguasai dirinya saat menyadari bahwa ia belum menyiapkan apa-apa. Tanpa pikir panjang, Arya segera mengarahkan motornya dan memarkirkannya di halaman toko perhiasan tersebut. Suara deru mesin motor yang mulai mereda, seolah menjadi latar bagi pikiran yang bergejolak di dalam kepalanya, memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk memberikan Bella hadiah yang diinginkannya, meski dengan keterbatasan yang ia miliki.
Begitu memasuki toko perhiasan, Arya langsung menuju konter yang menampilkan cincin berlian. Di belakang konter, seorang wanita muda dengan wajah cantik berdiri, menyambutnya dengan senyuman hangat. "Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara lembut, menawarkan bantuan.
“Saya ingin membeli cincin berlian, mungkin yang berwarna putih, “ Kata Arya.
Mendengar permintaan Arya, wanita muda itu tersenyum lembut, lalu membuka etalase kaca di depannya. Dengan gerakan hati-hati, ia mengeluarkan sebuah cincin berlian putih yang berkilauan di bawah cahaya lampu. "Ini adalah salah satu cincin berlian terbaik di toko kami," katanya sambil meletakkan cincin itu di atas nampan beludru. "Harganya tujuh juta lima ratus ribu rupiah."
"Tujuh juta lima ratus ribu?" Arya terkejut, nyaris tersentak. Angka itu terdengar begitu mahal di telinganya. Seluruh tabungannya selama setahun penuh dari kerja paruh waktu hanya mencapai jumlah itu. Padahal, ia masih harus membayar sewa kost dan biaya makan untuk bertahan hidup di Jakarta. Namun, bayangan senyum Bella yang ceria terlintas di benaknya, membuat hatinya bergetar. Dengan tekad yang kuat, Arya mengepalkan tangannya sebelum merogoh dompetnya dan mengeluarkan kartu ATM. "Baik, saya beli ini!" katanya dengan nada tegas, meski hatinya penuh keraguan.
Wanita muda itu tersenyum profesional, menerima kartu Arya lalu menggesekkannya pada mesin pembayaran. Begitu layar mesin menunjukkan transaksi berhasil, ia dengan cekatan membungkus cincin berlian itu dalam kotak beludru mewah, menambahkan pita kecil sebagai sentuhan akhir. Sambil menyerahkan kotak itu kepada Arya, ia berkata dengan nada ramah, "Terima kasih banyak, Tuan. Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Tidak, itu saja," jawab Arya sambil menggeleng pelan. Ia memasukkan kotak beludru berisi cincin itu ke dalam sakunya, lalu berbalik dan melangkah keluar dari toko. Setelah menyalakan motornya, ia segera melaju, menembus padatnya lalu lintas kota Jakarta, menuju asrama Bella.
Sepanjang perjalanan, Arya terus mencoba menghubungi nomor Bella, namun panggilannya tak pernah terjawab. Nada sambung yang berulang hanya menambah kegelisahannya, membuat pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Ia mempercepat laju motornya, membelah kemacetan kota dengan hati yang tak tenang, hingga akhirnya tiba di depan asrama wanita.
Setelah memarkirkan motornya di area parkir sempit, Arya melangkah cepat menuju pintu kamar Bella. Tangannya yang sempat terulur untuk mengetuk tiba-tiba terhenti ketika telinganya menangkap suara-suara aneh dari dalam kamar. Napasnya membeku sejenak. Suara tawa lirih, desahan tertahan, dan bisikan yang terlalu akrab untuk diabaikan. Arya merasakan detak jantungnya semakin cepat, tangannya bergetar saat menempel pada permukaan pintu kayu yang dingin.
“Ahhh, Kevin. Itu sangat dalam!“
“Ahh, kamu juga sangat nikmat dan sempit!”
“Kamu… Sangat… Kuat!”
“Kamu menyukainya? Bagaimana dengan Arya? Apa pria miskin itu lebih hebat dariku?”
“Ahh.. Jangan sebutkan dia! Dia hanya pemuda miskin, aku bahkan tidak pernah membiarkan dia menyentuh tanganku. “
Suara desahan dari dalam kamar semakin jelas, menggema di lorong sempit asrama. Rahang Arya mengeras, amarahnya mendidih seiring dengan setiap detik yang berlalu. Dengan dorongan kemarahan yang tak terbendung, ia menendang pintu hingga terbuka dengan keras, engselnya berderit tajam. Di hadapannya, dua sosok terlihat terjerat dalam posisi memalukan, tanpa sehelai pakaian pun yang menutupi tubuh mereka, terkejut oleh kemunculannya yang tiba-tiba.
"A-Arya?" Bella terperanjat, wajahnya seketika pucat. Dengan panik, ia meraih selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
Sementara itu, Kevin, yang berbaring di sampingnya, sempat terkejut sesaat, namun begitu menyadari bahwa tamu tak diundang itu adalah Arya, senyum dingin terukir di bibirnya. "Heh, pecundang. Apa yang kau lakukan di sini?" ejeknya dengan nada penuh penghinaan, seolah menikmati kehancuran di mata Arya.
"Brengsek!" Arya berteriak dengan kemarahan yang meluap, tanpa berpikir panjang, ia melompat ke arah Kevin dan melayangkan pukulan dengan sekuat tenaga ke wajahnya. Namun, Kevin, dengan tubuh yang lebih besar dan berotot, bereaksi cepat. Sebagai atlet Taekwondo berpengalaman, gerakannya jauh lebih terlatih. Dengan cekatan, ia menghindari serangan Arya, memutar tubuhnya dengan presisi, lalu melepaskan tendangan tajam yang menghantam wajah Arya dengan keras.
Benturan itu begitu kuat, membuat kepala Arya terhentak ke samping sebelum tubuhnya terhempas ke lantai dingin. Rasa nyeri menjalar ke seluruh wajahnya, sementara pandangannya mulai kabur, darah hangat merembes di sudut bibirnya. Namun yang lebih menyakitkan dari luka fisik adalah rasa penghinaan yang membakar dadanya.
"Tch, dasar sampah. Dengan tubuh kurus seperti itu, kau berani mencoba memukulku?" Kevin mendekat dengan langkah angkuh, tatapannya penuh penghinaan. "Orang sepertimu hanya pantas melihat dari kejauhan saat wanitamu direbut orang lain."
Tanpa ragu, Kevin meludah tepat ke wajah Arya, lalu menarik kakinya ke belakang sebelum melepaskan tendangan brutal ke perut Arya. Benturan keras itu membuat Arya terlipat kesakitan, mulutnya terpaksa memuntahkan seteguk darah segar. Rasa nyeri yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya, dua tulang rusuknya terasa retak akibat hantaman itu. Kesadarannya perlahan memudar, dan akhirnya dunia di sekitarnya berubah menjadi gelap.
Sesaat sebelum kesadarannya sepenuhnya menghilang, Arya samar-samar mendengar suara mekanis berdering di telinganya.
"DING! Sistem Kekayaan berhasil terhubung dengan Tuan Rumah. Memulai proses penyatuan!"
Suara itu terdengar dingin dan tanpa emosi, seakan berasal dari kedalaman pikirannya, menggema di antara rasa sakit yang menusuk dan napasnya yang tersengal-sengal.
…
Keesokan paginya, di dalam kamar kost yang sempit dan pengap, Arya perlahan membuka matanya. Kepalanya masih terasa berdenyut, pandangannya sempat kabur sebelum akhirnya fokus. Ketika ia menoleh, sosok Randy, teman sekamarnya, duduk di tepi ranjang dengan ekspresi cemas terpampang di wajahnya.
"Yo, bro. Akhirnya kamu sadar juga," ucap Randy dengan nada lega, menepuk bahu Arya pelan, seolah memastikan bahwa sahabatnya benar-benar kembali ke dunia nyata.
"Apa yang terjadi?" tanya Arya dengan suara serak, mencoba mengumpulkan ingatannya yang masih kabur.
Randy mengangkat alisnya, terlihat sedikit terkejut. "Serius, lo nggak ingat? Jangan bilang si brengsek Kevin itu benar-benar menghajarmu sampai bikin amnesia," ujarnya, nadanya setengah bercanda, tapi sorot matanya tetap menyiratkan kekhawatiran.
Mendengar kata-kata itu, wajah Arya seketika berubah muram. Rahangnya mengeras, sementara kedua tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan gejolak emosi yang mendidih di dalam dadanya.
Melihat reaksi temannya, Randy menghela napas berat, mencoba menenangkan suasana. "Kemarin, Bella meneleponku, memintaku datang untuk menjemputmu. Dia juga bilang kalau kamu tidak perlu datang ke tempatnya lagi... kalian sudah putus," katanya dengan nada serius, lalu kembali menarik napas dalam-dalam.
"Arya, aku sudah memperingatkanmu dari awal. Bella itu bukan wanita yang baik. Sudah banyak pria yang jadi korbannya. Yang dia inginkan hanya uang," tambah Randy, suaranya terdengar penuh penyesalan, seolah menyalahkan dirinya sendiri karena tak mampu mencegah sahabatnya jatuh ke dalam jebakan wanita itu.