Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
DOSENKU SINDIKAT3 CINTA

DOSENKU SINDIKAT3 CINTA

Cristhina | Bersambung
Jumlah kata
118.6K
Popular
656
Subscribe
119
Novel / DOSENKU SINDIKAT3 CINTA
DOSENKU SINDIKAT3 CINTA

DOSENKU SINDIKAT3 CINTA

Cristhina| Bersambung
Jumlah Kata
118.6K
Popular
656
Subscribe
119
Sinopsis
PerkotaanSekolahMafiaMiliarderBadboy
Revan, seorang mahasiswa di universitas hukum ternama, dikenal bukan karena prestasinya, melainkan karena sederet pelanggaran yang ia lakukan balap liar, pemalsuan dokumen, hingga aksi-aksi nekat yang justru bertentangan dengan ilmu yang ia pelajari. Bagi Revan, aturan hanyalah batasan yang dibuat untuk dilanggar. Namun hidupnya berubah drastis ketika ayahnya yang juga seorang pengacara sukses memaksanya menikah demi menyelamatkan reputasi keluarga. Yang lebih mengejutkan, calon istrinya adalah dosen hukum perdata yang terkenal sangat disiplin. Laras, perempuan muda yang juga terpaksa menerima perjodohan itu demi membayar utang masa lalu. Tanpa cinta, tanpa persiapan, mereka harus menjalani pernikahan dadakan yang terasa seperti kontrak dagang. Benturan karakter, rahasia pribadi, dan konflik hukum yang pelik membuat hubungan mereka penuh drama. Namun di tengah kekacauan, benih-benih perasaan mulai tumbuh, membuat keduanya bertanya akankah bisakah hubungan yang dibangun atas keterpaksaan berakhir dengan keikhlasan?
Tabrak Lari

BRAK!

Pria bertubuh tinggi besar itu mengerjat dengan mata membola tajam.

Suasana pagi yang semula hening mendadak berubah tegang.

Di sudut lain Gayadi Aditama, pria paruh baya bergelar sebagai pengacara kondang seantero wilayah kota metropolitan itu sudah kepalang marah.

Ia berdiri dari kursi sambil berkacak pinggang.

Dia marah setengah mampus.

"REVAAAN! Kamu ini ya, Van!" serunya menggelegar. "Sekolah aja jurusan hukum, tapi kelakuanmu terus-terusan melanggar hukum! Apa kamu nggak malu? Hah?!"

"Malu? Malu apanya Yah? Ini namanya keren, Yah. Gaul." Revan berkata dengan sudut bibir memicing seperti sedang melontarkan ledekan pada sang tetua.

Lantas Revan duduk bersandar malas di kursinya, satu kaki disilangkan ke atas kaki yang lainnya.

Dengan dengusan panas di telinga dan bagian hidungnya Gayadi manarik nafas dan sontak berteriak kencang. "Kamu bilang Gaul? Dasar bocah ingusan, di mana otakmu Revan?!"

"Ck, ayolah Yah. tidak usah memperbesarkan masalah. Santuy. Revan capek ngupingin ayah ngoceh-ngoceh, terus kaya gini. Justru gara-gara ayah marahin Revan terus otak Revan bisa meledak."

Semenjak Ibunya meninggal, Revan lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Bersenang-senang tanpa arah dan tujuan, bahkan tak jarang ia pulang malam dan malas menginjakan kaki di rumahnya sendiri.

"Ayah lebih capek liatin ulahmu, Van. Ada-ada ... aja kasus yang kamu buat. Kamu pikir ayah nggak tau, kamu sering mabuk-mabukan, naek motor ugal-ugalan, kabur di kampus, bahkan kamu nggak bayar uang kampus. Kemanakan duit itu? Duit yang ayah kasih setiap bulan, Kamu buat jadi apa?"

"Yah, repot amat sih, duit cuma segitu aja di itung-itungin terus. Ayah maunya Revan gimana?"

"Ayah cuman ingin kamu jadi orang bener, kuliah yang bener, Jangan kerjaanya bikin onar aja."

"Baik, kalau dengan itu bisa bikin ayah puas, Okai Fine. Atur aja semuanya Yah. Atur aja hidup Revan seenak Ayah," jawab Revan ketus.

Gayadi menunjuknya dengan telunjuk gemetar.

"Ouh, sudah mulai berani kamu nantang, Ayah? tengok tuh adikmu! Sekecil itu, dia udah bisa tiga bahasa. TIGA, Van! Contoh tuh adikmu."

Revan mendengus. "Mulai ... mulai lagi deh, Bandingin Revan sama Dira. Kenapa sih ayah nggak sekalian angkat dia jadi anak tunggal aja? Biar hidup Revan nggak usah ditekan terus!"

"Revan. Jaga mulutmu!" bentak Gayadi suaranya naik beberapa oktaf dari biasanya.

Revan berdiri tiba-tiba, menarik napas panjang seperti menahan gejolak yang sudah lama ingin meledak.

Tanpa menunggu reaksi, ia berbalik dan melangkah cepat ke kamarnya.

Dengan kekuatan yang kencang, tangan besar Revan menarik pintu lemari dengan kasar.

Lalu melempar kasar ransel hitam kesayangannya ke tempat tidur.

Blug. Blug.

Dan ia mulai memasukkan pakaian secara acak.

"Lama-lama gue bosen hidup gini terus. Ayah pikir, gue nggak bisa hidup sendiri. Hyft. Aku bukan bukan bocil lagi. Liat aja nanti, Yah!" rutuk Revan sambil menenggelamkan kaos, celana, charger, kedalam tas itu.

Semua berhasil ditumpuk tanpa rapi.

"Revan! Kamu mau ke mana?!" Teriakan pria berkumis tipis sambil menyeret langkahnya yang sudah tak tegap lagi.

Revan tak menjawab.

Ia hanya menarik resleting ranselnya sampai habis, lalu memanggulnya ke punggung.

"Nggak usah peduliin, Revan!"

Langkah kakinya mantap, berjalan tanpa menggubris suara ayahnya.

"REVAN!" Gayadi memburu ke pintu.

Tapi yang diterimanya hanya punggung anaknya yang menjauh.

"Revan!"

Revan membuka pintu depan, berjalan menuju motornya yang terparkir di garasi.

Helm di tenggelamkannya ke dalam kepala dengan cepat.

"Revan, dengar dulu!" Gayadi mencoba mengejar.

Tapi suara mesin motor memotong seruannya.

Weng... Weng .... Grrr.

Motor Revan melesat tajam keluar gerbang.

Ban belakang sedikit tergelincir berdecit, membuat kerikil beterbangan.

Gayadi berdiri terpaku di ambang pintu, sambil menahan kesakitan di balik dadanya yang naik-turun karena emosi.

Di jalan, angin pagi memukul wajah Revan yang dingin.

Matanya lurus menatap ke depan, tapi ada setetes air menggantung di ujung kelopak.

"Gue nggak terima, diginiin terus," batinnya kecewa.

Ia mengusapnya cepat, seolah menolak kelemahan itu muncul.

“Bapak selalu bangga sama Dira… ya udah, anggap aja gue nggak ada. Dira, Dira, Dira terus."

Suara itu nyaris tak terdengar, ditelan deru mesin dan angin yang menderu di telinganya.

Tiga puluh menit berlalu, ia tetap menunggangi motor besinya makin kencang sekencang-kencangnya.

Motor besar itu meraung kencang di jalanan yang masih sepi.

Revan menunduk sedikit, membiarkan angin membelah wajahnya yang tertutup helm full face.

Jemarinya menggenggam erat grip gas, dan sekali putar, kecepatan motornya melonjak liar.

“Arrgh. Persetan sama semua orang!” geramnya di balik helm.

Saat kemarahannya di puncak ubun-ubun, Revan membelok tajam di tikungan sempit, ban belakang sempat selip, tapi ia tak peduli.

Ia mengendarai seperti sedang balapan di tempat sirkuit, tak ada aturan, tak ada tujuan, hanya ingin lepas dari rumah yang bagai neraka menurutnya.

Di kejauhan, di sisi tikungan, seorang perempuan sedang berjalan perlahan.

Rambut panjangnya dibiarkan terurai, Ia mengenakan kemeja putih polos yang sederhana, dan rok selutut bermotif bunga-bunga kecil yang bergerak ringan saat ia melangkah.

Tangannya membawa buku, wajahnya menunduk menatap layar ponsel.

Revan yang masih ugal-ugalan nyaris tak menyadari keberadaan perempuan itu. Sampai jarak mereka tinggal beberapa meter.

“Anjir!”

Tiiiiin.

Dengan reflek, Revan menarik tuas rem keras-keras.

"Awas!"

Ban depan motornya mengerik di aspal, suara gesekan tajam dan bau karet terbakar mulai melanglangbuana.

Tapi sudah terlambat.

Tubuh motornya tetap melaju ke depan, walau kecepatannya berkurang drastis.

Brugh!

Tubuh Revan membentur sesuatu, namun cukup kuat membuatnya kehilangan keseimbangan.

Aaargh!

Perempuan itu terhuyung, lalu jatuh ke aspal dengan suara tubuh terbanting.

Plak.

Revan terlempar sedikit ke samping, tapi masih bisa menjaga keseimbangan.

Motornya berhenti tak jauh dari tubuh yang kini tergeletak di sisi jalan.

Debu berterbangan, suasana mendadak senyap.

"Sialan, wanita itu?" pikirnya.

Dengan napas terengah, Revan menoleh cepat ke arah korban.

Helmnya masih terpasang, tapi ia bisa melihat dari celah visor.

"Asem. Repot ceritanya kalau gini. Kalau ayah tahu aku nabrak seorang wanita. Bisa-bisa aku di hujatnya lagi dan lagi."

Perempuan itu tergeletak diam. Rambutnya mengerai acak, wajahnya pucat, dan matanya tertutup.

Bukunya terlempar ke sisi jalan, dan ponselnya retak di sebelahnya.

"Shit…" Revan bergumam pelan.

Ia turun dari motornya setengah hati, melangkah mendekat dua langkah.

Matanya menyapu tubuh perempuan itu

"Tidak ada gerakan." Nafasnya tercekat.

“Gila, jangan bilang dia...”

Tapi sebelum pikirannya menuntaskan dugaan itu, panik mulai menyelimuti kepalanya.

Kalau ketahuan, habis dia.

Terlalu banyak masalah sudah ia buat. Kalau ini sampai jadi urusan polisi, habis riwayatnya di kampus dan bisa-bisa masuk penjara.

Ia tahu betul pasal-pasal tabrak lari, dia anak hukum.

“Bukan salah gue juga... dia yang jalan di tikungan, nyebrang nggak liat-liat,” gumamnya, berusaha meyakinkan diri.

Ia menatap perempuan itu sekali lagi. Masih belum bergerak.

"Hei, kamu masih hidup kan?" gumamnya dengan suara berbisik.

Wajahnya pucat, tubuhnya seperti tak bernyawa.

Revan menelan ludah keras. “Sial. Sial. Sial!”

Ia melirik kanan-kiri.

Jalanan masih sepi. Tak ada satu kendaraan pun lewat. Tak ada saksi. Tak ada CCTV.

Hanya dia dan tubuh perempuan itu. Otaknya berputar cepat, bertahan di tempat, atau pergi.

Dan akhirnya, ketakutannya lebih besar dari rasa bersalah.

Revan melangkah mundur cepat, menaiki motornya kembali.

Mesin dihidupkan dalam satu sentakan, suara knalpot kembali meraung keras.

Ia menatap tubuh itu satu detik terakhir.

“Maaf,” bisiknya pelan, entah kepada siapa.

Ngeeng!

“Gue nggak niat… gue cuma—” Suaranya tercekat.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca