Dari luar, Kafian Suyana terlihat seperti siswa SMA biasa. Kepribadiannya yang tidak banyak bicara membuatnya dikenal sebagai si pendiam. Tapi dia memiliki sisi lain yang tersembunyi.
Seperti siswa SMA pada umumnya, Kafi berkunjung ke rumah kakeknya saat liburan.
Berdiri di depan gerbang besar hitam yang di sisinya ada papan penanda bertuliskan 'Dojo Mahendra', Kafi melirik kamera pengawas di samping pintu kecil.
Tak lama pintu itu terbuka. Memasuki pintu, nampak pelataran dojo yang cukup luas.
Langkah kaki Kafi terdengar pelan tapi mantap di pelataran dojo. Udara pagi terasa segar, aroma kayu dari orang-orangan kayu tercium menjadi satu. Beberapa anak muda yang tengah bersiap latihan bela diri menghentikan gerak mereka saat melihatnya datang.
“Selamat pagi, Kak Fian!” seru salah satu dari mereka sambil membungkuk hormat.
Yang lain mengikuti. “Pagi, Kak!”
Entah mereka memang lebih muda dari Kafi atau memanggil kakak sebagai sebutan hormat.
Kafi hanya mengangguk kecil. “Hm.”
Dia berjalan melewati mereka tanpa suara, tetapi bukan tanpa wibawa. Meskipun tubuhnya ramping dan tinggi, ada aura yang membuat orang secara alami menghormatinya.
Pintu rumah besar bergaya tradisional terbuka, menampakkan seorang pria berusia sekitar 40-an dengan rambut cepak dan badan tegap.
“Hei, akhirnya muncul juga, bocah ini!” seru pria itu sambil tertawa. “Masuk, masuk. Udah ditungguin.”
Kafi mengangguk lagi. “Pagi, Om Romi.”
Romi Mahendra—kakak dari ayah Kafi—menepuk bahu keponakannya. “Kamu masih datar aja ekspresinya. Kasian temenmu tuh.”
Ia melirik ke arah pemuda yang tadi menyapa Kafi dengan sopan. “Lucas, sini!”
Lucas mendekat, menunduk sedikit.
“Lucas, tolong perhatiin Fian di sekolah. Bantu kalau perlu. Anak ini jarang ngomong, jadi jangan baper kalau dicuekin,” kata Romi dengan nada menggoda.
Lucas mengangguk cepat dengan eskpresi yang kikuk. “I-Iya, Guru.”
"Fi, Lucas ini lumayan loh. Kayaknya dia bisa jadi juara di Turnamen Petarung SMA tingkat Kota tahun ini..."
"Asal kamu tidak ikut." Romi melanjutkan ucapannya dengan tawa.
Kafi melirik Lucas dari atas hingga bawah lalu mengangguk.
"Ini semua berkat bantuan Guru dan Kakak Besar!" Lucas berucap dengan semangat.
"Santai saja, Cas. Kalian kan seumuran." Romi mengibas-ngibaskan tangannya.
"I-iya," angguk Lucas, gugup.
“Udah, masuk aja, Fi. Kakekmu udah nunggu dari tadi,” ucap Romi sambil kembali menatap latihan anak-anak di luar.
Kafi tak menjawab. Ia mengangguk sebelum melanjutkan langkah ke dalam rumah.
Di dalam, aroma teh jahe dan kayu jati menyambutnya. Seorang lelaki tua duduk bersila di ruang utama. Tatapan matanya tajam, tetapi saat melihat Kafi, ada sedikit kehangatan di balik ketegasannya.
“Fian. Cucuku,” sapa Rangga Mahendra.
“Kakek,” jawab Kafi sambil menunduk.
Fian adalah nama panggilan masa kecil Kafi. Ia yang dirawat oleh Keluarga Mahendra sejak umur 4 tahun, saat ayahnya meninggal, dikenal sebagai Fian Mahendra.
“Gimana sekolahmu? Nilai bagus?”
Kafi mengangguk. “Masih stabil.”
“Bagus."
Rangga mempersilahkan Kafi duduk. Lelaki muda itu duduk berhadapan dengan sang kakek.
Melihat Kafi yang diam saja, Rangga bedehem. "Begini, Fi. Kakek punya permintaan."
"Apa itu, Kek?" tanya Kafi dengan ekspresi yang tidak berubah.
"Kakek mau kamu ikut Turnamen Petarung SMA tahun ini.”
Kafi mengerutkan kening. “Tidak bisa, Kek. Ibu tidak mengizinkan. Aku harus fokus belajar.”
Rangga mendesah, lalu menatap cucunya lekat-lekat. "Sekali ini saja, Fian. Kakek mohon!"
Ekspresi Rangga sekarang akan membuat orang luar terkejut setengah mati. Aura sangar dan penuh wibawa yang selalu ditunjukkan Rangga, seketika lenyap.
“Belakangan ini, Turnamen Petarung menjadi populer dan dinikmati berbagai kalangan. Dojo-dojo tidak berkualitas bermunculan dimana-mana. Tapi mereka justru membuat petarung sejati malu. Sejak kamu berhenti, negara kita tidak pernah lagi merebut juara internasional.”
Pria tua itu bercerita dengan sendu. Sebagai salah satu orang yang mempopulerkan istilah 'petarung' di negara ini, Rangga berharap bisa mengembalikan masa kejayaan mereka.
Kafi menghela napas. Dia tau betul harapan kakeknya.
“Kalau Ibu izinkan, aku ikut,” jawab Kafi akhirnya, tanpa emosi.
Rangga tersenyum. “Bagus. Biar kakek yang bicara sama Kirana.”
...
Pilar marmer dan taman luas membuat rumah Keluarga Suyana lebih mirip istana modern.
Kafi sudah kembali dari rumah kakeknya, mengingat besok semester dimulai.
Saat hendak memasuki ruang makan, langkah Kafi terhenti. Ia mendengar suara dari balik pintu yang setengah terbuka.
“Tidak, Kirana. Sudah kubilang, aku tidak mau anak itu ikut-ikut kompetisi tinju bodoh atau apalah itu,” suara Galing Suyana terdengar keras.
“Ini bukan tinju bodoh. Ini turnamen resmi. Kakek Kafi memintanya,” suara Kirana terdengar letih.
“Justru karena itu. Aku tidak ingin kamu terus menerus disetir oleh keluarga preman macam Mahendra!”
Kirana terdiam sejenak. “Aku... aku hanya tidak ingin terus ditelpon. Aku juga tidak setuju Kafi ikut, kok.”
“Tegaskan itu padanya. Dan jangan buat malu nama Suyana!”
Galing Suyana adalah lelaki yang dinikahi Karina, ibu Kafi, setahun lalu. Tiba-tiba Karina yang bertahun-tahun tidak mengunjungi Kafi, mengajak Kafi bertemu dan bilang akan merawat Kafi. Sebagai anak di bawah umur, sudah seharusnya Kafi ikut dengan orang tua kandungnya.
Kafi tidak banyak bicara, dia langsung setuju. Bagaimanapun, Karina adalah ibu kandungnya. Sejak saat itu, Fian pun berubah menjadi Kafi.
Kafi, panggilan Karina untuknya. Sepertinya Karina lupa kalau saat kecil Kafian selalu dipanggil Fian. Tapi sekali lagi, Kafi tidak membantah.
Langkah pelan terdengar dari belakang. Kafi menoleh. Seorang wanita tua, bersanggul rapi dan mengenakan gaun sederhana tapi terlihat mahal, menatapnya dengan sorot merendahkan.
“Ck, jangan bengong di depan pintu seperti orang bodoh,” gumam Lani Suyana, ibu Galing. “Memang tidak seharusnya orang lain diizinkan masuk ke Keluarga Suyana.”
Kafi tak berkata apa-apa. Pandangannya datar.
Lani melewatinya dan masuk ke ruang makan. Di dalam, Kirana terkejut melihat mertuanya.
Kirana bergegas menata wajahnya, takut kalau Lani mendengar percakapannya tadi.
Tak lama, langkah ringan terdengar. Seorang gadis muncul dengan senyum cerah.
“Kafi!”
Gadis itu melambaikan tangan sambil berlari kecil menghampirinya. Rambut panjangnya diikat setengah, wajahnya manis dan bersinar.
“Anggi,” balas Kafi.
“Ayo makan bareng. Mama udah masak banyak.”
Anggita Suyana. Anak kandung Galing dari pernikahan pertamanya. Satu-satunya orang di rumah ini yang memperlakukan Kafi seperti keluarga.
...
Hari pertama sekolah. SMA Nusantara Jaya dipenuhi mobil-mobil mewah. Seragam bersih dan rapi, para siswa membawa aura prestise.
Kafi berdiri di depan papan pengumuman kelas. Matanya menelusuri daftar nama.
“2-3…” gumamnya. “Satu kelas dengan Anggi.”
Saat hendak ke kelas, ia justru melangkah ke kantin terlebih dulu. Perutnya kosong.
Beberapa siswa mengenalinya. Mereka berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.
"Itu Suyana si okb."
"Kalau okb jangan berlagak."
Kafi memilih tak peduli. Di rumah, Keluarga Suyana bertindak seperti yang paling tinggi. Tapi di sekolah, Kafi yang membawa nama Suyana dianggap sebagai orang kaya baru, okb, dan diremehkan.
Kafi membeli roti dan susu, lalu berjalan santai menuju kelas.
Di lorong, seorang gadis menepuk keras pundaknya. “Eh, Kafi!”
Kafi menoleh. Evalina Pangestu, mantan ketua kelasnya di kelas satu.
“Eh, kita satu kelas lagi, loh. Ya ampun, kenapa sih nasibku begini…” katanya sambil memutar mata.
Kafi hanya menatap datar. Eva salah satu dari beberapa orang yang sering menyindirnya.
“Sok cool,” gumam Eva. Kafi tak merespon, selama perlakuan orang lain tak melewati batas, Kafi tidak akan mengambil tindakan.
Mereka sampai di depan kelas.
Begitu pintu dibuka, pemandangan di dalam membuat Kafi tertegun.
Anggi—rambut acak-acakan, baju berantakan, dan isi tasnya berserakan di lantai. Di depannya, tiga gadis berdiri mengelilinginya. Salah satu dari mereka menampar kepala Anggi pelan, seolah mengolok.
“Heh, dasar okb! sok pakai barang mahal. Mau bagaimanapun, wajahmu itu akan tetap menunjukkan status okbmu!”
...