Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
MILIARDER ITU TERNYATA ....

MILIARDER ITU TERNYATA ....

Mas Lik'E | Bersambung
Jumlah kata
35.1K
Popular
100
Subscribe
8
Novel / MILIARDER ITU TERNYATA ....
MILIARDER ITU TERNYATA ....

MILIARDER ITU TERNYATA ....

Mas Lik'E| Bersambung
Jumlah Kata
35.1K
Popular
100
Subscribe
8
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeTeknologiMiliarderSci-Fi
Sukgiat hanyalah seorang pekerja lepas biasa yang hidup dengan sederhana di kota besar. Ia menjalani hari-harinya dengan menyelesaikan proyek-proyek kecil secara daring dan minum kopi dari warung langganannya. Namun siapa sangka, dari balik layar HP tua pinjaman, Sukgiat menyusun jalan menuju kekayaan yang tak terbayangkan. Segalanya berubah ketika ia mulai menggunakan Super AI, sebuah sistem kecerdasan buatan publik yang dapat menganalisis tren pasar dan keuangan. Bukan AI-nya yang luar biasa, melainkan cara Sukgiat memanfaatkannya. Dengan logika tajam dan naluri alami, ia membangun portofolio investasi yang tak terdeteksi, bergerak diam-diam, tapi mempengaruhi pasar global. Namun semakin tinggi ia naik, semakin besar pula risiko yang mengintai. Identitasnya yang disembunyikan dengan rapi mulai terancam terbongkar oleh para pesaing, analis pasar, dan kekuatan-kekuatan yang merasa terganggu oleh kehadiran “hantu pasar” misterius ini. Sukgiat harus memilih antara terus hidup di balik bayangan, atau menghadapi dunia dengan jati diri sebenarnya dengan segala konsekuensinya.
Bab 1: Kopi, Debu, Dan Impian Yang Mengambang

Tahun 2017. Dunia mungkin sudah mulai berubah. Kota-kota besar mulai dipenuhi orang sibuk menatap layar, mengakses dunia yang tak terlihat. Tapi di sebuah sudut kecil Jawa Tengah, perubahan itu belum terasa. Jalanan masih berlubang, dan satu-satunya warung internet di desa Sukgiat sudah tutup sejak dua tahun lalu.

Sukgiat duduk di bangku kayu di depan rumah papan milik orang tuanya yang kini hanya tinggal kenangan. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan harian sebagai buruh panggul di pasar kecil memindahkan karung beras, peti telur, dan kadang barang-barang tak dikenal dengan upah Rp25.000 sekali angkut. Tak ada kontrak. Tak ada kepastian. Hanya siapa cepat dia dapat.

Tubuhnya kurus namun berotot karena kerja kasar. Usianya 27 tahun, tapi sering dikira lebih tua karena wajahnya yang jarang tersenyum. Rambutnya dibiarkan sedikit panjang, lurus dan rapi meski tak pernah masuk salon. Ia memakai kaos putih pudar bertuliskan "Pilkada Damai 2015", peninggalan kaos gratisan yang dibagikan saat kampanye dulu.

"Gi, ngopi, Gi," panggil Pak Warno dari warung seberang. Suara ketel mendesis di belakangnya.

Sukgiat menoleh dan mengangguk pelan. Ia mengambil sandal jepitnya yang sudah menipis dan menyebrang jalan. Warung Pak Warno sudah seperti kantor tidak resmi bagi warga kampung. Di situlah semua gosip, rencana, dan berita datang dan pergi.

"Ayo, duduk. Tumben gak bawa plastik angkut?" tanya Pak Warno sambil menuang kopi hitam ke gelas kaca yang sudah menguning di bagian dasar.

Sukgiat mengangkat bahu. "Hari ini sepi. Katanya distributor lagi libur. Gak ada kiriman."

Pak Warno mengangguk maklum. "Zaman memang makin aneh. Sekarang anak-anak kota kerja cuma duduk depan komputer, katanya bisa dapat duit juta-jutaan. Padahal kita di sini jungkir balik angkat barang paling dibayar beras sekilo."

Sukgiat tersenyum miris. Ia pernah mendengar omongan serupa dari Pakde-nya yang tinggal di Jakarta. Katanya, orang-orang sekarang bisa kaya cuma modal "klik-klik". Tapi ia tak benar-benar mengerti maksudnya. Ia hanya tahu ponsel pintar bisa dipakai Facebook-an, dan itu pun ia lihat dari milik anak tetangga. Sukgiat sendiri hanya punya HP kecil dengan senter.

"Duit itu ya dari kerja keras," gumam Sukgiat, menatap permukaan kopi yang mengepul pelan. "Bukan dari mainan di layar."

Pak Warno tertawa. "Kau terlalu jujur, Gi. Dunia ini sudah nggak bisa cuma pakai otot."

Sukgiat tidak menjawab. Ia menghabiskan kopinya perlahan. Di balik wajah tenangnya, ada kegelisahan yang tidak ia tunjukkan. Ia tahu tubuhnya tidak akan kuat selamanya. Ia tahu upah harian tidak akan cukup untuk masa depan. Tapi ia juga tahu satu hal: ia tidak tahu harus mulai dari mana.

Langit mulai gelap ketika Sukgiat kembali ke rumah. Rumah kayu tua itu berdiri di atas tanah peninggalan orang tua yang sudah lama meninggal. Tak ada TV. Tak ada kulkas. Hanya lampu hemat energi dan kipas angin kecil yang hidup bila listrik tidak padam.

Malam itu, Sukgiat duduk sendiri di lantai, membuka-buka majalah bekas dari tahun lalu. Ia tidak bisa membaca cepat, tapi ia menikmati gambar-gambarnya. Ada iklan tentang laptop, satu hal yang selalu membuatnya penasaran.

"Internet," katanya pelan, mengucap kata itu seperti mantra. "Apa gunanya, ya?"

Besoknya, entah kenapa, ia memutuskan ke kota. Ia naik bus ekonomi selama dua jam ke pusat kota terdekat. Tujuannya sederhana: melihat dengan mata kepala sendiri apa yang disebut "dunia digital".

Ia masuk ke sebuah toko elektronik besar yang selama ini hanya ia lewati dari jendela bus. Di sana, ia melihat komputer, laptop, ponsel besar, dan sesuatu yang disebut "router". Semuanya terasa asing, tetapi menarik.

Seorang pegawai toko menghampirinya. "Cari sesuatu, Mas?"

Sukgiat menatapnya bingung. "Saya... cuma lihat-lihat. Mau tanya... ini komputer... bisa buat cari uang?"

Si pegawai tersenyum geli, tapi menjawab dengan ramah. "Bisa, Mas. Banyak banget. Ada yang buat desain, nulis, main saham, sampai trading online. Sekarang mah serba internet."

Sukgiat mengangguk, pura-pura mengerti.

"Mahal ya?"

"Yang murah ada, Mas. Tapi ya, tergantung kebutuhan. Kalau cuma buat belajar, lima jutaan sudah oke."

Lima juta. Bagi Sukgiat, itu seperti harga sepeda motor bekas. Angka yang hanya bisa ia bayangkan, bukan ia sentuh.

Tapi sejak hari itu, ada satu hal yang berubah: keinginannya untuk belajar.

Ia pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan semangat kecil yang baru tumbuh. Ia mulai menabung sedikit demi sedikit dari hasil angkut barang. Ia minta bantuan tetangga muda untuk diajari cara pakai komputer. Ia bahkan mulai mencatat kata-kata asing yang ia temui: browser, akun, login, wifi.

Ia belum tahu bagaimana dunia itu bekerja. Ia belum tahu bahwa lima tahun kemudian, dunia akan dipenuhi kecerdasan buatan yang menjawab semua pertanyaan. Tapi malam itu, di rumah kayunya yang sunyi, Sukgiat menulis tiga kata besar di buku tulis lusuhnya:

"Belajar Internet Serius."

Itu awal dari semuanya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca