Langit pagi itu tak secerah biasanya. Awan menggantung rendah, abu-abu seperti kepala Rayyan yang penuh pikiran. Trotoar basah sisa gerimis malam membuat sepatu hitam barunya sedikit licin saat melangkah masuk ke gerbang sekolah baru.
SMA Bhakti Nusantara, sekolah unggulan yang katanya tempat anak-anak pintar dan kaya berkumpul. Tapi buat Rayyan, ini lebih terasa seperti masuk ke kandang asing yang siap mencabik-cabik.
Langkahnya ragu, tapi ia terus berjalan. Seragamnya masih kaku, segaris pun belum kusut, dan rambutnya terlalu rapi untuk ukuran anak motor. Tapi itulah Rayyan sekarang, anak beasiswa, mantan tukang kabur dari kelas yang kini dipaksa duduk di bangku SMA bergengsi karena nasib berkata lain.
“Permisi,” gumamnya saat nyaris menabrak seorang cewek yang sibuk selfie di taman depan.
Cewek itu mendelik, menurunkan kameranya pelan. "Sok penting."
Rayyan nggak jawab. Dia cukup tahu diri. Dulu, waktu masih di SMP 28, dia bisa ketawa ngakak sama teman-temannya yang urakan. Sekarang? Bahkan ketawa pun rasanya harus minta izin.
Suasana sekolah ini terlalu steril. Dinding putihnya bersih, kaca jendelanya mengkilat, dan setiap siswa yang dia lewati tampak seperti berjalan dengan kepercayaan diri level dewa. Rayyan menunduk. Dia bukan siapa-siapa di sini.
Di tengah jalan menuju aula, sebuah suara familiar menghentikan langkahnya.
“RAYYAAAN, WOI!"
Suaranya keras, seenak jidat, seperti tawa di tengah ruang sunyi. Rayyan menoleh. Seorang cowok kurus dengan rambut kriting setengah gondrong berlari ke arahnya.
“Beng-Beng?”
Cowok itu nyengir, matanya menyipit karena senyum lebarnya. “Si tampang bad boy masuk SMA elit juga, ya? Dunia emang udah miring!”
Rayyan langsung nyengir. Senyuman tulus pertama hari ini.
Beng-Beng. Nama aslinya Adib, tapi semua orang manggil dia begitu sejak kelas tujuh. Mereka pernah satu geng, satu musuh guru, satu bangku paling belakang. Dan sekarang, ternyata takdir mempertemukan mereka lagi.
“Nggak nyangka kita satu sekolah.”
“Nggak nyangka? Gue udah doain tiap malam bro. Gila aja, lu bayangin, sekolah ini isinya kayak drama Korea. Lu liat tuh,” Beng-Beng menunjuk segerombolan cewek dengan wajah nyaris seragam. Cantik, putih, mahal.
Rayyan tertawa kecil. Untuk sesaat, dingin di tubuhnya mencair.
Di saat mereka melangkah pelan melewati taman sekolah yang terlalu rapi untuk selera Rayyan, tiba-tiba bel berbunyi nyaring. Murid-murid berhamburan dari segala arah, ada yang lari terburu-buru ke aula, ada yang masih nongkrong sambil selfie dengan gaya seakan mereka artis TikTok.
"Lu tau nggak, Ray? Di sekolah ini katanya ada kasta-kasta nggak tertulis," gumam Beng-Beng, lebih kepada dirinya sendiri. "Kayak ... siapa yang duduk di mana di kantin, siapa yang boleh nongkrong di rooftop, siapa yang dianggap 'worth it' diajak ngobrol."
Rayyan hanya menjawab dengan anggukan kecil.
Mereka melewati dua cowok yang berdiri di depan ruang multimedia. Salah satu dari mereka berkacamata, dengan jaket varsity merah sedang memandang Rayyan dari atas ke bawah.
"Eh, itu yang anak beasiswa, ya?" bisik cowok itu cukup keras untuk terdengar.
"Yang katanya dulu sempat dikeluarin dari SMP karena tawuran? Tapi kok bisa masuk jalur bea siswa?" timpal yang satu lagi, suaranya tak kalah sengaja.
Rayyan diam. Beng-Beng spontan melotot. Tapi alih-alih menyerang balik, dia hanya meludah ke tanah.
“Cuma omong kosong. Mereka nggak kenal lo kayak gue kenal lo.”
Rayyan nyengir setengah hati, “Nggak penting, Beng.”
Tapi wajahnya tetap tegang.
Langkah mereka terus berlanjut sampai ke lorong belakang aula. Di sanalah Rayyan melihatnya.
Seorang cowok berdiri menyendiri di sudut, earphone terpasang hanya di satu telinga, kepalanya menunduk membaca buku. Tampilannya tak mencolok. Jaket abu-abu biasa, sepatu sudah sedikit pudar warnanya. Tapi matanya tajam.
Dan ketika tatapan mereka bertemu, Rayyan merasa ada sesuatu yang familiar. Entah kenapa, cowok itu mengangguk pelan. Bukan sapaan, lebih seperti pengakuan.
Beng-Beng memperhatikan. “Itu Gio. Anak pengurus OSIS juga. Tapi nggak kayak si Kayla atau geng-geng influencer, dia lebih ke orang dalam layar. Tapi semua orang dengerin dia.”
“Dia tahu gue?”
“Semua orang udah tahu lo, Ray. Bahkan sebelum lo dateng, nama lo udah muter di grup-grup sekolah.”
Rayyan mengerutkan kening.
“Nggak usah mikirin mereka,” lanjut Beng-Beng. “Lo punya gue, itu cukup.”
Rayyan tersenyum kecil. Mungkin benar.
Tapi kenapa rasanya seperti dia sedang berjalan di atas panggung, dilihatin ribuan mata yang nunggu dia jatuh?
Aula dipenuhi anak baru. Suara kepala sekolah menggema dari mic tua yang menyaring suaranya seperti robot. Tapi Rayyan nggak fokus. Matanya malah ngelayap ke sekeliling. Sosok-sosok asing di mana-mana. Dia nggak punya peta siapa kawan, siapa lawan di sini.
Hingga sebuah suara cewek dari atas panggung menyentak kesadarannya.
“Selamat datang di Bhakti Nusantara. Saya, Kayla Maharani, ketua OSIS, mewakili seluruh siswa menyambut kalian semua.”
Rayyan menoleh cepat.
Cewek itu ....
Rambut hitam panjang, kulit sawo matang yang nggak kalah manis dari wajahnya yang tegas tapi lembut. Mata itu. Rayyan merasa pernah melihat mata itu. Tapi di mana?
Dia merasa detak jantungnya berhenti sebentar, lalu berdetak dua kali lebih cepat.
“Rayyan.” Beng-Beng membisik. “Itu Kayla. Anaknya pengusaha terkenal. Satu-satunya cewek di sekolah ini yang bisa bikin guru-guru bungkam waktu dia protes.”
Rayyan hanya mengangguk pelan. Suara Kayla di mikrofon terdengar seperti gema dari masa lalu yang samar.
Hari pertama penuh perkenalan dan formalitas. Saat pulang, Rayyan dan Beng-Beng duduk di tangga belakang gedung utama, menghindari kerumunan anak-anak ekskul.
“Gue serius, Ray. Lo harus hati-hati di sini,” kata Beng-Beng sambil mengunyah roti.
“Kenapa?”
“Karena lo ... lo bukan mereka. Lo nggak bakal bisa blend in kayak yang lain.”
Rayyan mengangguk. Bukan karena dia setuju, tapi karena dia tahu itu benar.
Dia pernah hidup dalam dunia yang keras, penuh suara knalpot dan asap jalanan. Di sini, semua terlalu sunyi. Terlalu halus. Bahkan kalau dia teriak, mungkin suaranya nggak bakal nyampe.
Tapi dia di sini bukan buat nyerah.
“Gue nggak butuh blend in, Beng.”
Beng-Beng menatapnya lama. Lalu tersenyum. “Ya, itu Rayyan yang gue kenal.”
***
Malamnya, Rayyan berdiri di depan cermin. Seragam SMA-nya tergantung rapi di kursi. Di balik pintu, suara motor lewat seperti bisikan masa lalu.
Dia membuka laci, mengeluarkan sebuah foto lama—foto geng lamanya di SMP. Ada dia, Beng-Beng, dan ....
Seseorang lagi yang wajahnya sudah nyaris pudar karena terlalu sering dilihat.
Dia mendesah. Masa lalu memang tidak bisa hilang, tapi mungkin bisa ditebus.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Pesan dari nomor tak dikenal.
"Lo pikir bisa lari? Selamat datang di neraka baru, Rayyan."
Jantungnya mencelos.
Rayyan menatap layar itu lama, sebelum akhirnya membalas, "Siapa lo?"
Tapi tak ada balasan.
Dan di luar, hujan mulai turun lagi.