Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pewaris Sang Raja

Pewaris Sang Raja

Bumi_LangitQu | Bersambung
Jumlah kata
81.3K
Popular
2.2K
Subscribe
163
Novel / Pewaris Sang Raja
Pewaris Sang Raja

Pewaris Sang Raja

Bumi_LangitQu| Bersambung
Jumlah Kata
81.3K
Popular
2.2K
Subscribe
163
Sinopsis
18+PerkotaanSupernaturalDunia GaibPertualanganSupernatural
Putra secara tidak sengaja menemukan sebuah batu mustika, Batu tersebut memiliki kekuatan yang luar biasa, dengan khodam harimau terkurung di dalamnya, ternyata batu mustika tersebut, salah satu pasangan dari tongkat pusaka tertinggi penjaga 4 wilayah gaib dengan jutaan pengikut. mampukah putra mengemban tugas dari sang raja dan mengalahkan pasukan Pengeran kegelapan Agorath.
Bab 1

Pagi datang dengan embun menggantung di ujung daun dan kabut tipis menyelimuti tanah hutan. Putra berdiri di samping gubuk, menatap ke dalam pepohonan yang seakan bergerak sendiri. Tangan kirinya memegang kapak kecil, sementara pundaknya memikul keranjang bambu kosong.

“Aku hanya butuh beberapa batang lagi,” gumamnya, seolah meyakinkan diri.

Sudah tujuh tahun ia tinggal di sini, sejak neneknya satu-satunya keluarga yang ia kenal meninggal dunia. Neneknya dulu sering berkata: “Jangan pernah masuk terlalu dalam, Nak. Hutan ini punya mata.”

Gubuk putra terletak di pojok desa di pinggiran hutan larangan, hutan larangan sesuai dengan namanya hutan yang terkenal angker dan menakutkan serta banyak hewan buas, ada batas-batas yang tidak boleh di masuki oleh masyarakat desa sekitar.

Putra mengabaikan rasa tak nyaman itu. Ia berjalan masuk ke hutan, seperti biasa. Tapi hari itu, ia salah langkah. Sebatang pohon tumbang menutupi jalur biasa, memaksanya mengambil rute baru, sedikit lebih dalam dari biasanya.

“Putra...”

Ia menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa, Suara itu terdengar seperti suara lirih perempuan, lembut, namun bergema aneh di dalam kepalanya.

Ia memaksa dirinya menjauh, tapi ketika berbalik, jalan yang tadi ia lalui tak lagi ada. Semak berubah, pohon-pohon tak sama, dan udara terasa lebih tebal.

“Ini... bukan jalur tadi,” bisiknya, napas mulai tak teratur. Putra mencoba mengingat arah mata angin seperti yang biasa diajarkan neneknya. Tapi tak satu pun petunjuk yang bisa ia andalkan. Ia berada di bagian hutan yang belum pernah ia masuki.

Langkah-langkah Putra terdengar pelan di antara reranting kering. Kabut mulai merayap dari bawah, menyentuh mata kakinya seperti tangan-tangan dingin. Ia terus berjalan, mengikuti celah di antara pepohonan yang tidak dikenalnya. Rute biasa tertutup oleh pohon tumbang, dan jalur baru ini terasa terlalu sunyi bahkan angin pun seolah tak berani lewat.

“Cuma ambil kayu Lalu pulang,” awalnya seperti itu gumamnya. Tapi ternyata itu cuma cerita saat dia baru memasuki hutan. Namun semakin dalam ia melangkah, semakin asing segala sesuatu di sekelilingnya.

Pohon-pohon menjulang lebih rapat, cabangnya membentuk atap yang menutup sinar matahari. Tanah menjadi lebih lembap, dan udara mulai dipenuhi aroma busuk dari dedaunan membusuk. Di kejauhan, terdengar bunyi seperti suara lonceng kecil... lalu hilang.

Putra berhenti.

Ia berbalik, mencoba mengingat jalur yang baru ia lewati. Tapi semuanya terlihat sama. Pohon-pohon tak memiliki ciri khas. Tak ada batu penanda, tak ada akar yang familiar.

Ia mulai panik.

"Tenang, Putra... jangan panik..." katanya pada diri sendiri, mencoba mengatur napas.

Ia memutuskan untuk memanjat pohon, mencari titik tinggi agar bisa melihat arah keluar. Tapi bahkan dari atas, hutan terlihat seperti lautan hijau kelam yang tak berbatas.

Saat ia turun kembali, ada sesuatu yang berubah. Keranjang bambu yang tadi ia sandarkan di akar pohon... hilang.

“Tidak mungkin,” bisiknya. “Aku... yakin tadi di sini.” Ia mencarinya. Ke kiri. Ke kanan. Tak ada.

Lalu terdengar suara... crack! seperti ranting diinjak seseorang.

“Siapa di sana?” teriak Putra, mencoba tegas, meski suaranya goyah.

Tak ada jawaban,Namun hutan terasa... hidup.

Seolah ada sesuatu yang memperhatikannya dari balik batang-batang pohon besar.

Putra memutuskan untuk terus berjalan. Ia tak tahu ke mana, tapi berdiri diam di tengah ketidakpastian hanya akan membuat pikirannya runtuh.

Perut Putra mulai perih. Ia sudah berjalan entah berapa jam. Matahari seperti tak bergerak, tersembunyi di balik tirai daun yang rapat. Kabut makin pekat, dan suara-suara aneh mulai bermunculan suara ranting patah tanpa sebab, desir angin yang terdengar seperti bisikan.

Putra tahu, jika ia tak segera menemukan tempat berlindung, malam akan datang dan hutan akan menjadi musuh yang tak kasat mata.

Ia memilih sebuah pohon besar berlubang di bagian bawah batangnya. Sejenak ia berjongkok di sana, membasuh wajah dengan sisa air yang dibawanya dari rumah. Bekalnya sudah habis sejak sore. Air minum tinggal beberapa tetes.

Ia memejamkan mata, mencoba mengingat nasihat neneknya dulu.

"Jika kau tersesat, dengarkan suara air. Sungai adalah jalan pulang. Tapi jangan ikuti suara yang memanggil namamu. Itu bukan manusia."

Malam pun turun. Suhu turun drastis. Putra menggulung tubuhnya, menyalakan api kecil dari ranting kering yang ia kumpulkan. Api itu kecil dan lemah, tapi cukup untuk menyingkirkan dingin.

Tiba-tiba, terdengar suara dari kejauhan bukan binatang, bukan angin. Seperti suara kayu dipukul... tok... tok... tok...

Berirama.

Berulang.

Teratur.

Putra merunduk. Api ia padamkan cepat-cepat. Ia menahan napas. Jantungnya berdetak cepat. Suara itu semakin dekat, lalu berhenti...

tepat di balik semak-semak.

Ia menggenggam kapak kecilnya erat-erat.

Sunyi.

Lalu... suara langkah menjauh.

Putra menunggu lama sebelum akhirnya berani keluar. Ia memutuskan untuk tidak tidur malam itu. Ia membuat lingkaran kecil dari abu sisa api dan berusaha untuk memejamkan matanya.

Pagi pun datang terlalu cepat. Setelah hampir semalaman putra tidak tidur, dan baru di akhir pagi terlelap sebentar.

Matahari menembus celah-celah daun, dan suara burung kembali terdengar tapi tidak lama.

Putra kembali berjalan. Ia lapar. Sangat lapar. Ia menemukan beberapa buah liar, mencoba mengingat mana yang dulu pernah diperlihatkan neneknya.

Ia mengambil satu, menggigit perlahan. Rasa asam. Tapi tidak beracun.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, ia terus maju—mencari suara air, mencari tanda-tanda kehidupan, atau sekadar tempat aman untuk bertahan.

Namun hutan ini... seolah tidak ingin membiarkannya pergi.

Langkah-langkah Putra kian berat. Kakinya penuh luka gores, bajunya robek, dan napasnya pendek-pendek. Namun, harapan mulai tumbuh saat ia mendengar suara gemericik air dari balik bebatuan.

Ia mengikuti suara itu dengan sisa tenaga, dan menemukan sebuah sungai kecil mengalir jernih di sela-sela batu hitam yang basah. Ia minum, banyak. Rasa airnya segar, dan untuk pertama kalinya sejak tersesat, ia merasa sedikit aman

Setelah cukup beristirahat, putra memeriksa area sekitar. Tepat di balik batu di aliran belakang sungai, tersembunyi di balik semak dan akar pohon raksasa, terdapat sebuah celah di dinding batu. Goa.

Putra ragu.

Namun rasa penasaran dan dorongan untuk berteduh lebih baik dari malam berikutnya membuatnya melangkah masuk.

Goa itu dingin, namun kering. Semakin dalam ia masuk, cahaya dari luar makin lenyap, dan hanya nyala api dari ranting terbakar di tangannya yang menjadi penuntun.

Semakin dalam semakin lembab sampai akhirnya putra menemukan, Tak lama, ia menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti seketika.

Dinding goa dipenuhi tulisan aneh simbol-simbol melingkar seperti peta bintang, diselingi garis-garis dan bentuk seperti mata, tangan, dan manusia bersayap...

Putra meraba dan merasakan dinding gua yang penuh dengan ornamen dan simbol aneh tersebut sampai akhirnya, Dia melihat sesuatu yang membuatnya terperanjat.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca