Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
GAGAH : JALAN YANG DIPILIH

GAGAH : JALAN YANG DIPILIH

bubblejessz | Bersambung
Jumlah kata
162.0K
Popular
248
Subscribe
75
Novel / GAGAH : JALAN YANG DIPILIH
GAGAH : JALAN YANG DIPILIH

GAGAH : JALAN YANG DIPILIH

bubblejessz| Bersambung
Jumlah Kata
162.0K
Popular
248
Subscribe
75
Sinopsis
18+PerkotaanAksiGangsterMafiaPembunuhan
Dulu ia korban. Kini ia penentu. Dibesarkan di daerah kumuh dan dipenjara karena tuduhan palsu, Gagah hanya punya satu hal: tekad untuk bertahan. Di balik jeruji, ia menemukan mentor sekaligus ayah pengganti—Samson, pemimpin ormas bayangan bernama Gerakan Pemuda Bangsa (GPB), yang menjanjikan "keadilan" dengan tangan besi. Setelah bebas, Gagah naik dari anak jalanan menjadi sosok paling disegani kedua di GPB. Tapi ketika ia membuka mata pada kebusukan di dalam organisasi yang dulu ia anggap rumah, pilihan pun datang: diam dan tunduk… atau melawan arus kekuasaan yang dibangun dari darah dan uang haram. Namun, tak ada pengkhianatan tanpa konsekuensi. Kini, mentor yang dulu menyelamatkannya berubah menjadi algojo. Dalam dunia tempat idealisme dianggap kelemahan, mampukah Gagah bertahan dengan hati tetap utuh—atau harus jadi monster untuk melawan monster?
1. Jalan yang Dipilih

Langit Jakarta sore itu berwarna kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Gagah yang muram. Di lorong sempit Gang Mawar, tempat ia tinggal sejak kecil, bau got bercampur asap knalpot menjadi aroma sehari-hari. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, tertawa di tengah genangan air kotor, sementara para ibu sibuk menjemur pakaian di tali yang melintang di atas kepala.

Gagah, remaja 17 tahun dengan tubuh kurus dan kulit legam karena matahari, duduk termenung di bangku kayu tua depan warung kecil milik ibunya, Bu Marni. Matanya menyimpan kelelahan yang tidak seharusnya dimiliki anak seusianya.

Sejak ayahnya meninggal dalam kecelakaan kerja di pelabuhan dua tahun lalu, beban hidup jatuh ke pundaknya. Ia berhenti sekolah, membantu ibunya berjualan nasi bungkus dan menjaga warung kecil yang sempit tapi penuh kenangan.

“Gagah, tolong antar lima bungkus ke kantor koperasi depan masjid ya,” seru Bu Marni dari balik etalase kaca.

“Iya, Bu.” Ia mengangguk lesu, menggantung kantong plastik di sepedanya yang sudah karatan.

Baru lima belas menit berlalu sejak ia berangkat. Tapi ketika Gagah kembali ke gang, kerumunan orang menghalangi jalan menuju warung. Ia mendengar suara ribut-ribut. Jantungnya berdegup kencang.

Ia menerobos kerumunan. “Bu?!”

Bu Marni terduduk di tanah. Wajahnya pucat. Di pelipisnya ada darah yang masih menetes. Di depannya berdiri pria berbadan besar, mengenakan jaket ormas dengan lambang burung garuda besar dan tulisan: GERAKAN PEMUDA BANGSA.

“Anak lo ngajarin bocah-bocah lawan kita, ya?” bentak pria itu, suara parau seperti gerinda tumpul.

Gagah langsung berdiri di depan ibunya. “Gue nggak ngajarin siapa-siapa. Gue cuma nyuruh anak itu jangan ngasih duit ke preman lo!”

Pria itu menyeringai dan tanpa banyak bicara, tinjunya melayang. Gagah jatuh mencium aspal, darah merembes dari bibirnya. Tak ada yang berani membantu. Semua hanya menunduk, takut pada nama besar “Abang Jo,” preman lapangan GPB sektor Tanah Abang.

Besoknya, Gagah ditangkap. Tuduhannya: penyerangan dan pencemaran nama baik terhadap ormas. Saksi palsu muncul dari mana-mana. Bukti pun dipalsukan. Polisi mencatat keterangan sepihak, dan Gagah—yang tak punya uang untuk pengacara—dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

Ketika digelandang masuk mobil tahanan, satu-satunya suara yang diingatnya adalah jeritan ibunya: “Kamu nggak salah, Nak! Jangan kalah!”

***

Penjara bukan tempat bagi mereka yang lemah, apalagi idealis. Di balik jeruji besi Rutan Salemba, Gagah menemukan dunia yang jauh lebih brutal dari gang sempit tempat ia tumbuh. Kekerasan adalah bahasa utama. Sikut menyikut, sogok menyogok, dan hierarki yang hanya bisa dipertahankan dengan kekuatan atau koneksi.

Tapi justru di dalam kubangan hitam itu, ia bertemu Samson.

Seorang pria tua berotot, dengan kepala botak mengilap dan bekas luka di wajah, Samson menguasai blok tahanan dengan hanya duduk diam. Ia seperti raja takhta batu, disegani sipir, dihormati narapidana, dan tak pernah bicara lebih dari sepuluh kata.

Samson bukan sekadar preman, dia adalah legenda. Pemimpin Gerakan Pemuda Bangsa, mantan algojo politik, dan residivis yang kini menutupi keganasannya dengan jubah "aktivis sosial." Tapi ada aura berbeda dari dirinya—dingin, tenang, tapi mematikan.

Suatu malam, setelah Gagah dipukuli karena membela napi baru yang dipalak, Samson menghampirinya.

“Kenapa lo lawan?” tanyanya pelan.

“Karena nggak adil.”

Samson mendecak pelan. “Adil itu cuma dongeng. Tapi... kadang, dongeng bisa jadi senjata kalau lo tahu cara maininnya.”

Sejak malam itu, Gagah jadi bayangan Samson. Belajar bicara, membaca situasi, menyusun strategi. Ia diajari bela diri, taktik bertahan hidup, bahkan cara melihat struktur sosial di luar jeruji. Ia tak hanya jadi kuat secara fisik, tapi juga secara pikiran.

Dua tahun terasa seperti sepuluh hari. Namun saat ia akhirnya keluar, bukan lagi Gagah yang sama yang masuk dua tahun lalu.

***

Gang Mawar masih sama. Got tetap bau, tembok tetap penuh coretan. Tapi kali ini Gagah tidak hanya membawa luka. Ia membawa tekad.

Ia tahu satu-satunya cara untuk melawan sistem ini adalah dari dalam. Dan itu berarti ia harus masuk ke jantung dunia yang dulu membuangnya—Gerakan Pemuda Bangsa.

Maka ia pun berdiri sekarang, di depan sebuah markas kecil di tepi rel kereta. Cat temboknya mengelupas, tapi lambangnya jelas: garuda bersilang parang dan bendera merah putih.

Suara musik dangdut, teriakan tawa keras, dan aroma rokok bercampur alkohol menguar dari dalam.

Gagah menghela napas panjang. Hari ini bukan untuk menuntut keadilan. Hari ini untuk mengambil tempatnya sendiri di tengah dunia yang pernah menginjaknya.

Ia angkat kaki, mendorong pintu kayu berat itu perlahan.

Pintu berderit.

Lalu—

—dentingan besi.

Seseorang berdiri di dalam. Pria bertubuh kekar dengan wajah penuh bekas luka.

Sebuah pistol diarahkan tepat ke dahinya.

“Lo pikir bisa masuk sini tanpa izin, bocah kampung?”

Gagah menatap ujung pistol itu tanpa berkedip. Hawa dingin besi laras seolah menyentuh kulit keningnya. Tapi dia tidak bergerak, tidak mengangkat tangan, tidak mundur. Hanya diam, membiarkan keheningan berbicara lebih keras daripada suara ancaman.

Pria di hadapannya tampak terganggu oleh ketenangan itu.

“Lo budek ya?” katanya sinis. “Gue bilang, lo pikir bisa masuk sini semaunya?”

“Saya mau ketemu Samson,” kata Gagah, suaranya datar tapi dalam. “Bilang, Gagah dari Salemba datang.”

Nama itu, nama yang baru saja diucapkan, seperti mematikan arus listrik di ruangan. Pria bertato itu menurunkan pistolnya perlahan. Sorot matanya berubah, dari penuh ancaman menjadi curiga, lalu ragu.

“Lo... anak Salemba?”

Gagah hanya mengangguk sekali.

Pria itu menyeringai. “Kalau lo bohong, lo mampus.”

Ia melirik ke dalam. “Yok, bilangin ke dalam. Ada anak Salemba ngaku kenal bang Samson.”

Beberapa detik kemudian, pintu dalam terbuka, dan seorang pria berjas lusuh datang. Umurnya mungkin 40-an, dengan perawakan sedang dan raut wajah tajam. Rambut disisir klimis ke belakang. Gagah tahu dia bukan orang biasa. Caranya memandang—dingin, penuh hitungan.

“Lo dari blok B?” tanyanya.

“Sel dua tujuh. Dua tahun,” jawab Gagah.

“Nama asli Samson?”

“Roberto.”

“Nama kecilnya?”

“Betet,” jawab Gagah cepat.

Pria itu mengangguk. “Ikut gue.”

***

Interior markas GPB tak jauh beda dari luar: tua, kasar, penuh aroma rokok dan lem. Namun di lantai dua, suasananya berbeda. Dinding dihiasi pigura foto-foto kegiatan sosial, sertifikat, bahkan ada satu dengan cap dari partai besar. Di sisi kanan, meja kayu berat dikelilingi rak buku yang anehnya tertata rapi.

Di belakang meja itu duduk Samson—atau Roberto—dengan postur tak berubah sejak Salemba. Pria bertubuh besar itu kini memakai kemeja hitam lengan pendek dengan emblem GPB. Matanya menatap Gagah seperti menelanjangi isi kepala anak muda itu.

“Jadi lo beneran dateng,” katanya. Suaranya lebih berat dari yang Gagah ingat.

Gagah menunduk, bukan karena takut, tapi hormat. “Saya sudah janji, Bang.”

Samson menunjuk kursi di depannya. “Duduk. Kita ngomong bukan di balik jeruji sekarang.”

Pembicaraan berlangsung selama satu jam. Gagah menceritakan apa yang terjadi setelah bebas, kemarahan yang ia simpan, dan tekadnya untuk berubah dari korban menjadi pelindung. Samson hanya mendengarkan. Sesekali menyesap kopi, sesekali melirik ke bawah, tempat anak buahnya berjudi.

“Lo tahu, kan, dunia di luar penjara lebih kejam dari dalam?”

Gagah mengangguk.

“Di luar, hukum itu dijual. Keadilan itu barang mahal. Lo bisa pegang prinsip, tapi prinsip nggak bisa beli nasi.”

Gagah menatap lurus. “Saya gak cari nasi, Bang. Saya cari harga diri.”

Sunyi.

Samson tertawa. “Harga diri tuh mahal, Goblok. Tapi… itu jawaban yang bagus.”

Ia lalu berdiri dan mengangkat telepon rumah. “Siapkan tesnya.”

***

Malam itu, Gagah dibawa ke tempat yang disebut “Kandang”—ruang latihan bawah tanah markas GPB. Beton lembab, lampu neon berkedip. Di tengah ruangan, sebuah ring kecil dikelilingi oleh puluhan anggota GPB sektor Jakarta Barat.

“Tes masuk GPB cuma satu,” kata pria bertato yang tadi menodong pistol. Namanya Abimanyu, salah satu komandan sektor. “Lo masuk ring. Lawan dua orang. Nggak boleh keluar. Nggak boleh nyerah. Nggak ada aturan.”

Gagah melangkah ke tengah. Di sekelilingnya, teriakan, sorakan, dan bau alkohol memenuhi udara. Dua lawannya muncul—satu tinggi besar, satu kurus lincah. Keduanya tampak seperti pembunuh jalanan.

“Siap mati, anak Salemba?” salah satu dari mereka menyeringai.

Gagah tidak menjawab. Ia hanya membuka jaket lusuhnya, mengepalkan tangan, dan menunduk sebentar—mengingat wajah ibunya.

“Mulai!” teriak Abimanyu.

Pukulan pertama mendarat di rahang Gagah. Pukulan kedua menghantam rusuk. Tapi Gagah tetap berdiri. Ia bukan petarung teknis, tapi apa yang dia pelajari di sel sempit dan koridor lembab cukup untuk membuatnya bertahan.

Ia menunggu. Mengukur. Lalu—balas.

Tendangannya menghantam lutut lawan pertama. Tiga pukulan cepat menghajar perut lawan kedua. Ia dipukul balik, didorong ke tali, dihantam lagi—tapi tetap berdiri.

Darah menetes dari keningnya.

Hidungnya patah.

Tapi lawan pertama jatuh.

Lawan kedua mundur.

Sorakan meledak.

Gagah terhuyung keluar ring. Nafasnya berat. Dunia berputar.

Samson berdiri di tepi ring, memandanginya dengan senyum tipis.

“Lo lulus,” katanya.

Seseorang menyerahkan jaket GPB kepadanya. Bendera merah-putih dengan lambang burung garuda hitam bersilang parang. Di bawahnya tertulis: BANGSA – KEKUATAN – KEBENARAN.

Gagah memandang jaket itu, lalu mengenakannya perlahan.

Tubuhnya gemetar. Tapi bukan karena takut.

Karena inilah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan ketika ia berjalan keluar dari ruang bawah tanah, Abimanyu mendekat dan berbisik di telinganya—

“Selamat, Anak Salemba. Tapi lo harus tahu…

Orang pertama yang bakal nyari celah buat bunuh lo…

…adalah bos lo sendiri.”

***

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca