Kaki melangkah tak kenal lelah melewati jalan berliku akibat reruntuhan di sepanjang jalan. Pria kecil itu mengenakan jaket hijau kusam yang sobek di beberapa sisi, serta cukup kotor. Dia membawa sebuah tas selempang coklat berisi beberapa buku usang di dalamnya. Meskipun wajahnya penuh debu, senyuman cerah terukir ketika dia menapaki jalan raya yang penuh rintangan. Gedung-gedung di sekitarnya telah runtuh, puing-puing bertebaran, tanaman liar yang hijau menjalar pada bangunan-bangunan usang itu.
Anak laki-laki dengan rambut hitam tersebut, menatap ke sekeliling. Dia berbalik sambil berjalan mundur ke arah seorang gadis yang lebih tua tiga tahun darinya, "Menakjubkan!" serunya sambil merentangkan kedua tangan.
Gadis itu bersusah payah mengejar, napasnya tersengal, dia membungkuk dengan kedua tangan menyentuh lutut, "Kita kemari bukan untuk tamasya, Vin!" kesalnya sedikit mengangkat kepala menatap adiknya.
"Ini pertama kalinya aku keluar setelah sekian lama bersama mereka," kata Marvin nama anak laki-laki itu.
Dengan sigap gadis itu memegang tangan Marvin, sedikit membungkuk dan setengah berbisik, "Terlalu berbahaya di sini."
Gadis itu mengenakan syal berwarna kuning yang telah kotor bercampur debu dan keringat. Dia juga mengenakan jaket kulit usang berwarna merah maroon. Gadis berambut pendek itu menatap sekitarnya waspada.
"Tidak ada orang dewasa kali ini, kita harus hidup sendiri, ingat itu Marvin," kata gadis tersebut memelankan suaranya.
Marvin melengkungkan bibirnya kesal, "Aku tau, Kak."
"Kita harus cari makanan dulu. Kamu tidak boleh jauh-jauh lagi dari Kakak, ya?" peringat Evelyn kakak dari Marvin.
Marvin menatapnya lesu, bibirnya melengkung, lalu mengangguk terpaksa.
"Bagus, sekarang ikut denganku," katanya sambil menggandeng Marvin.
Mereka menyusuri kota mati, bangunan besar telah tumbang dan termakan oleh usia. Sudah hampir 80 tahun setelah bencana yang mengakibatkan mereka harus bertahan dari monster-monster pemakan daging. Asal-usul mereka belum jelas, banyak rumor tentang kemunculan mereka tapi kebenarannya masih diragukan.
Kota ini begitu sepi, hanya ada tiupan lembut dari angin yang membawa partikel pasir ke udara. Marvin dan kakaknya lama tinggal bersama para penyintas yang melakukan perjalanan jauh demi suatu tempat bernama Luminous Zones. Tempat yang digadang-gadang memiliki segalanya, makanan, minuman, tempat tinggal nyaman, bagai surga bagi siapa pun yang mendengar berita ini. Mereka baru ikut satu minggu bersama penyintas, setelah kedua orang tua mereka lenyap di tangan para penyintas itu.
"Kak, biarkan aku menggambar mobil merah itu," katanya sambil menunjuk sebuah mobil usang berwarna merah di antara reruntuhan bangunan.
"Ingat saja mobilnya, lalu kamu gambar di tempat kita bisa merasa aman," titah Evelyn.
"Kita sudah aman, ayolah sebentar saja," rengek Marvin.
Evelyn menghela napas dalam, "Tidak, mereka mungkin masih mengejar kita. Kita harus terus bergerak, Marvin."
Marvin menunduk, hatinya cukup kecewa, sampai akhirnya dia mendongak dan berkata, "Biarkan aku melihatnya dari dekat sebentar, lalu kita pergi. Aku janji akan cepat!"
Evelyn memijat keningnya, "Aku temani," pasrah gadis muda itu.
Marvin berlari kecil ke arah mobil sport mewah yang memanjakan matanya. Dia melihat tiap lekukan pada badan mobil tersebut, kedua tangannya menyentuh dengan lembut. Senyuman terpancar, "Mobil lebih keren daripada yang Ayah ceritakan," katanya.
Marvin beralih menatap kaca jendela mobil, dia mengusap kaca dan mencoba melihat dengan kedua tangan menutup cahaya dari pandangan. Marvin tak berhenti mengucapkan kekagumannya, "Woagh, aku jadi ingin mengendarainya!"
Evelyn melipat tangan di depan, "Sudah selesai? Kita harus pergi sebelum orang-orang itu menyadarinya," peringat Evelyn.
***
Sementara itu di tempat lain, seorang pria paruh baya memegang senjata api sejenis SMG menatap ke luar jendela. Sebuah gedung kecil yang masih kokoh berdiri, dia menatap ke jalanan kosong yang telah ditumbuhi tanaman liar di sela retakan pada bangunan dan aspal.
"Mereka sudah kabur, Pak!" kata seorang pemuda yang membawa senjata sama dengan bos-nya.
"Aku akan meminta bawahanku yang lain untuk mencari mereka," katanya bertanggung jawab.
Pria itu hanya diam, lalu beberapa detik kemudian mengangkat tangannya tanpa memalingkan pandangan dari luar sana. Pemuda tadi yang ingin segera memanggil rekannya, lantas menghentikan pergerakan kaki.
"Aku tau, biarkan mereka pergi. Mereka tak akan hidup lama setelah ini," ujarnya dengan senyum licik.
"Biarkan anjing-anjing itu makan daging segar, karena memang disini area mereka," sambung pria itu yang akhirnya menatap pemuda tersebut.
"Kita harus pergi, bawa yang lain juga. Kita hanya beristirahat sebentar di sini," titah pria itu.
"Baik, Pak Marcel!" ucapnya sambil memberi hormat.
Anak-anak duduk lantai dengan tangan terikat ke belakang, mereka dilingkari oleh beberapa bawahan pria bersenjata. Mereka cukup putus asa untuk dapat keluar, setelah Marvin dan Evelyn kabur, mereka harus dikumpulkan dan penjagaan dilakukan lebih ketat. Itu karena mereka akan dijual ke sebuah organisasi sebagai objek penelitian. Setelah memberikan iming-iming akan tempat aman, pada akhirnya mereka hanyalah diberikan mimpi yang tak nyata.
Pria itu kembali berbalik ke jendela kaca besar yang berdebu, memegang erat senapannya, "Tapi membosankan jika aku langsung pergi," gumamnya.
"Alex, bawa beberapa bawahanmu, sisanya tetap berjaga di sini. Temani aku sebentar untuk berburu," titahnya.
***
"Ini terlalu menakjubkan, iya kan?" tanya Marvin memastikan.
Evelyn menghela napasnya dalam, "Ayo, kita harus pergi!" ajaknya sambil menggandeng tangan sang adik.
Gadis berumur sekitar lima belas tahun itu begitu waspada akan sekitarnya. Sangat berbeda dengan adiknya yang masih berumur sepuluh tahun. Dia tidak waspada dan mengatakan berbagai hal tentang apa yang dia lihat.
"Katanya dulu ini kota yang megah. Aku mungkin bisa membayangkan bagaimana indahnya itu," oceh Marvin.
Evelyn tak mau menanggapi ocehan adiknya, tangannya menggenggam erat telapak tangan sang adik. Sampai genggamannya menyakiti Marvin, "Aw! Ada apa denganmu?" tanya Marvin segera menarik lengan.
"Sst!"
Getaran batu kerikil di atas aspal itu menjawab pertanyaannya. Sesuatu sedang bergerak ke arah mereka, entah apa yang datang. Evelyn kembali menarik lengan Marvin untuk bersembunyi di sebuah toko swalayan lewat pintu kaca yang telah hancur. Rak-rak dalam toko swalayan itu telah kosong dan ada yang hancur, jadi Evelyn dan Marvin memutuskan bersembunyi di balik meja kasir.
Marvin yang tadinya banyak bicara, kali ini menutup mulutnya. Memasang telinga baik-baik mendengarkan suara langkah kaki berat yang ada di depan toko.
Prang!
Bunyi pecahan kaca terdengar jelas, denyut jantung berdegup kencang. Evelyn memeluk erat adiknya, mengetahui jika ada yang memecah kaca toko ini. Beserta suara gesekan serpihan kaca yang menyeret sesuatu masuk ke dalam.
Evelyn mencoba memeriksa keadaan dengan melihat lewat serpihan kaca di lantai. Gadis itu mencoba mengangkat serpihan kaca yang memantulkan bayangan. Secara perlahan, dan sedikit demi sedikit, Evelyn bisa melihat siapa yang ada di dalam toko selain mereka.
"Gawat ...." paniknya.
Seekor anjing tanpa bulu, berukuran besar telah berdiri di sana sambil menjilat genangan darah yang entah bagaimana bisa ada di sana. Dia begitu menikmati darah yang nampak masih segar keluar dari kantung plastik khusus. Evelyn yang panik tak sengaja memantulkan sinar cahaya dari luar ke arah anjing dengan banyak luka di tubuhnya. Saat menyadari itu, anjing berlumuran darah di sekitar mulutnya, menggeram.
Rarrgh!
Dia melompat ke arah meja kasir dan mendapati seorang gadis dan anak laki-laki ketakutan. Darah yang ada di sekitar mulutnya menetes ke pipi Marvin. Anjing itu hendak menggigit kepala Marvin, tapi dengan cepat Evelyn memukul kepala anjing tersebut dengan vas bunga di dekatnya. Anjing itu pun oleng, tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Evelyn menggandeng Marvin keluar, "Marvin, Lari!"
Tanpa diketahui, ternyata ada dua anjing lagi sama seperti sebelumnya, seolah mereka telah menunggu kehadiran mereka di depan toko.