Nagareksa, biasa dipanggil Naga, berusia 18 tahun, sedang berjalan santai menyusuri jalan setapak yang gelap menuju rumahnya, sambil menenteng kantong plastik berisi dua bungkus nasi goreng. Rumahnya memang sedikit terpencil di tepi kota dan terpisah dari rumah warga sekitarnya.
“Ehm, ini nasi goreng kesukaan Ayah. Gue akuin rasanya emang bener-bener otentik sih. Semoga beliau seneng pas gue bawain ini,” gumam Naga sambil terus berlenggang langkah dengan riang.
Sekitar sepuluh meter menjelang rumahnya, Naga dikejutkan oleh suara teriakan keras dari dalam rumah.
PRANGG!
“Lu memang bangsat, Nata! Udah sepantasnya lu mati!”
Naga terhenyak. “Suara apaan tuh? Siapa yang teriak-teriak?” perasaannya mendadak tak enak.
Tanpa pikir panjang, Naga langsung berlari, khawatir Ayahnya, Natareksa atau Nata, yang sudah renta, mengalami sesuatu yang buruk.
Begitu sampai di ambang pintu, napas Naga tercekat. Di hadapannya, dua pria paruh baya sedang berdiri garang, sementara Ayahnya sudah tersungkur di lantai. Dari bibir Nata mengalir darah segar. Pot bunga di sudut ruang tamu pecah berantakan. Jelas mereka sudah memukul Nata sampai terjatuh dan menimpa pot itu.
Salah satu pria, yang rambutnya ikal, menunjuk ke arah Nata. “Gue masih nggak terima atas kematian adik gue, Nata. Gimanapun juga, lu harus tanggung jawab. Lu biang keladinya!”
Pria satunya lagi, yang berambut lurus, berteriak lebih bengis. “Percuma kalo cuma dimaki, Kak. Mending langsung hajar aja nih orang sampe sekarat. Biar lunas dendam masa lalu kita!”
Nata cuma bisa terduduk lemah. “Apa yang kalian omongin? Itu bukan salahku. Kalian yang datang. Aku cuma membela diri!”
“Omong kosong! Jangan banyak bacot lu, Nata!” si pria rambut lurus angkat kaki, siap menendang kepala Nata yang masih terkapar.
Namun—
“Stop! Hentiiikan!”
Naga langsung meluncur dan bersimpuh, memeluk tubuh ayahnya.
“Apa-apaan sih kalian?! Jangan main hakim sendiri! Ini udah masuk penganiayaan, tau nggak?!”
“Heh, bocah. Anak bau kencur kayak lu ngerti apaan?! Ini urusan utang lama. Nggak usah ikut campur. Minggir sono, atau lu yang gue hajar abis-abisan!” bentak pria rambut lurus. Sorot matanya penuh benci.
Naga tetap ngotot. “Gue gak peduli! Buat gue, urusan bokap gue ya urusan gue juga. Nyakitin beliau, sama aja nyakitin gue!”
Pria rambut ikal sudah mulai kehilangan kesabaran. “Lu minggir, atau lu yang gue jadiin samsak gantiin bokap lu?!”
“Silakan. Gue yang bakal jadi tameng buat bokap gue. Mau nyerang, lawan gue dulu. Tapi jangan sentuh bokap gue,” Naga berdiri, tubuhnya tegang, siap bertarung meski jelas tak punya bekal apa-apa, bahkan kemampuan beladiripun ia tak bisa.
“Nak, kamu jangan nekat. Kamu bukan tandingan mereka. Mundurlah. Biar Ayah saja yang menghadapi mereka,” Nata memohon sambil meraih kaki Naga.
“Enggak, Yah. Hidup gue, nyawa gue, cuma buat Ayah. Kalo mereka masih mau nyakitin Ayah, ya hadapin gue dulu! Langkahi mayat gue!” Naga menggeleng keras, menepis tangan ayahnya.
“Pemberani juga lu, bocah. Jangan nyesel kalo abis ini lu nyungsep nggak bangun-bangun!” dua pria itu bergerak serempak, semakin mendekat.
Sempat muncul rasa ragu dalam hati Naga, tapi buru-buru dia tepis. Dengan keras ia menggertakkan gigi, menguatkan hati.
“Gue nggak boleh pengecut. Harus bisa jagain Ayah, apapun yang terjadi!” serunya dalam hati.
“Brengsek lu!”
Perkelahian pun meletus. Naga, pemuda 18 tahun tanpa kemampuan bela diri, harus menghadapi dua pria dewasa yang jelas-jelas mahir beladiri.
Pukulan pria rambut ikal meluncur deras. Naga refleks angkat tangan untuk menangkis meski gerakannya jauh dari sempurna, hanya gerakan otomatis melindungi diri tanpa dasar yang jelas.
BAGG!
Dadanya selamat, tapi pergelangan tangan kirinya langsung nyeri, terkilir.
“Auwww!”
“Anak kemarin sore, nggak bisa ngelawan, tapi sok jagoan,” dengus pria rambut lurus, lalu menghujani Naga dengan pukulan.
BANGG..
BANGG!
BUKK!
Naga bertahan sebisanya, menahan serangan yang datang bertubi-tubi. Tapi jelas dia kalah jauh. Lawan terlalu lihai untuk dia hadapi.
“Ughh…”
Tubuh Naga terpental membentur ke dinding, lalu jatuh ke lantai seperti kain yang teronggong.
“Nagaaa!”
Nata menangis melihat anaknya yang terluka parah.
Naga menoleh dengan napas tersengal. “Nggak apa-apa, Yah. Aku masih kuat. Ini bukti bahwa aku anak Ayah. Biarin aja aku hadapin mereka. Ayah jangan tahan aku lagi,” ujarnya sambil mengusap pelipis dan dagunya yang udah memar.
“Na-ga…”
Nata cuma bisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya terlalu lemah untuk menolong.
Naga berusaha bangkit. Kakinya goyah, tapi dia tetap berdiri.
“Ayo, serang lagi. Pukulan kalian lembek banget. Kayak tamparan bayi. Ayolah!” ejek Naga, lebih pada membesarkan hatinya sendiri.
“Lu yang minta, bocah!”
Dua pria itu kembali menyerang bersamaan, mengapit tubuh Naga dari kiri dan kanan.
BUGG…
BAKK!
BANGG!
BLETAKK.
Naga tidak bisa berkutik. Sekejap mata tubuhnya dihajar habis-habisan. Pukulan dan tendangan berhamburan ke seluruh tubuhnya. Dia menahan sebisa mungkin, tapi tubuhnya sudah tak kuat. Darah mulai mengucur. Organ dalam tubuhnya juga terasa sakit dan nyeri.
“Arhhh…”
BLUKK!
“Nagaaa! Tidakkk!”
“Udah cukup! Tolong hentikan! Dia udah nggak sadar!” seru Nata histeris.
Nata berteriak, memohon agar dua pria itu berhenti menyerang. Anaknya sudah benar-benar terluka parah.
“Hahaha. Untung lu punya anak yang sok berbakti. Tubuh renta lu terselamatkan karna dia,” pria rambut ikal tertawa.
“Anggap aja ini harga yang harus lu bayar. Kalo anak lu mati, ya sebanding sama adik kita yang udah meninggal,” tambah pria rambut lurus tanpa belas kasihan.
Akhirnya dua pria itu mundur. Mereka pergi dengan langkah puas, meninggalkan Nata yang merangkak bangkit dari lantai.
“Nagaaa… Bertahan ya, Nak. Tenang… Kau pasti baik-baik aja… Kau harus baik-baik aja!”
Air mata Nata menetes deras, jatuh di wajah anaknya yang terkulai dalam pelukannya. Mata Naga terpejam, tak jelas apa masih sadar atau sudah tidak ada.
Nata terseok-seok menuju kursi, meraih kain sarung. Ia menyeka darah yang menempel di wajah dan tubuh Naga.
“Naga, jangan bikin Ayah takut. Kamu harus kuat, bertahan!”
Tangannya gemetar membersihkan darah dari bibir dan hidung Naga.
Di luar, malam tetap sunyi. Rumah mereka memang jauh dari pemukiman, tak ada yang tahu apa yang terjadi.
Pikiran Nata kacau, air matanya tak berhenti mengalir. Dia tahu betul kemampuan dua pria tadi. Pasti Naga mengalami luka dalam yang cukup parah.
Nata bangkit perlahan, masuk ke dalam kamar. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja nakas.
Begitu layar menyala, tangannya menggulir daftar kontak, mencari satu nama. Saat ketemu, ia langsung tekan tombol hijau.
“Halo, Samin. Tolong aku. Naga terluka parah. Tolong kesini,”
—
@levalorich