Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
SANG PEWARIS

SANG PEWARIS

Olivia Yoyet | Bersambung
Jumlah kata
130.4K
Popular
885
Subscribe
106
Novel / SANG PEWARIS
SANG PEWARIS

SANG PEWARIS

Olivia Yoyet| Bersambung
Jumlah Kata
130.4K
Popular
885
Subscribe
106
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifePria MiskinPengawalUrban
Satya Harapan Jaya, seorang penjaga keamanan, membantu presdir perusahaan tempatnya bekerja, yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Satya tidak pernah menduga jika hal itu akan membuka tabir peristiwa puluhan tahun lalu, yang melibatkan dirinya dan sang presdir, Dharmendra Kusumadierja. Semenjak saat itu, Satya berulang kali didatangi preman yang dikirimkan orang misterius. Satya dan kedua sahabatnya dikeroyok dan terluka parah. Siapa otak utama penyerangan pada Satya, dan apa motifnya? Misteri apa yang menyelimuti Satya dan Dharmendra? Bodyguard The Series teranyar Emak OY di Max Novel. Baca juga cerita Emak OY lainnya di sini. Yaitu, Nyai Centini, dan Running Away. Tokoh pendukungnya juga muncul di cerita ini, Sang Pewaris, dan akan terus hadir di banyak cerita terbaru Emak OY yang hendak ditayangkan di Max Novel. Follow akun penulisnya, ya. Guna mengetahui puluhan judul cerita lainnya buatan Emak OY. IG(olivia_yoyet)
Bab 01 - Satpam?

01

"Mak. Emak!" seru Satya Harapan Jaya.

"Bisa kagak? Jangan teriak-teriak!" hardik Sabriah, sembari memelototi putra bungsunya, yang tengah memasuki dapur.

"Jangan marah, Mak. Aku cuma mau ngabarin berita penting."

"Apaan?"

"Aku dapat kerjaan."

"Di mane?"

"Kantor PB."

"Alhamdulillah. Akhirnya elu kerja juga. Dapat jabatan ape?'

"Ehm, jadi satpam, Mak."

"Ape? Ehh, elu, tuh, Emak sekolahin tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya jadi satpam. Pegimane itu urusannye?"

"Daripada aku ngganggur, lebih repot, kan?"

Sabriah terdiam. Dia baru menyadari jika jawaban Satya itu tepat. "Tapi, Emak mau elu kerja kantoran, Sat."

"Ini buat sementara, Mak. Sambil aku cari-cari lowongan di tempat lain."

Sabriah mendengkus pelan. "Berapa lama sementaranya?"

"Kagak tahu. Doain aja supaya cepat."

Sabriah kembali mendengkus. "Iye, dah."

"Ehm, Mak. Buat kerja itu, aku kudu ikut diklat."

"Ape entuh dikat?"

"Diklat, Mak. Pendidikan dan pelatihan."

"Di mane?"

"Bogor."

"Ya, udah. Berangkat sono."

"Diklatnya mulai 5 hari lagi. Dan ... aku kudu bayar."

"Berape?"

"3 setengah juta. Langsung ditempatkan di perusahaan lain. Kagak nunggu lama."

Sabriah mengerjap-ngerjapkan matanya. "3 setengah juta?" ulangnya.

"Iya. Bisa dicicil, Mak. Potong gaji, gitu. Tapi, tetap harus DP."

"Berape DPnya?"

"1 setengah juta."

Sabriah manggut-manggut. "Segitu, Emak punya."

"Yuk! Kita ke ATM. Habis itu, langsung nyetor ke kantor PB."

"Kantor apaan, sih, itu? Namanya aneh."

"Perusahaan jasa keamanan. Mereka yang melatih sekuriti, sebelum ditempatkan."

"Emak kira, elu jadi satpam kayak Nono."

"Beda, Mak. Mang Nono satpam tanpa pendidikan. Makanya, dia lebih banyak molor di pos, daripada kerjanya."

Puluhan menit terlewati, pasangan Emak dan anak itu telah berada di salah satu kantor, di deretan pertokoan pusat bisnis daerah Bekasi Selatan.

Kendatipun sudah sering melihat gedung-gedung tinggi, tetapi baru kali itu Sabriah memasuki bangunan puluhan lantai.

Perempuan berusia 50 tahun itu, merasa takjub dengan kondisi kantor cabang PB. Sabriah mengamati beberapa pria muda, yang juga tengah menyetor uang pendaftaran.

Beberapa lelaki berbadan tegap memasuki lobi. Para pegawai di tempat itu segera berdiri untuk memberi hormat, pada kelima pria berseragam safari hitam.

Sabriah terus memandangi, hingga kelompok tadi memasuki lift. Dia mengusap dada sambil memuji ketampanan para pria tersebut.

"Neng, yang tadi itu, siapa?" tanya Sabriah tanpa bisa menahan rasa penasarannya.

"Komisaris PB dan PBK, Bu," jawab sang resepsionis.

"Yang punya perusahaan ini?"

"Ya, sama PBK."

"Apa itu PKB?"

"PBK, Bu. Perusahaan jasa keamanan khusus buat pengawal."

Sabriah membulatkan matanya. "Pengawal? Apa mereka tentara?"

"Bukan. Mereka orang-orang terpilih yang dilatih tentara. Sama dengan diklat satpam. Beda tingkatannya saja."

"Maksudnya, Satya nanti dilatih tentara juga?"

"Betul, Bu. Tapi, jangan khawator. Peserta diklat tidak akan disiksa. Mereka hanya digembleng secara fisik dan mental. Plus materi padat. Supaya saat bertugas nanti, kerja mereka bisa bagus, dan beda dengan satpam dari perusahaan lainnya," pungkas sang resepsionis.

***

Selama 2 minggu berikutnya, Satya dan kedua sahabatnya, mengikuti pendidikan dan petatihan di tempat khusus, di pinggir Kota Bogor.

Pada awalnya, Satya, Ardan dan Jivaj, merasa kesulitan mengikuti latihan fisik. Namun, setelah beberapa hari mengikuti diklat, ketiganya justru menikmati kegiatan itu.

Satya yang ramah, menjadi peserta paling rajin. Dia juga sering mendatangi pengajar, untuk menanyakan tentang materi yang belum terlalu dipahaminya.

Hal itu ternyata diperhatikan Qadry Muharam, direktur utama PB, yang turun langsung menjadi pemateri.

Selain Satya, ada belasan peserta diklat yang dipantau dan dicatat Qadry.

Malam terakhir di tempat diklat, semua petinggi PB dan PBK datang. Mereka turut berjoget bersama para peserta diklat, dengan diiringi band bentukan tim pengawal.

"Ada yang mau nyumbang nyanyi?" tanya Gumilang, ketua panitia diklat tersebut.

Para peserta saling memandang. Selanjutnya Satya dan kedua sahabatnya mengangkat tangan kanan.

"Maju!" titah Gumilang yang segera dikerjakan ketiga pemuda tersebut. "Mau nyanyi apa?" tanyanya.

"Lagu dangdut, Komandan," balas Ardan.

"Karaoke aja, dan kalian sambil joget,' tukas Gumilang.

"Mohon izin, Komandan. Kami mau pinjam organ dan gitar," pinta Jivaj.

"Boleh." Gumilang memberi kode pada kedua rekannya yang segera bergeser ke belakang.

Jivaj menduduki kursi di depan keyboard. Sedangkan Satya mengalungkan tali gitar ke lehernya. Ardan berdeham di dekat microfon, sembari menunggu kedua temannya siap.

Tuts keyboard berbunyi dan diiringi petikan gitar elektrik. Musik dangdut remix mengalun dan menyebabkan penonton berseru.

Alih-alih bernyanyi, Ardan justru melakukan rap sembari bergaya khas rapper. Para panitia berdiri dan berpindah ke depan panggung kecil, lalu mereka berjoget dengan gaya andalan masing-masing.

Hasbi yang masih duduk di dekat drum, menyambar gendang dan berpindah ke dekat Satya. Sang asisten direktur operasional PBK itu, memainkan gendang dengan apik dan memancing pekikan penonton.

Alvaro Gustac Baltissen, komisaris 4 PB dan PBK, beradu pandang dengan Wirya Arudji Adhitama, komisaris 6 kedua perusahaan tersebut.

"Intuisi Qadry sangat tepat. Mereka bertiga bisa menambah warna para junior kita," cakap Alvaro.

"Ya. Hasil akademis mereka juga bagus," sahut Wirya sembari mengalihkan pandangan ke depan.

"Feelingku, mereka biang kerok angkatan baru," seloroh Zulfi Hamizhan, komisaris 7.

"Ya, terutama yang main gitar itu. Siapa namanya?" tanya Alvaro.

Wirya mengecek catatan di notes ponselnya. "Satya Harapan Jaya."

"Namanya unik."

"Kata Yusuf, rumah Satya nggak jauh dari rumah orang tuanya di Tambun."

"Deket banget?"

"Enggak. Bapaknya Yusuf, di bagian tengah. Rumah Satya, masuk perkampungan di ujung jalan itu. Deretan dengan rumah kedua temannya itu."

"Oh, mereka teman lama rupanya. Pantas akrab banget," timpal Zulfi.

Gelakak penonton menjadikan percakapan itu berhenti. Ketiganya turut terkekeh, saat menyaksikan Satya yang gagal melakukan breakdance.

Suasana bertambah ricuh, saat Qadry dan para sahabatnya di pengawal lapis 3, mempertunjukkan parkour, yang dipadukan gerakan wushu yang apik.

Satya termangu menyaksikan gerakan mantap para pengawal itu. Dia mengagumi mereka dan bercita-cita hendak menjadi pengawal juga.

Satya tertegun ketika beberapa pengawal lainnya menari dengan luwes. Dia ikut memekik ketika para seniornya itu melakukan koreografi sulit, dan berhasil memukau hadirin.

Malam bergerak kian larut. Acara malam keakraban telah usai. Semua peserta sudah berada di tenda sesuai regu masing-masing.

Satya merebahkan badannya di antara Ardan dan Jivaj. Dia menepuk lengan kedua sahabatnya, hingga Ardan dan Jivaj serentak menoleh.

"Gue mau kerja serius, supaya bisa daftar buat jadi pengawal," cakap Satya.

"Ya, gue juga," balas Ardan.

"Kita cari duitnya dulu, Gaes. Mahal itu biayanya," cetus Jivaj.

"Yoih. Kudu banyak nabung. Tahan jajan dulu," imbuh Satya.

"Gue mau jual motor," beber Ardan.

"Elu mau jual motor, terus kerjanya pake apa?" tanya Jivaj.

"Nebeng di elu," jawab Ardan.

"Yee! Gue, pegimane?" desak Satya.

"Elu naik ojek," usul Jivaj.

"Kagak bisa nabung, dong," kilah Satya.

"Atau elu pedekate ke Neng Dini. Biar bisa nebeng ke jalan raya."

Satya spontan memukul pelan paha kiri Jivaj. "Usul elu bikin gue merinding."

"Dia, kan, sudah ngebet ama elu dari dulu. Sabet aja udah."

"Sabet pala lu! Nanti gue digeret dia ke KUA. Mati berdiri gue!"

"Jangan mati dulu. Utang elu ke gue belum lunas."

"Utang apaan?"

"Elu pernah pinjam celana gue, tapi kagak balik sampai sekarang."

"Heh, Kutil! Celananya udah gue balikin, taoi sama Emak elu dijadiin keset, karena robek-robek."

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca