Raka Darmawan, 27 tahun, memandangi layar laptop yang sudah menunjukkan angka 00:01.
Hari baru. Tapi tetap saja, hidupnya stagnan seperti mi instan tanpa bumbu.
Tumpukan file tagihan tergeletak di sebelah laptop.
Nasi goreng dingin dari siang tadi masih utuh, hanya berkurang dua sendok.
Dan saldo rekening terakhir yang ia cek... menyedihkan. Lebih menyedihkan dari drama TV pukul sembilan malam.
“Kalau bangkrutnya keren, aku masih bisa pamer,” gumamnya sambil membuka satu folder yang bertuliskan “PROPOSAL TERAKHIR. SEMOGA DILIRIK”.
Ya, semoga.
Setengah jam kemudian, Raka masih terpaku. Tapi bukan pada proposal.
Matanya sayu, tubuhnya bersandar lemas di kursi plastik murahan yang sedikit miring ke kiri.
Jantungnya terasa sesak. Lalu gelap.
Dan habis begitu saja.
Tanpa petir.
Tanpa efek dramatis.
Tanpa air mata.
---
KLIK.
“RAKA! Jam tujuh! Nanti kamu telat sekolah!”
Suara itu...
Raka membuka mata. Matanya terasa ringan.
Ruangan ini... bukan kontrakannya yang pengap.
Ini... kamarnya dulu? Di rumah orang tuanya? Kenapa dindingnya masih warna biru polos?
Kenapa posternya Naruto?
Dia bangkit duduk. Lalu mendekat ke cermin.
Dan terdiam.
Wajahnya...
Wajah yang belum diserang kopi, utang, dan kegagalan cinta.
Masih ada jerawat kecil di dagu.
Dan rambut acak-acakan khas remaja.
“INI APAAN?!”
Tangannya gemetar. Ia buru-buru melihat kalender di meja.
14 Januari 2013.
“Tujuh belas tahun... aku... balik ke SMA?!”
Ibunya kembali berteriak dari luar kamar.
“RAKA! Seriusan ya kalau telat lagi, Ibu bangunin pake sapu!”
Raka terdiam.
Matanya menyapu seluruh ruangan. Seragam SMA tergantung rapi di kursi.
“…Oke. Kalau ini mimpi, ini mimpi paling absurd sepanjang hidupku.
Tapi kalau bukan… mungkin aku dikasih kesempatan kedua.”
Dan ia pun berdiri.
Memakai seragam yang dulu ia benci.
Menuju masa lalu yang menunggunya —
penuh jerawat, pelajaran fisika, dan cinta pertama yang belum gagal.
Raka berdiri di depan cermin dengan seragam putih abu-abu.
Kancing atas masih ketat. Rambutnya — seperti dulu — belum tahu gaya.
Dan yang paling jelas terasa: tubuh ini... lebih ringan. Lebih enteng.
Belum dihantam kopi hitam tiga gelas sehari dan insomnia akibat utang.
Dia menatap bayangannya.
"Ini gila," bisiknya. "Tapi rasanya... nyata."
Dia turun ke bawah. Aroma nasi goreng pagi — yang biasanya cuma jadi kenangan — kini mengepul hangat di meja makan.
Ibunya, yang seharusnya sudah beruban dan lebih pendiam, berdiri dengan tangan di pinggang.
Masih sama cerewetnya.
Masih hidup.
“Cepat makan! Ayah kamu udah duluan berangkat!” serunya.
Raka terpaku. Hampir saja ia menangis, tapi buru-buru duduk dan menyuap nasi goreng buatan ibu.
Hangat. Asin sedikit. Tapi nikmat.
Lebih nikmat dari apa pun yang ia rasakan dalam sepuluh tahun terakhir.
“Kenapa bengong?” tanya ibunya curiga.
“Enggak. Cuma... bersyukur masih hidup,” jawabnya jujur.
Ibunya mengerutkan dahi. “Kamu mimpi buruk ya?”
“Bisa dibilang begitu,” Raka tersenyum tipis.
Atau… mimpi yang jadi kenyataan?
---
Di perjalanan menuju sekolah, Raka naik angkot.
Ya, angkot.
Yang duduknya sempit, lagunya kadang dangdut koplo atau remix Justin Bieber, dan penuh kenangan absurd.
Dia melirik keluar jendela. Melihat jalanan kota kecil yang belum dipenuhi motor ojek online.
Spanduk 2013 masih nempel di mana-mana.
Handphone di saku — bukan smartphone. Tapi HP lipat miliknya yang dulu, warna biru metalik.
"Berarti... ini titik awal semua gagal itu dimulai," gumamnya.
Cinta pertama?
Proposal bisnis pertama yang nggak diajukan karena minder?
Persahabatan yang hancur hanya karena ego masa muda?
Semua ada di tahun ini.
Tiba-tiba, suara supir angkot membuyarkan pikirannya.
“Dek, SMA 2 kan belok kiri nih?”
Raka mengangguk pelan.
Dan saat turun, dia melihat gerbang SMA-nya berdiri gagah — seperti dulu.
Tapi kali ini... dia masuk dengan ingatan seorang pria 27 tahun.
“Bismillah... semoga nggak norak.”
Langkahnya terasa berat, tapi juga ringan.
Seolah hidup memberinya draft baru — dengan tinta yang belum tumpah.
---
Langkah-langkah kecil di tangga rumah yang dulu sering ia lewati kini terasa asing. Raka menuruni anak tangga dengan hati-hati, seolah setiap langkah bisa membangunkan kenyataan bahwa ini semua hanya mimpi absurd yang terlalu realistis. Tapi tidak. Lantai kayu rumah itu masih sama: satu papan di anak tangga ketiga berdecit kalau diinjak, dan aroma pagi... benar-benar aroma pagi rumah.
Di meja makan, Ibu masih mengenakan daster motif bunga dengan celemek bergambar ayam. Nasi goreng buatan rumah mengepul, lengkap dengan irisan telur dadar tipis dan kerupuk udang yang sudah melempem karena udara pagi.
“Duduk, makan dulu. Nanti kamu masuk jam berapa?” tanya Ibu sambil menuangkan teh manis hangat.
Raka terpaku sejenak. Ia ingin menjawab, “Aku udah nggak sekolah, Bu. Aku 27 tahun, bisnis gagal, jomblo kronis, dan barusan mati.” Tapi tentu tidak. Dia hanya mengangguk seperti anak SMA baik-baik.
“Jam tujuh, Bu,” jawabnya pelan. “Makannya bareng siapa tadi?”
Ibu menoleh heran. “Ayah kamu lah. Kamu masih tidur, tadi Ibu bangunin tiga kali.”
Raka menunduk, menyuapkan nasi ke mulut. Setiap sendok seperti menampar hatinya. Nasi goreng ini—dengan rasa sedikit kebanyakan garam dan terlalu banyak bawang merah—adalah rasa masa kecil yang hilang.
Ia menahan air mata. Gagal.
Di umur 27, Raka bahkan tidak sempat lagi makan bareng orang tuanya. Waktu habis untuk kerja serabutan, tekanan mental, dan mimpi-mimpi yang patah di tengah jalan.
Kini dia kembali. Ke titik sebelum semuanya hancur. Ke rumah, ke meja makan, ke... masa di mana semuanya masih bisa berubah.
“Ibu...” gumamnya tiba-tiba. “Terima kasih, ya.”
Ibu melirik aneh. “Lho, tumben?”
Raka hanya mengangguk. “Nasi gorengnya... enak banget.”
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Raka merasa hidupnya punya rasa.
---
Setelah sarapan dan mandi, Raka berdiri di depan cermin. Seragam putih abu-abu itu masih agak kebesaran. Rambutnya—pendek dan sedikit berdiri ke atas karena belum tahu cara pakai gel—menyambutnya dengan nostalgia.
Di dahi, ada bekas jerawat yang dulu ia kira akan membuatnya jomblo selamanya.
Ternyata... dia tetap jomblo meski jerawatnya sudah sembuh.
“Kamu tuh... gagal cinta, gagal bisnis, dan sekarang dikasih kesempatan kedua,” gumamnya di depan cermin. “Minimal... jangan norak.”
Dia meraih tas abu-abu, yang masih penuh coretan nama band dan gambar Sonic. Di dalamnya, ada buku-buku yang dulu ia benci, pulpen dengan tutup hilang, dan dompet lipat kain warna hitam.
Saat hendak berangkat, suara Ibu menyusul dari ruang tamu.
“Raka! Jangan lupa uang jajan!”
Dan Ibu memberinya selembar sepuluh ribuan dan dua ribuan yang diremas jadi satu. Raka mengambilnya, senyum getir.
“Kayaknya dulu uang segini bisa bikin aku kaya di kantin.”
“Bilang apa?”
“Terima kasih, Bu.”
---
Perjalanan menuju sekolah dilakukan dengan naik angkot jurusan 05—angkot legendaris yang selalu bocor saat hujan, dan pintunya nggak pernah ditutup rapat.
Di dalam angkot, Raka duduk di pojokan sambil memperhatikan orang-orang.
Anak SMA lain dengan seragam kusut dan wajah malas. Seorang ibu-ibu yang membawa kantong belanja. Suara radio memutar lagu lawas yang... tunggu. Ini bukan lawas. Ini lagu baru tahun 2013.
Dia memejamkan mata.
“Kalau ini mimpi, semoga jangan bangun dulu.”
Setelah belok dua kali dan melewati toko kelontong legendaris bernama “JAYA SELALU” (yang dia tahu akan bangkrut tahun 2018), angkot berhenti di depan SMA 2—sekolahnya.
Raka turun perlahan, memandangi bangunan besar dengan gerbang besi biru dan spanduk kegiatan OSIS yang penuh typo.
“Lomba mading kreafif & lomba tarik tambang.”
Ah, nostalgia.
Langkahnya memasuki halaman sekolah terasa seperti memasuki dunia baru yang lama. Di pojok lapangan, ada Pak Haris—guru olahraga yang terkenal galak tapi punya lelucon garing abadi. Di koridor, anak-anak nongkrong sambil menyembunyikan HP di balik saku celana. Dan di lorong depan kelas X IPA 2—kelasnya waktu itu—ada dia.
Dina.
Cinta pertamanya. Rambut dikuncir dua, ekspresi serius, dan... masih suka bawa novel teenlit ke sekolah.
Raka membeku.
Dia ingat. Dina adalah luka pertamanya. Tapi juga salah satu alasan ia dulu semangat berangkat sekolah.
Mereka sempat dekat. Lalu jauh.
Karena keegoisan remaja. Dan karena... dia terlalu pengecut untuk jujur.
Kini Dina berdiri tak jauh. Masih asing. Tapi masih... Dina yang sama.
“Raka?” suara seseorang membuyarkan lamunannya.
Raka menoleh. Itu Bima—sahabatnya dulu. Orang yang pernah ia kecewakan karena pilihan hidup yang salah di usia 20-an.
“Lho, lo ngapain diem aja di sini? Masuk yuk. Hari ini ulangan Sejarah.”
Raka nyaris tertawa. Sejarah?
Dia adalah sejarah sekarang.
“Iya, iya,” sahutnya, mengikuti langkah Bima ke dalam kelas.
Di dalam kelas, aroma spidol whiteboard dan wangi penghapus kayu membuatnya seperti tersedot kembali ke masa lalu. Suara kursi diseret, derik kipas angin tua, dan ocehan teman-teman yang belum tahu hidup itu akan jauh lebih ribet setelah lulus.
Raka duduk di bangku belakang. Tempat biasa ia bersembunyi dari pertanyaan guru.
Dia membuka buku tulis.
Kosong.
Seperti masa depannya dulu. Tapi sekarang...
“Gue dikasih awal baru,” bisiknya.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam hidup, Raka merasa punya kendali.
Dia belum tahu apa yang akan berubah. Tapi satu hal yang pasti:
kali ini, dia akan mencoba.