Siang hari, dengan jajaran awan tipis, menghiasi langit mendung Kota New York, seluruh mahasiswa di Universitas Riverdale menyimak penjelasan yang diberikan oleh Tuan Hermsworth, dosen yang mengampu mata kuliah statistika bisnis.
"Jadi, untuk memecahkan studi kasus di halaman empat puluh, kita memerlukan langkah berikut." Lelaki bertubuh tegap dengan usia empat puluh lima tahun itu mulai menuliskan rumus dan langkah-langkah yang berhubungan dengan soal yang dimaksud.
Hal teraebut membuat mahasiswa di kelas, termasuk Alden Taylor memperhatikan sambil mencatat sedikit demi sedikit langkah yang tertulis. Maklum, Alden tergolong sebagai salah satu mahasiswa yang giat belajar dan memiliki ambisi untuk menyelesaikan studinya lebih awal.
Di saat yang sama, laki-laki dengan gaya rambut spiky dan hoodie abu-abu yang duduk di sebelahnya berbisik pada Alden, "Nanti, pinjam ya, Bro."
"Iya, John, tapi besok jangan lupa dikembalikan ya?" Alden menyanggupi permintaan dari teman dekatnya yang bernama Johnny White itu.
"Oke, Bro." Johnny mengangguk dan mengulas senyum kecil. Terlihat jelas bila lelaki bertubuh atletis itu percaya pada seorang Alden Taylor yang dianggapnya sebagai mahasiswa cerdas di kampusnya itu.
Di saat yang sama, Tuan Hermsworth berujar, "Oke. sebagai PR, kalian bisa kerjakan latihan studi kasus di halaman empat puluh dua. Ditulis di kertas dan jangan lupa diberi nama lengkap serta nomor kemahasiswaan."
"Baik, Tuan Hermsworth," jawab seluruh mahasiswa dengan kompak.
Bersama dengan jawaban tersebut, bel pertanda kelas usai terdengar. Tuan Hermsworth pun menyudahi, "Baiklah. Sekian kelas statistik hari ini. Selamat siang."
Setelahnya, sebagian mahasiswa mulai mengemasi buku dan peralatan tulis yang terserak di meja, tak terkecuali Alden dan Johnny. Kemudian, mereka melangkah keluar ruangan, bersisian dan menelusuri lorong, tempat sejumlah orang berlalu-lalang.
"Kamu kerja setelah ini?" tanya Johnny sambil melirik Alden sekilas, memastikan bila temannya itu memiliki waktu senggang untuk bersantai. Sepertinya, Johnny memiliki rencana untuk mempelajari ulang materi statistika bersama dengan Alden, bila memang sempat.
"Hm, John. Tunggakan sewa apartemenku masih banyak. Kamu tahu sendiri 'kan," Alden menjawab dan memperjelas kondisinya yang tergolong cenderung sulit dalam hal uang dan kebutuhan sehari-hari.
"Ayahku, mungkin, punya bonus berlebih dari total penjualan cat di tokonya. Nanti, aku usahakan buat transfer uangnya ke rekeningmu. Tak usah khawatir diusir dari apartemen, Al." Johnny menawarkan bantuan secara impulsif.
Hal itu membuat Alden membulatkan kedua matanya dan bereaksi, "Kamu yakin? Tunggakannya lumayan banyak, John. Bukan hanya bulanan, tapi tahunan. Ratusan dollar mungkin engga akan lunas."
Laki-laki dengan iris mata keabuan itu mengangguk dan menanggapi, "Meski engga sampai jutaan dollar, setidaknya, aku niat bantu kamu. Engga perlu sungkan buat minta tolong ke aku, Al. Kita sudah berteman cukup lama bukan?"
"Iya, tapi, tetap aja, aku berhutang sama kamu, John." Alden menatap ke arah lain, merasa tak nyaman karena secara tidak langsung ia sudah merepotkan satu-satunya teman yang masih menghargai keberadaannya di kampus itu.
Johnny menggelengkan kepala dan menepuk bahu Alden pelan. "Soal itu, kamu tak usah terlalu mikir. Aku ikhlas bantu kamu, Al."
Di tengah obrolan keduanya, ponsel milik Johnny bergetar dari balik saku tasnya. Tanpa memeriksa nama pemanggil, lelaki berkulit putih itu langsung menjawab panggilan, "Ya?"
Tanpa mendengarkan obrolan yang dibahas oleh Johnny dan sang penelpon, Alden memilih untuk memeriksa papan pengumuman yang kebetulan berada di sekitar lorong, berdekatan dengan loker miliknya.
Beberapa menit kemudian, Johnny menhampiri Alden, menepuk bahunya pelan, dan berkata, "Aku duluan ya. Ada keperluan mendadak."
"Oke, John. Hati-hati di jalan." Adam menanggapi, menatap, serta melambaikan tangan seiring dengan berlalunya Johnny dari hadapannya.
Kemudian, saat ia telah selesai mencatat sedikit informasi penting dari papan pengumuman, Alden memutuskan untuk bergegas menuju tempat kerjanya. Akan tetapi, ketika ia tiba di area parkir motor, hinaan dari seseorang yang sangat terkenal di kampus terdengar jelas.
"Itu dia, si miskin Alden! Sungguh tidak tahu diri!" ucap Clint, laki-laki dengan rambut cokelat gelap yang mengenakan kaos polo, celana jeans levis, lengkap dengan rantai yang menghiasi bagian sabuknya.
Di saat itu juga, hinaan lain terdengar, "Sejak kapan Alden tahu diri? Dia selalu seperti itu, Clint. Faktanya, Dia bertahan di kampus ini karna beasiswa. Menyedihkan bukan?"
Mendengar hinaan-hinaan tersebut, Alden merasa jengkel, namun ia berusaha menahan diri. Ia paham betul bagaimana nasibnya bila sudah berurusan dengan Clint Martin dan Billy Clooney, anak-anak konglomerat yang memiliki kekuasaan lebih di Kota New York.
Dengan air muka datar sambil terdiam, Alden mulai merapikan jaket dan helm yang dikenakannya perlahan. Di waktu yang sama, Clint melangkah mendekat dan melontarkan hinaan lain, "Rupanya, dia cukup angkuh meski tak punya uang."
Setelahnya, Billy menyusul dan mulai menarik kerah jaket Alden seraya berkata, "Jangan seenaknya sendiri di kampus ini! Kamu tahu 'kan akibatnya apa?!"
Alden menatap wajah Billy dengan masam dan berujar, "Aku tak punya urusan denganmu, Billy."
"Siapa bilang tak punya urusan dengannya? Sekarang ini, kamu sudah berurusan bukan hanya dengan Billy, tapi juga denganku, Clint." Clint turut berkata-kata sambil menatap Alden dengan remeh. Baginya, merundung seorang Alden Taylor bukan lah hal yang membosankan. Hal tersebut merupakan makanan sehari-hari bagi dirinya dan sahabatnya, Billy.
"T-tapi, a-aku, sibuk. Aku harus bekerja setelah ini." Alden menjelaskan dengan terbata-bata. Keringat dingin mulai mengucur, membasahi wajah dan juga lehernya.
Akan tetapi, hal itu tak membuat Clive gentar dan mengurungkan niatnya. Masih dengan senyum miring terukir di wajah, ia melepas helm yang dikenakan oleh Alden dengan paksa. "Sorry, tapi kamu sungguh sudah menyinggung aku dan Billy."
"Menyinggung apa??" Alden tak memahami maksud dari ucapan lawan bicaranya itu.
"Tak perlu banyak bicara!" bentak Billy dengan kasar. Ia semakin menarik kerah baju dan jaket Alden dengan paksa hingga lelaki bertubuh kurus itu mau tak mau turun dari motor.
Tanpa berlama-lama, Clive dan Billy pun akhirnya menggiring Alden menuju gudang yang bertempat di belakang gedung kampus. Di tempat tersebut, Alden dipukuli oleh segerombolan preman yang sudah disewa oleh dua anak konglomerat itu.
Setelah puas, preman-preman itu menerima bayaran dari Clive dan Billy dengan senyum merekah. Bahkan, salah satu di antara mereka berujar, "Sering-sering memberikan pekerjaan sepele seperti ini. Aku dan anak-anak buahku akan sangat senang membantu."
Sementara itu, Alden, dalam kondisi babak belur, hanya bisa terbaring lemah. Ditambah lagi, ia menyadari bahwa ponselnya bergetar bersama dengan dering nada yang tak kunjung berhenti. Hal itu tentu membuatnya khawatir sekaligus takut, namun apa boleh buat? Kondisinya yang lemah membuatnya tak sanggup untuk berkata-kata di saat itu. Mungkin, ia akan menghubungi bos yang memperkerjakan dirinya nanti.
TO BE CONTINUED..