Di malam yang gelap, kediaman keluarga Wijaya sedang terjadi kekacauan besar. Kaca-kaca jendela telah pecah, barang-barang berserakan. Suasana terasa sangat mencekam.
“Ayah, Ibu!” Seorang anak kecil laki-laki menangis melihat ayah dan ibunya diseret dengan tidak manusiawi.
Beberapa orang mengelilingi ia dan orang tuanya. Mereka semua menggunakan pakaian serba hitam, serta topi yang menutupi kepala dan hanya memperlihatkan kedua mata mereka. Anak kecil itu dipegang oleh salah satu dari mereka sementara orang tuanya diikat menggunakan tali.
“Lepaskan kami! Apa salah kami sampai kalian berbuat seperti ini?” Ayah sang anak berkata dengan gemetar. Di sampingnya, sang istri menangis ketakutan.
Pria itu menyeringai, lalu melepas maskernya. Wajah yang familiar itu membuat mereka terhenyak. “Karena kau selalu unggul dariku. Kenapa nasibmu begitu baik?” Suaranya terdengar dingin, penuh dendam.
“Ve-Vedrik?”
“Paman!”
Ayah dan anak itu kompak berseru dengan gemetar.
Pria bernama Vedrik itu tersenyum. “Iya, ini aku, Kak Seto. Aku melakukan ini karena aku lah yang pantas mendapatkan semua ini! Dari dulu, kau selalu dibanggakan semua orang. Sekarang, semua orang hanya akan mengingat namamu setelah tiada.”
“Apa maksudmu, Vedrik? Aku ini Kakakmu! Aku yang telah membesarkanmu hingga menjadi sarjana!” Seto meraung, mencoba melepaskan ikatan di tangannya.
Vedrik tidak menjawab. Namun, bibirnya membentuk seringai tipis. Ia lalu mengambil jerigen berisi bensin dan menyebarkannya ke seluruh sudut rumah.
“Apa yang akan kamu lakukan?!” Seto kembali berteriak sebelum mulutnya ditutup dengan lakban.
Vedrik bersama para anak buahnya menyalakan korek api lalu mulai membakar rumah itu. Setelah itu, Vedrik tertawa dan kabur dari tempat kejadian diikuti oleh anak buahnya. Tentunya, mereka membawa semua harta berharga yang telah mereka rampas.
Namun, di tengah kobaran api yang melahap segalanya, mata anak kecil itu terpaku pada pemandangan mengerikan: orang tuanya... meregang nyawa di dalam api yang menyala-nyala. Jeritan terakhir mereka bagai belati yang menusuk jiwanya. Dengan sisa tenaga, ia berbalik, menembus asap tebal dan bara yang membakar.
Ia harus lari agar tidak menjadi abu bersama mereka.
“Huh! Mimpi itu lagi….” Seorang pemuda terbangun dari mimpinya dengan napas terengah-engah. Mimpi itu adalah potongan memori buruknya di masa lalu yang sering datang menghantuinya.
Tidak peduli seberapa keras ia mencoba, ia tidak akan pernah bisa melupakan kenangan buruk yang telah mengubah hidupnya.
Namanya adalah Lukas Wijaya. Seorang pemuda tampan, berkulit kecoklatan, dan gagah. Ia lalu bangkit dari ranjang lalu menatap kalender di dindingnya.
Ia mengambil spidol merah lalu memberi tanda silang pada tanggal hari ini. Ia tersenyum lalu menatap layar laptopnya di atas meja belajarnya. Di layar itu, tampak foto seseorang bersama profil pribadinya.
Lukas lalu mengambil handuk untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Setelah mandi, ia lalu memakai seragam sekolah. Tak lupa ia menggunakan kaca mata dan menyisir rambutnya seperti seorang anak yang culun.
Setelah selesai bersiap, ia mengambil tas ranselnya yang lusuh dan berlubang lalu keluar dari kamar kosnya yang kecil. Ia pun berangkat ke sekolah menggunakan sepeda yang sudah tua. Meskipun begitu, ia bisa datang tepat waktu ke sekolah dari pada teman-temannya yang menggunakan mobil terbaru.
Terlihat sebuah papan besar bertuliskan, “Eagle High School.” Sebuah Sekolah Menengah Atas elit yang kebanyakan siswanya adalah anak-anak orang kaya atau pejabat.
Ketika Lukas berjalan di lorong sekolah, sekelompok siswa menghadangnya. Salah satu dari mereka melangkah maju dan berkata, “Selamat pagi, Lukas.”
Bibir siswa itu menyeringai, rambutnya dicat abu-abu dan telinganya ditindik. Di dada siswa itu terdapat nametag bertuliskan “David Rolands”, ia merupakan ketua geng paling berpengaruh di sekolah. Di belakangnya, terdapat anggota gengnya yang berjumlah lima orang.
Geng mereka bernama Geng Notser.
“Ayo ikut kami, Lukas!” David menyeret Lukas melewati lorong. Para siswa lain yang berpapasan langsung membuang muka, seolah tak ingin terlibat. Tatapan takut mereka sudah cukup menjadi bukti bahwa tidak ada yang berani menentang David.
Lukas sendiri tidak melawan David. Ia seolah hanya pasrah saat dirinya dibawa ke gudang kosong yang terletak di belakang sekolah. Sesampainya di gudang, David menekan kepala Lukas hingga pria itu berlutut di lantai.
David kemudian berjongkok di depan Lukas dan berkata, “Lukas, apa kau sudah sarapan?”
Lukas menggeleng.
David menjentikkan jarinya. “Pas sekali!”
David mengulurkan tangannya lalu salah satu temannya memberikan sebuah kotak makan. Ia tersenyum seraya membuka kotak makan itu sebelum menyodorkannya kepada Lukas. “Ini sarapanmu pagi ini. Harus kau habiskan atau aku akan memberikan hukuman!”
Lukas menatap ke arah kotak makan itu yang berisi nasi basi. Tanpa protes, ia menerimanya dan mulai memakannya.
“Anak pintar!” David kemudian tertawa diikuti teman-temannya. Salah satu teman David menyalakan kameranya dan mulai merekam Lukas yang terus mengunyah nasi basi itu.
Di tengah suara tawa mereka, bel masuk berbunyi. David lalu berdiri dan berkata, “Habiskan sarapanmu sebelum masuk kelas! Perut yang kosong membuat otak susah mencerna.”
Mereka pun pergi meninggalkan Lukas sendirian di gudang kosong. Begitu langkah mereka tidak terdengar lagi, Lukas segera memuntahkan nasi basi hingga benar-benar tak tersisa di mulutnya.
Lukas lalu berdiri dan tersenyum tipis. Ia pun keluar dari gudang dan membuang kotak makan tadi ke tong sampah.
•••
Sepulang sekolah, Lukas memilih berjalan kaki dan meninggalkan sepeda tuanya parkiran sempit. Bahkan ia memilih berjalan melewati gang-gang sempit. Ia sengaja melakukan itu agar tidak ada yang mengikutinya sepulang sekolah.
Ia mempunyai tempat tujuan yang tak seorang pun boleh tahu. Di sebuah gang, Lukas berhenti lalu melepas kacamatanya. Ia juga memakai masker dan topi.
“Tolong! Tolong!” Suara itu menarik atensi Lukas. Ia pun melangkahkan kakinya menuju sumber suara, hingga ia melihat seorang wanita sedang mempertahankan tasnya yang ditarik oleh dua orang preman.
Lukas pun langsung berlari ke arah dua preman itu dan menendang kepala salah satu dari mereka. Seakan tak memberi kesempatan, Lukas lalu memukul rahang salah satunya. Mereka pun langsung melayangkan pukulan balasan ke arah Lukas.
Dengan gesit, Lukas menghalau pukulan mereka dan kembali melayangkan pukulan.
Bugh! Bugh!
Dalam waktu singkat, wajah kedua preman itu sudah babak belur. Saat Lukas ingin memberikan pukulan lagi, mereka langsung kabur dari tempat itu.
Lukas pun membenarkan kemejanya yang sedikit berantakan lalu tersenyum ke arah wanita yang ia tolong. Wanita itu pun membungkuk dan berucap, “Terima kasih, Nak. Jika tidak ada kamu, mungkin tas saya sudah dibawa pergi sama mereka.”
“Sama-sama, Bu. Saya pergi dulu.”
“Tunggu, Nak!” Wanita itu mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya dan hendak memberikannya kepada Lukas.
Namun, Lukas langsung menolaknya. “Tidak usah, Bu. Saya tulus membantu Anda.” Ia lalu bergegas pergi menuju tempat tujuannya.
“Syukurlah, zaman sekarang masih ada anak yang baik,” gumam wanita tersebut seraya menatap kepergian Lukas.
Setelah melewati gang-gang sempit, Lukas tiba di depan sebuah bangunan tiga lantai yang berdiri megah dan kokoh. Ia mengeluarkan sebuah kartu dan menempelkannya ke sebuah layar di sisi gerbang hingga gerbang itu terbuka lebar. Lukas pun masuk ke dalam bangunan itu yang langsung disambut dengan seluruh interiornya yang mewah—jauh dari kesan bangunan tersembunyi.
Ini adalah markas Agen Rahasia bernama Ghost Storm. Mereka adalah organisasi yang ditugaskan menangkap penjahat atau pelaku kriminal tingkat atas untuk ditangkap atau bahkan dilenyapkan untuk memutus rantai kejahatannya.
Lukas lalu memasuki lift dan naik ke lantai tiga atau lantai paling atas. Sesampainya di lantai tiga, ia pun memasuki sebuah ruangan yang luas dan terdapat banyak kursi.
“Akhirnya kamu datang juga, Lukas!” Seorang pria berkacamata menyambutnya.
“Siapa targetku kali ini, Leo?” sahut Lukas seraya melemparkan tasnya ke salah satu kursi.
Pria yang dipanggil Leo itu pun memberikan sebuah dokumen. Lukas segera membaca keterangan di dalam dokumen tersebut.
“Namanya Edo, kaki tangan pamanmu. Kamu harus menangkapnya dan membawanya ke sini dan mengeksekusinya,” ujar Leo.
Tanpa berkomentar, Lukas mengangguk. “Aku setuju.”