Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Akhir Perjalanan Heru, Menjaga Asa di Puncak Andara

Akhir Perjalanan Heru, Menjaga Asa di Puncak Andara

Tian Di | Bersambung
Jumlah kata
63.2K
Popular
170
Subscribe
44
Novel / Akhir Perjalanan Heru, Menjaga Asa di Puncak Andara
Akhir Perjalanan Heru, Menjaga Asa di Puncak Andara

Akhir Perjalanan Heru, Menjaga Asa di Puncak Andara

Tian Di| Bersambung
Jumlah Kata
63.2K
Popular
170
Subscribe
44
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifePertualanganUrbanDarah Muda
Hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Bagi sebagian orang, hidup terasa terlalu berat untuk dijalani—dan Heru adalah salah satunya. Di Gunung Andara, tempat para pendaki mencari keindahan, Heru justru mencari akhir. Namun sebuah peristiwa tak terduga memaksanya bertindak—bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi menyelamatkan orang lain. Dalam perjalanannya melawan luka, kehilangan, dan rasa putus asa, Heru perlahan menemukan sesuatu yang tak pernah ia duga: alasan untuk tetap hidup. Sebuah kisah tentang kehilangan arah, tentang keputusan di titik nadir, dan tentang harapan yang muncul di tempat paling tak terduga.
Bab 1

Bab 1

“Hah! Tidak!” Heru mendadak terbangun, napasnya terengah-engah seperti baru saja tenggelam. Keringat dingin mengalir di wajahnya yang pucat.

“Akhirnya kamu bangun, Le.”

Heru menoleh, sosok pria paruh baya pemilik base camp Gunung Andara berjalan mendekatinya.

“Masih belum bosen nyoba mati?” Suara itu kembali terdengar, tenang dan ramah. “Sudah berapa kali? Dua kali? Tiga kali?”

Heru tidak menjawab, dia menunduk, melihat pergelangan tangannya yang sudah dibalut dengan perban.

“Tadi petugas medis yang menutup lukanya. Katanya kalo kamu mau mati nyayatnya jangan pakai silet.”

Heru menatap pria tersebut dengan kebingungan.

“Kurang dalam, ya? Nanti lain kali saya coba pakai golok, Pak. Biar sekalian.”

Jawaban Heru sontak membuat Pak Atma terkejut. “Kamu ngga sekalian nyemplung ke kawah Andara?”

Pemuda itu menarik napas pelan, lalu bergumama, “Niatnya begitu. Tapi ngga pernah kesampaian.”

Pak Atma duduk di samping Heru, mengambil kotak rokok dari dalam sakunya dan menyodorkannya ke Heru. “Rokok?”

“Terima kasih.” Heru mengambil sebatang dan menyulutnya.

Untuk sejenak, keheningan mengisi ruangan tersebut sebelum akhirnya Pak Atma kembali bersuara. “Jadi, ini sudah berapa kali?”

“Kalau di Andara 17 kali, Pak.”

“17 kali tapi belum mati?” Pak Atma melotot. “Tuhan sayang sama kamu.”

Heru ingin tertawa, tetapi tidak bisa. Di mana letak kasih sayang Tuhan jika hidupnya selama ini sangat berantakan?

“Kalau sayang hidup saya ngga akan begini, Pak.”

Pak Atma mengisap rokoknya dalam-dalam. Asap berwarna putih perlahan keluar dari mulutnya.

“Lalu mau hidup yang seperti apa? Mau yang bergelimang harta? Punya istri cantik? Kerjaan mapan?”

Heru terdiam. Benar. Hidup seperti apa yang dia inginkan? Selama ini dia bahkan tidak pernah bertanya pada dirinya sendiri, hidup seperti apa yang dia inginkan. Pemuda itu mengangkat kepalanya. “Saya ingin tenang, Pak. Oleh karena itu saya mau mati.”

“Memang kalau mati kamu langsung tenang?” Pak Atma kembali mengisap rokoknya. “Kalo kamu jadi arwah gentayangan gimana? Hidup tidak tenang, mati juga tidak tenang.”

Pemuda itu kembali terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Pak Atma.

Sementara itu, melihat Heru yang terdiam, Pak Atma kembali berbicara. “Jika kamu ngga tau caranya, gampang.”

Heru langsung menoleh. “Bagaimana?”

“Bermanfaatlah bagi orang lain. Apa yang kamu berikan, Tuhan akan membalasnya, mungkin dengan kedamaian jiwa.”

“Caranya?”

Pak Atma kembali menarik napasnya. “Pikir sendiri.”

Pak Atma bangkit dan meninggalkan Heru sendirian.

Di dalam kamar sunyi ini, Heru kembali berpikir. Dia sudah berkali-kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Namun, semuanya gagal. Apakah benar jika ini karena Tuhan masih sayang kepadanya?

Setiap kali dia berusaha mengakhiri dirinya sendiri, akan ada orang yang datang untuk menolongnya. Hingga kejadian yang baru saja dialaminya sore kemarin.

Heru berdiri di lereng jurang Gunung Andara, melukai pergelangan tangan kirinya dengan silet. Darah mengucur deras. Dia terus berdiri diam di mulut jurang, berharap jika dia akan jatuh saat kehilangan kesadaran.

Namun, sebelum itu semua terjadi, dia mendengar seseorang berteriak minta tolong. Dua orang gadis berteriak minta tolong tak jauh dari tempat Heru berada. Ternyata salah satu dari gadis tersebut hampir terperosok jurang, sementara satu lainnya berjuang mati-matian memegangi temannya itu.

“Tolong!”

Heru melepas topinya dan melemparnya sembarangan. Pemuda itu berjongkok dan mengulurkan tangan kirinya.

“Aku sudah tidak kuat!” teriak gadis itu.

“Jangan menyerah!” Heru terus berusaha. Tangan kanannya berusaha meraih apa pun di sekitarnya sebagai pegangan.

“Tolong, aku belum mau mati!”

Heru menggertakkan giginya. “Tutup mulutmu kalau tidak ingin mati!”

Heru yang mulai kehabisan tenaga akhirnya nekad melepas pegangan di tangan kanannya dari rumput liar. Dia menyambar siku gadis itu, membuat setengah tubuhnya kini juga berada di jurang.

“Cari pijakan yang kuat!”

Heru merasa kakinya mulai tergelincir. Gadis ini cukup berat, atau karena tubuhnya yang sudah cukup lemah? Tangn kirinya yang terluka juga kehilangan cengkeramannya.

“Satu ... dua ... tiga!”

Heru menarik gadis itu dengan seluruh tenaganya. Meski dia tahu jika kemungkinan berhasilnya kecil, tapi dia juga tidak ingin diam saja.

Tuhan, beri aku kekuatan untuk menariknya sekali lagi.

Sekali lagi.

Sekali lagi.

“Argh!”

Perlahan tapi pasti gadis itu mulai terangkat. Heru terus menariknya hingga seluruh tubuh gadis itu berada di tempat aman. Gadis itu tampak ketakutan, tapi juga lega. Sementara temannya memeluk gadis itu begitu erat.

“Antika, gue takut banget.”

Antika membalas pelukan tersebut. “Gua juga, Ella. Gue takut banget. Makasih lo ngga ninggalin gue ya.”

“Mana mungkin gue setega itu?”

Antika dan Ella sepertinya menyadari sesuatu. Dia menoleh ke arah Heru yang terkapar di tanah.

“Ma-makasih, ya.”

Heru membuka matanya sebentar, napasnya tersengal. “Lain kali hati-hati, dong! Kalo jatuh gimana?”

Kedua gadis itu tidak menjawab, tampaknya takut dengan tatapan tajam pemuda yang baru saja menyelamatkan mereka.

Langit di puncak Andara berubah menjadi kelabu, suara gemuruh guntur mulai terdengar. Tampaknya, hujan akan segera turun.

Ella menatap jurang yang tak jauh darinya dengan tatapan kecewa. “Gimana nih? Peralatan kita jatuh semua.”

Heru yang baru saja selesai mengatur napas segera bangkit. “Kalo ngga ada tenda ya kita turun lah.”

Pemuda itu bergegas bangkit dan membersihkan rumput dan debu dari badannya. Luka di tangannya tertutup jaket hingga kedua gadis itu tidak menyadarinya.

“Kalo kita jalan stabil, dalam dua jam kita sampai di shelter. Kalo mau langsung turun juga paling tiga jam.”

“Oke, kita turun aja sekarang.”

Ella berdiri dan membantu Antika bangkit, tetapi Antika terlihat kesakian saat mencoba berdiri. “Aw! Kaki gue sakit.”

Heru menghela napas panjang. Kaki gadis itu pasti terluka saat jatuh tadi. Dia menatap langit yang semakin mendung.

“Oke, gue gendong aja.”

Tanpa basa-basi, pemuda itu segera berjongkok di depan Antika.

“Lo serius?”

“Kalo lo mau gue tinggal ngga masalah, diem aja di situ sampe lumutan.”

Dengan ragu-ragu, Antika akhirnya menurut. Dia segera menempel di punggung Heru dan melingkarkan tangannya di leher.

Mereka bertiga bergegas turun. Benar saja, sekitar lima belas menit mereka berjalan, gerimis mulai turun. Tidak begitu deras tapi cukup menyulitkan mereka. Untung saja mereka sudah melewati tempat-tempat yang curam dan membahayakan.

Seperti perkiraan Heru sebelumnya, mereka sudah sampai di base camp dalam tiga jam. Perjalanan bisa menjadi begitu cepat karena mereka tidak membawa barang bawaan. Heru yang sudah berkali-kali mendaki Andara juga tidak mengalami kesulitan meski membawa Antika bersamanya.

“Makasih, ya. Gue ngga tau kalo ngga ada lo nasib gue bakal gimana.”

Heru tidak menjawab. Dia menurunkan Antika dengan hati-hati. Beberapa orang ternyata sudah menunggu mereka karena ada sekelompok pendaki yang melaporkan jika ada dua teman mereka yang tertinggal.

“Antika, lo ngga papa?”

Salah satu pemuda segera menghampiri Antika saat melihat gadis itu digendong oleh Heru.

“Ella, lo baik-baik aja?”

Pemuda yang lain menghampiri Ella dengan cemas.

“Kita baik-baik aja, tapi maaf, ransel kita jatuh ke jurang, kamera lo juga jatuh, Ka. Maaf ya.”

“Keadaan genting begini lo masih mikirin kamera? Lo selamat aja gue udah bersyukur.”

Heru tidak ingin terlibat lebih jauh dengan orang-orang itu. Tugasnya sudah selesai dan hatinya menjadi lega. Meski kepalanya begitu sakit dan pandangannya menjadi buram, Heru berusaha berjalan memasuki base camp.

Darah terus mengucur dari luka di tangannya, menetes ke tanah yang disadari oleh rombongan Antika.

“Mas, kenapa?”

Heru terus berjalan memasuki camp. Tubuhnya gontai, tetapi perasaannya lega. Satu nyawa berhasil dia selamatkan. Sekali lagi, hidupnya terasa berarti, tetapi tubuhnya berkata lain.

Darah … oh iya … tanganku.

“Mas, kenapa.”

Heru menoleh, sebelum dia menjawab, semuanya menjadi gelap.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca