

Asap knalpot menyesakkan dada Zyan, bercampur dengan aroma kopi pahit yang menguar dari kedai di seberang jalan.
Ia mengendarai motor bututnya, melewati jalanan yang semakin ramai oleh kendaraan disekitarnya.
"Harus kuat," bisiknya, giginya mengatup. "Demi Jena. Demi masa depan yang lebih baik."
Jena. Nama itu adalah melodi indah yang selalu terngiang di benaknya. Ia juga ingin membanggakan kedua orang tuanya. Sosok yang selalu hadir dalam setiap langkahnya, meski raganya telah tiada.
Kilasan memori melintas ibunya tersenyum teduh, menggenggam tangannya erat. "Kamu bisa jadi apa saja, Nak. Jangan pernah menyerah. Ibu dan Ayah akan selalu mendukungmu."
Zyan menarik napas dalam-dalam. Ia memarkirkan motornya di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, seperti menantang langit.
Dua kotak berada di dalam tas ranselnya. Yang pertama, sebuah paket polos berwarna hitam.
Kotak kedua adalah pusaka peninggalan orang tuanya. Sebuah kotak kayu tua yang berisi kenangan dan sejarah keluarganya. Hari ini, ia berencana mengunjungi makam mereka setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Di lobi, seorang pria berjas hitam berdiri tegak, seperti patung yang menjaga pintu gerbang. Sorot matanya dingin dan menusuk, seolah bisa melihat menembus jiwanya.
"Kau kurir Kotak Hitam?" tanyanya, suaranya berat dan tanpa basa-basi.
"Benar," jawab Zyan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Tiba-tiba, kakinya kehilangan pijakan dan terjadi hal yang tidak diinginkannya.
Brakk!
Zyan jatuh tersungkur di depan pria berjas itu, seperti seorang pesakitan yang menghadap hakimnya. Kedua kotak itu terlepas dari tasnya, menggelinding di atas lantai marmer yang dingin.
Panik, Zyan berusaha memungut kotak-kotak itu secepat mungkin. Tanpa sadar, dalam keadaan kalut, ia memberikan kotak peninggalan orang tuanya kepada pria berjas itu. Kotak hitam yang seharusnya ia antarkan justru masuk kembali ke dalam tasnya, tersembunyi di antara barang-barangnya.
Pria berjas itu menerima kotak itu dengan tatapan curiga. Ia membuka kotak yang diterimanya, dengan gerakan cepat dan hati-hati. Matanya membelalak, mulutnya terbuka sedikit. Di dalamnya, sepasang pusaka kembar berkilauan ukiran rumit terpahat di permukaannya.
"Ini salah!" serunya, suaranya meninggi. "Hei, kurir! Tunggu!" Ia berusaha mengejar Zyan, tetapi Zyan sudah berlari keluar gedung, menghilang di tengah keramaian kota.
Zyan tidak mendengarnya. Ia berlari secepat mungkin, pikirannya hanya tertuju pada makam kedua orang tuanya.
Matahari mulai meredup, mewarnai langit dengan gradasi oranye dan ungu. Zyan tiba di pemakaman, tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya.
Ia berjongkok di depan pusara kedua orang tuanya, membersihkan nisan mereka dengan hati-hati. Ia menaburkan bunga di atasnya, bunga-bunga yang ia beli di pasar tadi pagi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, senyum yang menyimpan kesedihan dan kerinduan.
"Maaf, Ayah, Ibu, aku baru bisa datang," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku baik-baik saja. Aku bekerja keras untuk mewujudkan impian kalian. Aku harap kalian juga bahagia di sana, melihatku dari atas."
Ia mengeluarkan kotak dari tasnya dan meletakkannya di sampingnya. Kotak itu adalah simbol cintanya kepada kedua orang tuanya. "Ini kotak kenangan kalian. Aku janji akan menjaganya, sebaik mungkin. Aku akan menceritakan semua yang telah aku alami kepada anak cucuku nanti."
Zyan berdiri, melirik jam tangannya. Waktu sudah semakin larut. "Aku harus menemui Jena. Dia pasti sudah menunggu. Aku tidak ingin membuatnya khawatir."
Malam telah larut ketika Zyan duduk di sebuah kedai kopi yang terletak di pinggir jalan. Lampu temaram kedai menyoroti wajah lelahnya, memperjelas lingkaran hitam di bawah matanya.
Di hadapannya, duduk Jena Putri, gadis yang dicintainya.
"Mas Zyan, kamu kenapa?" tanya Jena lembut, menyentuh tangannya. "Wajahmu terlihat lelah sekali. Apa ada masalah di tempat kerja?"
"Hanya pengiriman aneh, Sayang," jawab Zyan, mencoba tersenyum. Ia menggenggam tangan Jena, merasakan kehangatan yang menenangkan.
Saat Zyan menceritakan harinya, hawa dingin aneh tiba-tiba menjalar dari tasnya. Ia teringat kotak hitam yang salah kirim itu. Ia harus segera mengembalikanny.
Tiba-tiba, rasa nyeri yang hebat menusuk kepalanya.
Ia mendengar bisikan-bisikan samar di benaknya. Suara kuno, seperti gema dari masa lalu.
Bola matanya tanpa sadar memancarkan kilauan aneh berwarna biru. Cahaya itu hanya berlangsung sesaat, tetapi cukup untuk membuat Jena terkejut.
"Mas! Matamu!" seru Jena, terkejut. "Tadi ada kilatan biru!"
"Mataku kenapa, Jena?" tanya Zyan panik. Ia meraba matanya, merasa takut dan bingung.
"Tadi ada kilatan aneh. Sebaiknya Mas Zyan pulang saja, ya," ucap Jena khawatir, menatap mata Zyan lekat-lekat.
Zyan terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Mungkin aku hanya terlalu lelah. Aku kurang tidur. Aku pamit dulu, ya."
Zyan bangkit dari kursinya. Ia memutuskan untuk tidak menceritakan soal kotak hitam itu kepada Jena.
Jena sedikit gugup dan khawatir kalau dirinya berhalusinasi telah melihat kilatan biru di mata Zyan.
Pukul 21:00 WIB. Zyan berjalan cepat menuju gedung tempat ia mengantarkan paket tadi. Ia harus mengembalikan Kotak Hitam itu.
Di kejauhan, ia melihat tiga pria berjas hitam berdiri di depan gedung itu. Mereka tampak gelisah dan cemas, seperti sedang menunggu seseorang.
"Kata bos, kotak asli ada padanya," ucap pria tinggi dengan nada cemas. "Kita harus merebutnya kembali. Jangan sampai kotak itu jatuh ke tangan yang salah."
"Benar," sahut pria berbadan besar. "Aku khawatir kalau kotak itu sampai terbuka, kita bisa dalam bahaya besar. Kita harus bertindak cepat." Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku masih kepikiran soal kasus kecelakaan rem blong di jalan tol itu. Seharusnya sudah selesai, kan? Kata bos, anak dari kedua pasangan itu masih hidup."
Pria pendek mengangguk pelan. "Bos bilang anak itu adalah anak dari korban pasangan yang kita tabrak mati hari itu. Aku sudah memeriksanya. Dia tinggal di dekat sini."
Zyan terpaku. Jantungnya berdegup kencang, seperti genderang perang. Amarah membakar dadanya, membuatnya merasa panas dan sesak.
"Jadi kalian pelakunya?!" Ia melangkah maju, matanya menyala penuh amarah. Ia tidak bisa menahan diri lagi.
Tiga pria itu menoleh, wajah mereka pucat pasi. Mereka mengepung Zyan, seperti serigala yang mengelilingi mangsanya.
Tanpa ampun, mereka menghajar Zyan hingga babak belur. Pukulan dan tendangan menghantam tubuhnya, membuatnya merasa sakit yang luar biasa. Ia terkapar di tanah, merasakan darah mengalir dari hidung dan mulutnya.
Di tengah kesadarannya yang menipis, Zyan mencengkeram erat kotak hitam itu. Ia tidak ingin melepaskannya, meskipun nyawanya menjadi taruhannya. Rasa perihnya menghilang, digantikan energi asing yang aneh. Kedua matanya memancarkan kilauan biru dingin, semakin terang dan kuat.
"Apa yang terjadi padaku?" bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Ia merasa ada kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya, kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.