Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pewaris Dadakan "Pusaka Merah Delima"

Pewaris Dadakan "Pusaka Merah Delima"

Inspirasi Kopi | Bersambung
Jumlah kata
147.5K
Popular
10.5K
Subscribe
552
Novel / Pewaris Dadakan "Pusaka Merah Delima"
Pewaris Dadakan "Pusaka Merah Delima"

Pewaris Dadakan "Pusaka Merah Delima"

Inspirasi Kopi| Bersambung
Jumlah Kata
147.5K
Popular
10.5K
Subscribe
552
Sinopsis
18+PerkotaanAksiNagaRajaPria Miskin
Rian, pengamen jalanan yatim piatu, adalah sampah di mata dunia. Tubuh krempengnya adalah samsak hidup bagi para preman, dan nasibnya tampaknya akan berakhir di selokan. Suatu sore, setelah dihajar hingga sekarat, Rian dilempar ke jurang. Dia pasrah... ...Namun, takdir punya rencana lain. Darahnya menetes, meresap ke akar pohon, dan membangunkan pusaka terlarang: Batu Merah Delima. Rian terbangun tanpa luka. Tapi dia tidak sendirian. Sebuah suara kuno dan agung menggema di kepalanya. Suara Kuno & Agung: "Manusia... kau telah membangkitkanku. Sebagai Tuanku yang baru, apa perintahmu?" Rian yang bingung menelan ludah. "Keren! Naga sungguhan? Aku akan panggil kau... Naga Bonar!" Suara Kuno: "Apa?! kau menyamakan naga lagit sepertiku dengan nama pelawak rendagahn seperti itu?! dasar tuan bodoh!" Walau harus tahan kuping mendengar omelan "Naga Bonar" di kepalanya, hidup Rian berubah selamanya. Diwarisi ilmu silat tak tertandingi, kemampuan pengobatan ajaib, dan kejeniusan bisnis kuno, Rian kembali ke kota. Dari pengamen yang ditendang, dia bangkit untuk menendang balik. Balas dendam pada preman hanyalah pemanasan. Membangun kerajaan bisnis adalah tujuannya. Dan para wanita cantik yang dulu tak pernah meliriknya? Mereka akan segera memperebutkan sang "Dewa Merah Delima".
Bab 1 Tikus Yang Terpojok

Senja di kota ini tidak pernah membawa kedamaian. Hanya mengganti panasnya matahari dengan asap knalpot dan debu jalanan yang semakin pekat.

Di sudut trotoar yang remang-remang, di atas selembar kardus bekas, Rian baru saja duduk. Gitar kopong tuanya satu-satunya warisan yang dia punya tergeletak di sampingnya. Dia membungkuk, menuangkan seluruh isi kaleng biskuit bekas ke telapak tangannya yang kurus.

Napasnya masih sedikit terengah. Suara seraknya habis setelah bernyanyi lima jam nonstop.

Uang kertas lecek dan beberapa koin logam.

Dia menghitungnya dengan cepat, bibirnya bergerak tanpa suara. Total dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah.

"Sial..." desahnya pelan.

Uang itu harus dibagi tiga: bayar setoran kamar kos sempitnya yang sudah menunggak, makan malam mungkin sebungkus nasi dan satu tempe dan sisanya untuk hidup besok. Lagi-lagi, hitungannya tidak akan pernah cukup.

Rian baru saja akan memasukkan kembali uang itu ke sakunya ketika sebuah bayangan panjang jatuh menimpanya.

Bukan bayangan tiang listrik. Bayangan ini beraroma alkohol murah dan rokok kretek yang menusuk hidung.

Rian membeku. Dia tidak perlu mengangkat kepalanya untuk tahu siapa yang datang. Dia hafal suara tawa berat yang menyusul di detik berikutnya.

"Wah, wah... lihat siapa yang kita punya di sini. Tikus kecil kita lagi menghitung harta karun."

Itu suara Toro. Pemimpin preman yang menguasai area terminal dan trotoar tempatnya mengamen. Di belakangnya, berdiri dua pengikutnya, Bimo dan Udin, menyeringai dengan gigi kuning.

Insting Rian mengambil alih. Bukan insting melawan dia terlalu lemah untuk itu api insting untuk kabur.

Dalam satu gerakan panik, Rian menyambar gitarnya dan melompat berdiri. Dia mendorong tubuhnya ke samping, mencoba menyelinap melalui celah di antara Bimo dan dinding.

"Heh! mau lari kemana kau!" teriak Bimo.

Rian tidak menjawab. Dia berlari.

Jantungnya serasa mau meledak. Dia memacu kakinya yang kurus menyusuri gang sempit, melompati tumpukan sampah, dan menabrak pejalan kaki yang mengumpat. Suara tawa dan langkah kaki berat mengejarnya di belakang.

"Kejar dia, jangan sampai lolos!"

Rian tahu dia tidak akan menang adu lari. Tubuhnya yang krempeng dan kurang gizi adalah penjaranya sendiri. Setiap hari dia hanya makan sekali, kadang tidak sama sekali. Energi dari mana yang bisa dia harapkan?

Paru-parunya seperti terbakar. Napasnya memburu, terdengar seperti desisan menyakitkan. Kakinya mulai terasa seperti jeli.

Dia salah belok.

Dia seharusnya berlari ke arah pasar malam yang ramai, tapi dalam kepanikannya dia malah berlari ke arah proyek bangunan tua yang terbengkalai. Jalanan semakin sempit dan gelap.

Dan di depannya—jalan buntu.

Atau lebih tepatnya, sebuah jembatan kecil reyot yang melintasi saluran pembuangan raksasa yang kering—jurang buatan manusia sedalam belasan meter di tengah kota. Jembatan itu adalah satu-satunya jalan penghubung, dan di seberang sana hanya ada tembok tinggi.

Dia terpojok.

Rian berbalik, napasnya tersengal hebat, memegangi lututnya. Gitar kopongnya dia peluk erat di dada.

Toro, Bimo, dan Udin berjalan santai ke arahnya. Mereka tidak lagi berlari. Mereka menikmati pemandangan ini. Mereka mengepung Rian di mulut jembatan.

"Mau lari ke mana lagi, Tikus?" ejek Toro. Dia melangkah maju, tubuhnya yang gempal menghalangi satu-satunya jalan keluar Rian. "Sudah kubilang, kan? Kamu ngamen di wilayahku, kamu bayar setoran ke aku."

"Tolong, Bang..." Rian memohon, suaranya gemetar antara takut dan lelah. "Hasilnya nggak seberapa. Aku harus bayar kosan..."

"Halah! Bayar kosan!" Bimo tertawa mengejek. "Kosan tikus kayak kamu paling cuma bayar pakai nyanyi!"

"Serahin uangnya baik-baik, Yan," kata Toro, nadanya berubah dingin. Dia menadahkan tangannya. "Atau gitar bututmu itu yang kami patahkan."

Mata Rian membelalak ngeri. Gitar itu adalah satu-satunya hal yang menghubungkannya dengan masa lalu yang tak pernah dia kenal. Dia mundur selangkah, tubuhnya kini berada persis di tengah jembatan kecil itu.

"Nggak..." bisik Rian. Dia memeluk gitarnya lebih erat. Uang hasil ngamennya ada di saku celananya. Dia menggenggamnya erat. "Nggak, Bang. Ini buat makan."

Kekehannya adalah jawaban atas keputusasaan Rian.

"Masih keras kepala, ya?"

Toro memberi isyarat dengan dagunya. Udin, yang paling tinggi, maju selangkah.

Rian mencoba mundur, tapi tidak ada tempat lagi.

BUK!

Sebuah tinju yang cepat dan keras mendarat telak di ulu hatinya. Itu bukan pukulan penuh, hanya sebuah peringatan.

Rasa sakit yang tajam membuat seluruh udara di paru-paru Rian keluar. Dia terlipat menjadi dua, terbatuk hebat, matanya berair. Rasa asam langsung naik ke tenggorokannya. Gitarnya nyaris terlepas dari pegangannya.

"Itu baru peringatan pertama," geram Toro, mendekatkan wajahnya ke wajah Rian yang pucat. "Kasih uangnya sekarang. Atau pukulan berikutnya, kamu yang kami kasih ke jurang di bawahmu itu."

Rasa asam dari ulu hati yang dipukul naik ke tenggorokan Rian. Dia terbatuk, air liurnya menetes ke aspal jembatan yang kotor. Tapi dia tidak melepaskan genggamannya pada saku celana.

"Jangan... Bang... tolong... jangan..." rintihnya. Setiap kata terasa seperti duri di tenggorokannya yang terbakar. Ini bukan hanya soal uang. Ini soal harga dirinya yang terakhir, soal haknya untuk makan besok.

Toro mendengus, muak dengan perlawanan yang menyedihkan itu. "Kamu pilih cara yang susah, ya."

Dia menunjuk ke Bimo. "Ambil."

Bimo menyeringai dan maju, tangannya yang kasar langsung merogoh saku celana Rian. "Siniin, anjing!"

"JANGAN!"

Itu adalah teriakan yang lebih mirip pekikan putus asa. Didorong oleh refleks murni seorang yang terpojok, Rian mengayunkan tangannya yang bebas—tangan yang tidak memegang gitar—dan mendorong dada Bimo.

Itu bukan dorongan yang kuat. Tubuh kurang gizi Rian tidak punya tenaga. Tapi itu sangat tidak terduga.

Bimo, yang tidak menyangka "tikus" ini akan melawan, terhuyung satu langkah ke belakang.

Hening sejenak.

Mata Bimo membelalak, bukan karena sakit, tapi karena amarah. Wajahnya memerah. "Sialan! Berani ngelawan dia!"

Bagi mereka, ini adalah penghinaan terbesar. Seekor mangsa berani menggigit balik.

Kemarahan Toro meledak. "HAJAR DIA!"

Perintah itu memecah kesunyian.

Udin yang pertama bergerak. Dia menendang gitar di pelukan Rian.

KRAKK!

Suara retakan kayu yang memilukan terdengar. Gitar kopong itu hancur berkeping-keping di bawah sepatu bot Udin.

"TIDAAAK!" jerit Rian. Kehilangan gitarnya jauh lebih menyakitkan daripada pukulan di perutnya.

Tapi dia tidak punya waktu untuk berduka.

Pukulan kedua menghantam rahangnya, membuatnya terpelanting ke pagar jembatan. BUK! Tendangan Bimo mendarat di rusuknya. DHUK! Toro ikut menendang punggungnya.

Rian jatuh ke aspal. Dia tidak lagi melawan.

Dia hanya bisa pasrah.

Dia meringkuk, memeluk kepalanya dengan kedua lengan kurusnya, mencoba melindungi organ vitalnya seperti yang selalu dia lakukan. Tapi itu sia-sia.

Mereka mengeroyoknya secara membabi buta. Pukulan dan tendangan menghujani tubuhnya dari segala arah. Di punggung, di perut, di kaki, dan akhirnya, beberapa tendangan lolos mengenai kepalanya.

Rasa sakitnya begitu luar biasa hingga melampaui batas yang bisa dia proses. Semuanya menjadi satu kebisingan putih yang menenggelamkan. Dia bisa merasakan tulang rusuknya retak. Dia merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengalir dari hidung dan mulutnya.

Pandangannya mulai kabur. Suara tawa dan makian para preman itu terdengar seperti dari kejauhan.

Anehnya, di tengah kesakitan yang tak terperi itu, Rian merasa... damai.

Perjuangannya sudah berakhir. Tidak akan ada lagi rasa lapar. Tidak akan ada lagi rasa takut. Tidak akan ada lagi lari dari preman.

Air mata menetes dari sudut matanya, bercampur dengan darah dan debu. Tapi di bibirnya yang bengkak dan pecah, tersungging sebuah senyum tipis.

Dia tidak ingat wajah mereka. Orang tuanya meninggal saat dia terlalu kecil. Tapi dia ingat perasaan hangat saat dipeluk.

Ibu... Ayah... Rian datang. Tunggu Rian.

Dia pasrah pada kegelapan yang menyambutnya, pikirannya melayang ke tempat peristirahatan yang sudah lama dia dambakan. Tubuhnya berhenti bergerak, terkulai lemas di atas jembatan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca