Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Warisan Danyang Perawan

Warisan Danyang Perawan

darkcom | Bersambung
Jumlah kata
69.5K
Popular
766
Subscribe
253
Novel / Warisan Danyang Perawan
Warisan Danyang Perawan

Warisan Danyang Perawan

darkcom| Bersambung
Jumlah Kata
69.5K
Popular
766
Subscribe
253
Sinopsis
18+HorrorHorrorSpiritualPesugihan21+
Warisan Danyang Perawan, berkisah Agus yang menjadi penerus pesugihan turun temurun.
Bab 1 Umur 17 Tahun

Bab 1 Umur 17 Tahun

Ulang tahun ketujuh belas bagi Agus seharusnya jadi momen bahagia. Sejak sore, teman-teman sekolahnya datang ke apartemen kecil di Rawamangun. Mereka membawa kue tart sederhana, nasi tumpeng, dan sebuah speaker kecil untuk memutar lagu dangdut koplo. Tawa, gurauan, dan sedikit joget membuat malam itu ramai, walaupun ruangannya sempit.

Namun begitu semua teman pulang, rumah kembali sepi. Agus merebahkan diri di sofa dengan napas lega. Di satu sisi ia senang, di sisi lain ada kekosongan yang susah dijelaskan.

Sejak ibunya meninggal waktu ia masih SD, ulang tahun terasa hambar. Ayahnya sibuk di kampung, ia pun hanya bisa merayakan bersama teman sekolah. Malam itu pun sama saja.

Getar ponsel di meja memecah lamunannya. Nomor asing muncul di layar. Agus hampir saja mengabaikan, tapi dengan ragu ia mengangkat.

“Hallo?”

“Assalamualaikum, Gus...” Suara parau seorang perempuan.

“Waalaikum salam... Mbok Inem?” Agus langsung mengenali suara itu.

“Iya, Gus... ini Mbok. Bapakmu...” suara itu tercekat, “…Bapakmu sakit keras. Kamu harus pulang besok. Bapak ingin bertemu kamu segera.”

Agus sontak duduk. “Sakit keras gimana maksudnya? Kenapa bisa tiba-tiba?”

“Mbok tidak bisa jelaskan lewat telepon. Yang jelas, Bapakmu ingin bertemu. Cepat pulang, ya. Jangan sampai terlambat...”

Klik. Telepon terputus begitu saja.

Agus terdiam, menatap layar ponselnya yang kini gelap. Jantungnya berdetak keras, seolah memberi tanda bahwa hidupnya baru saja berbelok arah.

..

..

Kereta malam ke arah Jawa Tengah penuh sesak. Agus duduk dekat jendela, menatap gelapnya hamparan sawah yang kadang diterangi lampu petromaks dari gubuk. Suara roda kereta berderak monoton, tapi pikirannya berisik.

Ayahnya, Pranowo Wijaya, selama ini ia kenal sebagai petani dan saudagar sukses di desa. Tanahnya luas, panennya selalu melimpah, dan warga sekitar menghormatinya. Namun, sejak kecil, Agus sering merasa ada sisi misterius yang tak pernah ia mengerti.

Ia ingat larangan aneh dari ayahnya: jangan mendekat ke sumur tua di belakang rumah, jangan membawa teman menginap tanpa izin. Dulu ia mengira itu hanya pamali atau kebiasaan orang tua desa. Tapi mengingatnya lagi sekarang, semua itu seperti potongan teka-teki yang menunggu disatukan.

Angin malam menerobos masuk dari celah kaca. Agus menarik jaketnya rapat-rapat. Ia menatap bayangan wajahnya di kaca jendela, lalu bergumam pelan, “Sebenarnya apa yang terjadi dengan Bapak...?”

..

..

Subuh, kereta berhenti di stasiun kecil. Udara dingin menempel di kulit, jauh berbeda dengan panas Jakarta. Agus turun, menarik koper kecilnya, lalu mencari ojek untuk mengantarnya ke desa.

Jalanan masih lengang. Sepanjang perjalanan hanya terdengar suara jangkrik dan kokok ayam yang bersahut-sahutan. Kabut tipis menggantung di sawah, menutupi jalan setapak yang berliku.

Rumah keluarganya akhirnya tampak: bangunan joglo besar dengan genteng merah kusam dan halaman luas. Dari luar, rumah itu masih sama, tapi aura yang menyelimutinya membuat langkah Agus melambat. Ada kesan berat, seakan tembok tua itu menyimpan sesuatu yang enggan dibuka.

Di teras, Mbok Inem berdiri menunggu. Tubuhnya bungkuk, wajahnya letih, matanya sembab. Begitu Agus turun dari ojek, ia langsung menghampiri.

“Syukurlah kamu cepat datang, Gus. Ayo masuk, Bapakmu ingin bertemu.”

Agus mengangguk pelan. Begitu melangkah masuk, aroma obat bercampur samar dengan bau bunga sedap malam di ruang tamu menyeruak, membuat bulu kuduknya berdiri. Ruang tengah dipenuhi beberapa kerabat jauh yang duduk diam, wajah mereka muram. Tak ada yang bicara, seolah semuanya sedang menunggu sesuatu.

Pintu kamar utama terbuka sedikit. Dari dalam terdengar suara napas tersengal. Agus menelan ludah, lalu mendorong pintu itu pelan.

..

..

Di ranjang, Pranowo Wijaya terbaring lemah. Tubuhnya tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali Agus melihatnya. Wajahnya pucat, namun tatapannya masih sama seperti dulu: tajam, penuh wibawa.

“Pak...” Agus duduk di sisi ranjang, suaranya bergetar.

Pranowo menggerakkan tangannya perlahan, menggenggam jemari Agus. “Kamu sudah pulang, Gus...”

“Iya, Pak. Saya pulang begitu dengar kabar. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Pranowo menarik napas dalam-dalam. Sesaat kemudian, ia tersenyum tipis, meski tampak berat. “Tidak usah khawatir dulu. Aku hanya ingin melihat putraku... Sudah besar rupanya. Tujuh belas tahun, ya?”

Agus mengangguk. “Iya, Pak. Baru kemarin ulang tahun.”

“Selamat ulang tahun, Nak.” Suara Pranowo parau, tapi hangat. “Maaf... aku tidak bisa berada di sana untuk merayakan.”

Agus menunduk. Ada perasaan campur aduk, rindu, canggung, sekaligus takut. Ia ingin bertanya banyak hal, tapi kata-katanya tertahan.

Pranowo mengelus kepala anaknya sebentar. “Istirahatlah dulu. Perjalanan jauh pasti melelahkan. Besok pagi... ada hal penting yang harus kita bicarakan. Hal yang harus kamu dengar.”

Agus tertegun. “Hal penting apa, Pak?”

Pranowo menutup mata, wajahnya lelah. “Besok saja. Malam ini aku butuh tenang.”

Agus ingin mendesak, tapi melihat ayahnya hampir tak berdaya, ia mengurungkan niat. Ia hanya duduk beberapa menit lagi, lalu bangkit dan menutup pintu kamar pelan-pelan.

..

..

Malam itu, Agus sulit tidur. Ia berbaring di kamar lamanya yang sudah lama ia tinggalkan. Poster-poster lama masih menempel di dinding, tapi warnanya pudar. Di luar, suara jangkrik dan katak bersahutan, menambah rasa asing.

Pikirannya tak bisa diam. Apa sebenarnya yang ingin ayahnya sampaikan besok? Kenapa harus menunggu?

Tiba-tiba, suara anjing menggonggong panjang terdengar dari arah belakang rumah. Satu ekor, lalu disusul yang lain, seakan saling sahut. Gonggongan itu bukan gonggongan biasa panjang, parau, menyeramkan.

Agus langsung bangkit duduk di ranjang. Bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke jendela, menatap pekatnya malam. Suara anjing itu terus berlanjut, lalu mendadak hening seketika, meninggalkan kesunyian yang lebih menakutkan.

Agus menahan napas. Di dalam hatinya, ia tahu: besok, hidupnya tidak akan sama lagi.

..

..

Matahari baru saja naik ketika ayam jago di halaman belakang berkokok panjang. Udara pagi di desa terasa dingin, menusuk tulang, membuat Agus menggeliat di ranjang dengan kepala masih berat. Malam tadi ia tidur tidak nyenyak, bayangan gonggongan anjing terus menghantui.

Ia bangkit, menyingkap tirai jendela. Cahaya matahari menyinari halaman luas yang dipenuhi pepohonan kelapa dan mangga. Semua terlihat biasa, tapi rasa asing masih menggelayuti.

Di ruang tengah, Mbok Inem sudah sibuk menyiapkan sarapan. Aroma nasi hangat bercampur ayam goreng memenuhi udara. Agus duduk tanpa banyak bicara. Tangannya meraih segelas teh panas, tapi matanya tak lepas dari pintu kamar ayah yang masih tertutup.

Tak lama, pintu itu terbuka. Pranowo Wijaya muncul, dipapah pelan oleh seorang kerabat. Tubuhnya masih ringkih, wajahnya pucat, namun sorot matanya tetap kuat.

“Gus, ayo ke kamar sebentar,” katanya lirih.

Agus segera berdiri dan mengikutinya masuk.

⚠⚠⚠⚠⚠

Update jam 22.00 WIB

Baca juga karyaku lainnya

1. Apa Cinta Harus Setara? (genre = Coming of Age❤️‍🔥)

2. Mafia Cyber (genre = Cyber Thriller☠️)

3. Warisan Danyang Perawan (genre = Horror Mystery👿)

Salam Penulis,

darkcom

⚠⚠⚠⚠⚠

Lanjut membaca
Lanjut membaca