Langkah Davin terdengar pelan di koridor megah yang dipenuhi suara tawa, parfum mahal, dan sepatu-sepatu mengilap. Seragamnya memang sama—putih abu-abu khas St. Avem High School. Tapi entah bagaimana, setiap mata yang menatapnya selalu bisa membedakan, dia bukan bagian dari dunia ini.
“Lihat tuh, si beasiswa datang.”
Bisik-bisik itu sudah jadi latar belakang hidupnya. Tidak pernah benar-benar berhenti. Sejak hari pertama ia menjejakkan kaki di St. Avem High School, sekolah khusus anak-anak elit, Davin sudah tahu: tempat ini bukan untuknya.
Ia bukan dari keluarga konglomerat, bukan pewaris bisnis jutaan dolar. Davin Alvaro hanya seorang anak dari pedagang keliling dan juga petani yang masuk ke sekolah elit ini karena beasiswa penuh. Itu pun lebih karena keberuntungan daripada keajaiban.
Dan keberuntungan seperti itu… selalu dibayar mahal.
Davin terus melangkah dengan kepala sedikit menunduk, tangan memeluk buku-buku pelajaran yang dipinjami perpustakaan. Kacamatanya agak longgar, bingkainya sudah disolder ulang oleh ayahnya—satu-satunya cara agar tidak patah total.
“Hei, hati-hati dong!” teriak seseorang dari kejauhan.
Davin mendongak, tetapi sudah terlambat.
Seseorang dengan sengaja mengulurkan kakinya. Sepatu kulit mahal menyodok dari sisi kanan. Davin kehilangan keseimbangan.
Brukk!
Tubuhnya terhantam keras ke lantai marmer yang licin. Buku-bukunya terlempar. Tasnya terbuka. Bekal makan siangnya terjatuh. Sebutir telur rebus terguling pelan dan berhenti di bawah kaki seseorang.
Crack.
Remuk.
Telur itu hancur diinjak oleh sepatu kulit bermerek yang tak minta maaf.
“HAHAHA! Gokil, sumpah!” tawa bergema memenuhi koridor. "Telur bulat meluncur. Cusss."
Tak satu pun dari mereka peduli dengan bekal sederhana yang kini berceceran seperti martabatnya.
“Astaga, dia jatuh beneran!” sahut suara lain diiringi cekikikan. Tawa itu meledak, disusul oleh yang lain. Suara tepuk tangan dan siul-siulan memenuhi koridor.
Apa yang lucu? Tidak ada.
Davin tidak bergerak. Bukan karena sakit, tapi karena ia sudah terlalu terbiasa. Ia mengepalkan tangan, menahan diri agar tak memaki.
Langkah kaki mendekat. Lalu terdengar suara yang tak asing—sombong, tajam, dan menyebalkan.
“Sudah punya empat mata,” ujar Kevin Arthawijaya, pewaris yayasan sekolah dan raja tak resmi di antara para siswa kaya, “masih saja tidak bisa lihat jalan dengan benar.”
Tawa kembali meledak. Tidak hanya dari teman sekelompok Kevin, tapi dari beberapa siswa yang bahkan tak tahu kenapa mereka tertawa. Di sekolah ini, kalau yang kaya menertawakan sesuatu, maka yang lain akan ikut. Bahkan meski tidak lucu.
Davin bangkit perlahan. Ia tak menjawab. Diam adalah senjata terbaik yang ia miliki. Yang ia lakukan adalah meraih buku-bukunya. Tangannya gemetar sedikit, tapi wajahnya tetap datar. Hatinya sudah terlalu kebal untuk sakit.
Reynaldi, salah satu pengikut setia Kevin, menendang bukunya dengan sengaja. "Ck! Tidak seru. Masa hanya diam. Dasar pecundang!"
Davin menahan diri agar tidak terpancing. Ia harus lulus dari sekolah ini. Salah satu caranya adalah bertahan.
"Ugh, kasihan... " teriak seorang gadis dari sudut koridor. Liora Hapsari, si ratu drama sekolah yang selalu haus perhatian. "Telur rebus kini sudah jadi telur dadar,” ucap gadis itu sambil terkekeh geli.
Tepat saat itu, sebuah tangan muncul di hadapan Davin.
“Ayo, berdiri.”
Davin mengangkat kepala. Moana. Gadis berkacamata bulat itu selalu terlihat tenang, walau selalu dijadikan sasaran ejekan. Sama seperti Davin, Moana juga bukan anak konglomerat. Dia masuk ke sekolah ini lewat beasiswa akademik, dan itu membuatnya “tidak pantas” berada di antara putra-putri keluarga elit.
“Terima kasih,” gumam Davin pelan.
Moana menariknya berdiri. Ia kemudian membungkuk, memunguti buku-buku Davin dengan tenang, mengabaikan tawa dan tatapan menghina dari sekitar.
“Oh, lihat merkea! Pasangan yang sangat serasi, bukan teman-teman?!” teriak Liora.
“Empat mata dan empat mata! Miskin dan cupu, kombo sempurna!” cibirnya diiringi tepuk tangan palsu dari para pengikutnya.
“Kenapa tidak sekalian menikah saja di kantin?” tambah seseorang yang tidak terlihat.
Davin memandangi Moana. Gadis itu menunduk, pipinya memerah. Tapi tangannya masih memegang bukunya erat.
Dia tidak menangis. Tidak seperti dulu. Moana sudah belajar menahan luka. Moana tersenyum tipis. Tapi Davin tahu jika matanya tak bisa menyembunyikan luka. Sama seperti Davin, ia telah lama terbiasa dilukai dengan kata-kata.
Moana menghela napas pelan. “Hari ini lebih ramai dari biasanya.”
“Sudahlah,” gumam Davin pelan. “Mereka memang butuh bahan tertawaan agar hidupnya tidak terlalu hampa.”
Moana tersenyum tipis. “Dan kita… bahan yang sempurna.”
Mereka melangkah pergi bersama, melewati tatapan sinis yang tak henti mengikuti mereka. Koridor yang seharusnya menjadi tempat belajar, terasa lebih seperti arena sirkus, tempat harga diri dipermainkan sesuka hati.
Davin menunduk saat mereka berjalan, bukan karena takut, tapi karena lelah. Ia ingin segera tiba di kelas, duduk di pojok, dan menghilang.
Namun dalam hatinya, sesuatu mulai tumbuh. Bukan kesedihan. Tapi… amarah. Dendam. Dan tekad.
Seseorang seperti Kevin, Liora, atau Reynaldi mungkin tak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi seperti dirinya. Tapi suatu hari… ya, suatu hari mereka akan tahu rasanya jatuh. Dan saat hari itu tiba, Davin akan berdiri, menyaksikan mereka dari atas.
Dia tidak akan lagi menunduk di hadapan mereka.
Suatu hari, merekalah yang akan menunduk kepadanya.
Dan saat itu, tidak akan ada tangan yang ia ulurkan. Tidak seperti yang Moana lakukan padanya hari ini.