Namaku Akram.
Aku hanya remaja biasa yang tinggal di rumah kecil di ujung gang sempit, di pinggiran kota yang sepi. Tubuhku kurus, kurus sekali sampai-sampai orang sering mengira aku sakit. Mataku rabun parah, dan kacamata tebal yang kupakai sudah retak di sisi kiri, membuat pandanganku sering kabur sebelah. Tapi aku masih bisa melihat cukup jelas untuk menyaksikan bagaimana dunia memperlakukan orang sepertiku.
Setiap pagi, aku berangkat ke sekolah mengenakan sepatu sobek di bagian depan. Kaos kakiku sudah tak lagi berpasangan, dan seragamku penuh tambalan. Tapi aku tetap berjalan dengan kepala tegak. Bukan karena aku bangga, tapi karena jika aku menunduk, orang akan berpikir aku menyerah. Dan aku belum menyerah. Belum.
---
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika aku tiba di sekolah. Aku sengaja datang lebih awal agar bisa masuk kelas sebelum Ryan dan gengnya datang. Tapi seperti biasa, mereka selalu lebih pagi dari niat baikku.
“Woy, kaca pembesar udah dateng!” teriak suara yang sangat kukenal.
Ryan. Sosok yang selalu berada di tengah-tengah perhatian. Tinggi, atletis, rambutnya klimis dan sepatu barunya selalu bersih. Ia dikelilingi dua temannya, Dito dan Miko, yang tidak kalah menyebalkan.
Aku berusaha tidak menoleh. Tapi langkah kakiku menjadi lebih cepat, hampir berlari menuju ruang kelas.
“Eh, Kram! Pelan-pelan dong, nanti sobek sepatumu makin lebar!” Tawa mereka menggema.
Telingaku panas. Aku pura-pura tak mendengar dan masuk kelas. Aku duduk di bangku paling belakang, tempat favoritku. Dari sini, aku bisa mengamati semuanya tanpa harus terlihat.
---
Pelajaran pertama adalah Matematika. Bu Rini masuk dengan tumpukan soal di tangan. Semua murid mengeluh pelan. Tapi aku justru senang. Angka-angka membuatku lupa sebentar tentang kenyataan.
Tapi tak lama, suara berisik datang dari tengah kelas.
“Bu, si Akram nggak bisa liat soal tuh! Kacamatanya udah kayak jendela retak!”
Semua tertawa. Bu Rini menoleh ke arahku, lalu diam. Ia tidak membela. Tidak menegur. Ia hanya... diam. Seperti semua orang.
Aku menunduk.
---
Saat istirahat, aku tidak ke kantin. Aku tahu aku tidak akan beli apa-apa. Aku duduk di bangku taman belakang sekolah, membuka bekal dari rumah: sepotong tempe goreng dan nasi putih yang sudah dingin. Tidak ada lauk, tidak ada sambal. Tapi itu sudah lebih dari cukup.
Sambil makan, aku menulis sesuatu di buku kecil yang selalu kubawa. Bukan catatan pelajaran. Tapi cerita. Cerita tentang seorang anak miskin yang tidak pernah menyerah, walau dunia terus menendangnya ke bawah.
---
“Eh, dia nulis apa tuh? Jangan-jangan curhat ke Tuhan!”
Aku kaget. Suara itu datang dari belakangku. Ryan.
Sebelum aku sempat menyembunyikan bukuku, dia sudah merebutnya dari tanganku.
“‘Namaku Akram. Aku miskin. Aku ingin jadi kaya biar semua orang berhenti menginjakku.’ Hahaha! Serius lo nulis ginian?”
Aku mencoba merebut kembali bukuku, tapi Dito mendorongku jatuh. Bukuku dilempar ke kolam kecil di taman sekolah.
Tertawa. Mereka tertawa. Lagi-lagi tertawa. Sementara aku terduduk di tanah, menatap air kolam yang beriak ringan. Bukuku mengambang, halaman-halamannya basah dan tinta tulisanku perlahan memudar.
---
Hari itu terasa sangat panjang. Saat bel pulang berbunyi, aku berjalan cepat keluar sekolah, menuruni trotoar sempit menuju rumah. Jalanan ramai, tapi di kepalaku hanya ada satu hal: ibu.
Rumahku hanya berjarak 20 menit jalan kaki dari sekolah. Sebuah rumah semi-permanen berdinding tripleks dan genteng bocor. Di dalam, ibuku terbaring lemah di atas kasur tipis yang langsung menyentuh lantai.
“Ibu… aku pulang,” bisikku pelan.
Wajahnya pucat. Tubuhnya makin kurus. Suhu badannya naik lagi. Aku sentuh dahinya—panas. Terlalu panas.
“Sudah… makan?” tanyaku, mencoba tersenyum.
Dia menggeleng pelan. “Nggak lapar… kamu aja, Nak.”
Aku tahu dia bohong. Dia selalu bilang begitu. Seolah tubuhnya bisa bertahan dengan air dan doa saja. Tapi aku juga tahu dia melakukan itu untukku. Agar aku tak khawatir. Agar aku tetap kuat.
---
Malam itu hujan turun. Deras. Aku duduk di ruang tamu sambil mengganti pakaian. Sisa nasi dari pagi masih ada, aku panaskan dan kubagi dua: untukku dan ibu.
Setelah makan, aku duduk di bawah lampu temaram, menatap buku catatanku yang sudah kering meski sebagian halamannya rusak. Aku mulai menulis ulang. Kata demi kata. Kisahku sendiri, kutulis ulang, kali ini lebih jujur, lebih dalam.
"Aku tidak tahu kapan hidup ini akan berubah. Tapi aku tahu satu hal: jika aku berhenti sekarang, semuanya akan sia-sia. Jadi aku akan terus menulis, terus bertahan. Sampai dunia mulai mendengarkan."
---
Beberapa hari kemudian, aku coba membuka situs Max Novel dari warnet. Kupelajari bagaimana cara orang lain menulis dan membagikan cerita.
Lalu aku putuskan: aku akan unggah kisahku. Bukan untuk terkenal. Tapi untuk mencari kemungkinan. Sekecil apa pun itu.
Aku beri judul: “Langkah Kaki yang Terluka”.
Genre: Motivasi. Slice of life. Remaja.
---
Satu malam, saat aku sedang mengetik bab pertama di warnet dan jam menunjukkan pukul 10 malam, aku sadar waktu sudah terlalu larut. Aku buru-buru pulang.
Saat tiba di rumah, aku kaget melihat pintu sedikit terbuka.
Aku masuk pelan. Ibu sedang tidur. Tapi di ruang tamu, ada seseorang.
Pria asing. Duduk di kursi plastik kami. Wajahnya keras. Rambutnya cepak. Jaketnya gelap. Ada bekas luka panjang di pipinya.
“Aku tidak ingin menakutimu, Akram,” katanya perlahan.
Aku mundur satu langkah. “Siapa kamu?”
Dia tersenyum tipis. “Aku... adalah teman ayahmu. Dulu.”
“Ayahku...?”
Dia mengangguk. “Banyak yang tidak kamu tahu tentang dia. Dan sekarang, waktunya kamu tahu.”
Aku menatapnya lama. Jantungku berdetak cepat. Takut. Bingung. Tapi juga penasaran.
“Apa maksudmu?”
Dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas kecilnya. Sebuah amplop tebal. Di atasnya tertulis:
"Untuk Akram – Jika aku tak pernah pulang."
Aku menatap benda itu. Tanganku gemetar. Perlahan, aku mengambilnya.
---
Tapi sebelum aku sempat membuka, suara keras terdengar dari luar rumah. Sepeda motor. Banyak. Suara teriakan. Kaca dilempar. Suara ban terbakar.
Pria itu langsung berdiri.
“Cepat, simpan itu. Mereka sudah tahu aku ke sini!”
“Siapa?!” aku panik.
Dia menarikku ke belakang. “Jangan keluar. Lindungi ibumu. Jangan buka pintu sampai aku kembali. Dan jangan... jangan biarkan siapa pun mengambil amplop itu.”
Lalu dia keluar. Menutup pintu keras-keras.
Aku menatap ke arah ibu. Dia masih terlelap. Tak sadar apa pun.
Di luar, suara berisik makin dekat. Geng motor? Polisi? Atau... musuh ayahku?
Aku menatap amplop di tanganku.
Dunia yang selama ini kukira sudah cukup sulit... ternyata baru akan mulai memperlihatkan sisi tergelapnya.
---