

Langit Yogyakarta siang itu kelabu, menggantung berat seperti rahasia yang tak pernah sempat disampaikan. Jalanan basah oleh gerimis sisa hujan pagi, menyisakan udara dingin yang merayap ke kulit. Reno berjalan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Seragam SMA Kartini yang ia kenakan sudah agak kusut, ujung sepatunya becek. Tapi ia tak mempercepat langkah. Tidak ada yang menunggu dengan terburu-buru di rumah itu, kecuali diam.
Rumahnya berada di ujung gang, bangunan tua yang diwariskan turun-temurun, temboknya mulai retak dan catnya pudar. Tapi di dalamnya, ada satu suara yang selalu membuat Reno merasa tidak sepenuhnya sendiri, suara neneknya, Bu Sulastri.
Saat membuka pintu, ia melangkah pelan. Karpet di depan ruang tamu sudah usang, ada jejak lumpur yang tertinggal di sana. Ia melepas sepatu dan meletakkan tasnya di sudut rak yang mulai goyah.
“Ren?” Suara neneknya terdengar dari kamar. Serak, kecil, tapi cukup untuk membuat langkah Reno berubah menjadi lebih cepat.
“Iya, Nek.” jawabnya.
Kamar Bu Sulastri berada di sisi kanan rumah, jendela menghadap ke pohon mangga tua yang sudah jarang berbuah. Reno membuka pintu kamar pelan, dan seperti biasa, menemukan neneknya sedang berbaring. Tubuhnya kecil, rambutnya sepenuhnya putih, kulitnya keriput, tapi tatapannya hangat dan penuh kehidupan.
“Udah makan, Ren?” tanyanya, suaranya lemah namun tetap terdengar hangat.
Reno mengangguk. “Udah, Nek. Nenek sendiri?”
“Tadi makan roti sedikit. Tehnya udah dingin.” Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Reno tahu, itu artinya belum makan apa-apa sejak pagi. Tapi neneknya memang selalu begitu. Tak suka merepotkan. Tak suka mengeluh. Mungkin karena tahu, cucunya tak punya siapa-siapa lagi.
Reno duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan neneknya. Dingin. Ia mengusap pelan dengan ibu jarinya, mencoba memberi kehangatan yang bisa ia kumpulkan dari tubuhnya yang lelah. Mata neneknya mulai terpejam. Batuk kecil terdengar di sela keheningan. Reno menunduk.
Di luar, angin mulai bertiup pelan, meniupkan bau tanah basah yang masuk dari jendela. Rumah itu sunyi, tapi bukan kosong. Ada kenangan di tiap sudutnya. Ada luka yang tak sempat sembuh, dan ada cinta yang tak pernah diucapkan dengan lantang.
---
Malam menjelang. Reno duduk di meja belajarnya, lampu belajar menyala kuning lembut. Di hadapannya, terbuka buku cokelat bersampul kulit. Halamannya sudah penuh coretan puisi, potongan kalimat, catatan tanpa tanggal. Buku itu adalah peninggalan terakhir dari ibunya. Dulu, ibunya juga suka menulis. Reno tak ingat persis, tapi ia tahu, cinta pada kata-kata itu seperti warisan yang mengalir diam-diam dalam darahnya.
Ia menulis pelan.
"Di balik pintu yang tak pernah digedor
Aku menyimpan suara
Bukan untuk disampaikan
Tapi agar tidak hilang"
Ia berhenti. Memeluk hening. Lalu menulis lagi.
"Hari-hari berlalu seperti bayangan
Tak punya suara,
Tapi tetap membekas"
Ponselnya bergetar. Reno menoleh. Sebuah pesan dari Anya muncul di layar.
"Kamu nulis puisi lagi malam ini?”
Ia tersenyum kecil. Anya selalu tahu. Entah bagaimana, meski mereka jarang benar-benar bicara panjang, gadis itu seolah selalu bisa membaca pikirannya.
Anya Setyarini. Sahabat sejak kecil. Satu-satunya teman yang tetap tinggal ketika yang lain pergi. Mereka pernah satu kelas sejak kelas dua SD. Anya adalah orang pertama yang tahu saat Reno menangis diam-diam waktu orang tuanya dimakamkan. Dan sampai sekarang, Reno masih belum tahu bagaimana cara mengucapkan terima kasih.
Ia ingin membalas pesan itu. Ia bahkan sudah mengetik.
“Iya. Mau baca?”
Tapi ia tak pernah menekan tombol kirim. Entah kenapa, selalu ada jeda. Bukan karena tidak ingin berbagi, tapi karena takut kehilangan sunyi yang melindunginya.
Ponselnya diletakkan kembali ke meja. Reno mengambil pena dan menambahkan satu baris.
"Tak semua kata perlu dibaca.
Beberapa cukup tinggal di dada."
Di luar, hujan kembali turun. Rintiknya lembut, seperti suara bisik yang hanya bisa didengar oleh mereka yang benar-benar diam. Reno menutup bukunya dan menatap ke arah jendela. Lampu jalan memantul samar di kaca.
Kepalanya menyandar ke kursi. Ia memejamkan mata, mendengar suara batuk neneknya dari kamar sebelah. Pelan. Tapi cukup untuk membuatnya bangkit.
Ia membuatkan teh manis, lalu masuk ke kamar Bu Sulastri. Neneknya masih terjaga, meski matanya setengah tertutup.
“Tehnya, Nek,” katanya pelan, meletakkan gelas di atas meja kecil di samping ranjang.
Bu Sulastri membuka mata. Menatap Reno dengan pandangan yang penuh kasih sayang yang tak bisa diucapkan. “Terima kasih, Nak,” ucapnya pelan. “Kamu baik sekali.”
Reno hanya mengangguk. Tidak ada yang perlu dijawab. Ia hanya duduk di samping ranjang itu, memegang tangan neneknya sampai akhirnya suara napasnya melambat, menjadi lembut dan tenang. Tidur.
Saat Reno kembali ke kamarnya, malam sudah dalam. Rumah itu tenggelam dalam sunyi. Tapi bukan sunyi yang menakutkan, melainkan sunyi yang menghangatkan, seperti pelukan lama yang tak bisa diulang.
Ia membuka halaman belakang bukunya. Kosong. Lalu menulis.
"Aku tinggal di dunia kecil
Yang tak banyak suara
Tapi penuh makna
Karena di dalamnya,
Aku masih punya cinta"
Lampu kamar dimatikan. Tapi kata-kata itu tetap menyala di dalam kepalanya.
Dan di balik pintu yang tak pernah digedor, seorang anak lelaki bernama Reno terus bertahan. Dengan puisi. Dengan kenangan. Dengan diam yang penuh perasaan.