“Nak, hati-hati di sana, ya. Kamu tidak boleh melanggar apa pun yang sudah menjadi peraturan di sana dan taati aturan desanya. Lakukan tugas pekerjaanmu sebagai Dokter Kandungan di sana. Kalau ada yang tidak punya uang, bantu dia dan jangan minta uangnya!” Nana berpesan nada menekan kepadanya ketika hendak pergi bertugas di desa.
“Iya, Bu. Aku tidak akan melanggar apa pun di sana. Ibu tenang saja dan jangan khawatir, ya. Aku sudah menjadi pria dewasa dan bisa menjaga diri.”
“Ibu tahu, tapi kamu per—”
“Yang lalu biarlah berlalu, Bu. Aku sayang ibu dan ... pesawatnya sudah mau berangkat. Aku hubungi lagi kalau sudah sampai sana.”
“Iya, ibu tunggu. Kamu jangan meninggalkan kewajibanmu pada Allah dan kalung ini jangan lepas dari lehermu!” Nana berucap mengingatkannya berkali-kali kepada Aditya.
Tepat tanggal 2 Januari 2020, Aditya membawa semua pakaian, peralatan Dokter Kandungan dan apa pun yang dibutuhkan untuk pindah tugas di sebuah Desa Nantama yang terletak di Kota Tigel, Jowi Tanguh.
Aditya adalah seorang Dokter Kandungan yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah dan mendapat giliran bertugas keluar kota di desa yang kata orang merupakan desa yang banyak aturan, angker dan ritual persembahan.
Nana berkali-kali mengingatkan anak semata wayangnya ketika hendak pergi ke sebuah desa yang sangat terkenal angker dan mistisnya yang mencekam. Bahkan, dia juga tidak lupa mengingatkannya untuk salat.
Nana juga mengingatkan kepadanya bahwa kalung yang memiliki liontin berbentuk segi lima dengan intan berwarna merah harus tetap mengalung di lehernya. Kalung yang diberi oleh neneknya setelah disembuhkan dari makhluk tak kasat mata yang mengganggunya.
Selain Dokter Kandungan, ia adalah seorang anak yang pernah memukul ibunya hingga pingsan saat berusia satu tahun, kepekaan terhadap makhluk tak kasat mata disembuhkan oleh orang pintar bagi ibunya dan memiliki titisan ilmu paling kuat dari nenek buyutnya.
Aditya pindah tugas dengan dua orang temannya yang bernama Yasmin Anindi Putri dan Samudra Dian Sandono.
Yasmin membuka tas wanitanya yang tampak banyak persiapan yang dilakukan olehnya. Dia membawa bawang putih, lada putih, garam kasar dan halus dalam satu wadah bening.
“Kamu membawa segitu banyaknya buat apa, Yasmin?” tanya Aditya sambil terkekeh pelan dan menggeleng pelan.
“Buat persiapan. Kamu seharusnya juga membawa sepertiku karena kita tahu bahwa tempat kita bertugas bukan sembarang desa.” Yasmin berbisik dengan menampakkan wajah yang sedikit takut.
“Itu hanya mitos, Yasmin. Kamu jangan percaya begitu.” Aditya menyangkal perkataan Yasmin yang mengatakan bahwa desa yang akan menjadi tempat tugas mereka sangat angker dan menakutkan.
“Kamu tidak percaya adanya setan?” tanya Yasmin dengan intonasi penekanan.
“Aku percaya karena dalam Al-Quran pun tertulis bahwa adanya setan, jin dan iblis.” Aditya membalas santai pertanyaan Yasmin.
Tiga jam berlalu, perjalanan dari Rakarta menuju desa Nantama membutuhkan waktu yang sangat lama. Dari kota Tigel menuju Desa Nantama disuguhkan perjalanan yang tidak rata, berkelok-kelok, naik dan turun.
Aditya dan dua temannya tiba di Desa Nantama sekitar pukul setengah empat sore. Mereka disambut oleh beberapa orang warga Desa Nantama yang membawa dua buah wadah yang berisi sumber mata air dari gunung Soso dan lauk penyetan yang disuap oleh istri Lurah sebanyak sekali secara bergantian.
Aditya menghitung orang yang menyambutnya secara dalam hati dan terdapat tujuh orang yang datang menyambut. Aditya, Yasmin dan Samudra bersalaman kepada mereka secara bergantian.
Namun, saat Aditya hendak menyalami seorang pria yang menggunakan udeng, pakaian serba hitam, tatapan yang tajam dan menggunakan cincin akik, uluran tangannya tidak diterima secepat yang dilakukan kepada kedua temannya.
Pria itu membisu dan kedua pundaknya sedikit terangkat sambil menatap tajam kepadanya. Dia seakan melihat hantu yang berbahaya. Aditya menoleh ke arah dua temannya sembari mengangkat kedua pundak dan menggeleng pelan.
“Ah, Ki Sambodra Nulung Teso memang seperti itu, Mas orangnya. Dia terkejut saat kedatangan orang kota, apalagi dua Mas ganteng dan satu perempuan cantik dan manis,” kata Lurah lalu terkekeh garing sambil mengusap pundak Aditya dan Ki Sambodra.
Aditya dan kedua temannya belum bersalaman dengan Lurah dan istrinya. Kemudian, Aditya pun bergegas meraih tangan Ki Sambodra setelah dicairkan oleh Lurah.
Ki Sambodra memegang tengkuk sekilas lalu menepuk pundaknya sebanyak tiga kali.
“Panggil saja Pak Ali, Lurah desa ini. Istri saya namanya Dwi Atmojoyo.”
“Iya, Pak. Sebelumnya, saya minta maaf kalau belum bisa bahasa Jiwo dan ... bisa tolong untuk menggunakan bahasa negeri kita saja?” Aditya meminta kepada Ali dengan sopan sembari menatap tujuh orang yang ada di sekitarnya.
“Baik, Mas. Tenang saja, kita semua bisa bahasa apa pun, termasuk negeri ini,” balas Ali ramah.
Perkataan Ali disambung dengan tertawa enam orang yang menyambutnya. Ia pun ikut tertawa karena mereka tertawa dan tidak mengetahui penyebab mereka tertawa.
Netra Aditya menangkap Yasmin yang sedari tadi mengernyitkan dahi sembari memperhatikan tujuh orang warga desa sedang tertawa. Dia tampak takut saat melihat mereka tertawa.
Yasmin memiliki kepekaan terhadap makhluk tak kasat mata di sekitarnya dan firasat yang tajam terhadap sesuatu yang buruk akan terjadi kepadanya.
Surya melihat tidak ada yang aneh dan menakutkan di depannya. Cara mereka tertawa dan tersenyum adalah hal yang biasa dilakukan kebanyakan orang ketika menghargai ucapan dari setiap perkataan orang lain.
Atau mencairkan suasana yang sedari menegang untuk saling mengenal dan akrab satu sama lain.
Ekspresi Yasmin semakin terlihat ketakutan hingga memeluk diri sendiri dan memejamkan matanya dengan keringat yang bercucuran mengalir di pelipis ke pipi.
Aditya menepuk pundaknya pelan. “Ada apa, Yasmin? Yasmin buka matamu!”
Yasmin mendengar suara bariton Aditya yang khawatir dengannya sembari menggeleng cepat. Dia tidak ingin membuka matanya lalu tersentak dengan seruan kalimatnya yang membuka matanya.
Dia merasa tubuhnya digoyang-goyang kencang oleh Aditya, tetapi satu sisi suara itu terdengar samar seakan hanya mimpi.
“Buka matamu, Yasmin!” pekik Aditya.
Yasmin tersentak dan membuka matanya dengan lebar. Dia disuguhkan pandangan langit-langit yang terbuat dari kayu dan kipas angin yang berputar di atasnya.
Sontak, Yasmin terbangun dari tidurnya lalu duduk di sebuah kursi dan dikejutkan dengan sosok Aditya, Samudra dan Pak Ali yang duduk di seberangnya.
“Kenapa kalian memandangiku seperti itu? ada yang aneh denganku?” tanya Yasmin terbata-bata dan meringkuk di atas kursi sembari memeluk kaki.
“Ada apa denganmu tadi? Kenapa kamu pingsan? Kamu melihat apa?” tanya Aditya pelan.
Yasmin menurunkan kedua tangan dan kaki seraya menatap mereka satu per satu. Dia terlihat bingung untuk memulai pembicaraan saat terjadi kepadanya.
“Tidak apa,” jawab Yasmin singkat.
“Beneran?” tanya Samudra lembut.
“Ya. Di mana kita sekarang?” tanya Yasmin nada parno.
“Kita ada di rumah Pak Lurah, tetapi tidak tinggal satu rumah, melainkan bersebelahan.”
Yasmin terlihat memperhatikan sekitar dengan bibir yang sedikit terbuka. Dia hendak menceritakan sesuatu yang terjadi padanya dan saat merasa aman maka saatnya berbicara dengan temannya.
“Apakah kalian tidak merasa kalau warganya tadi bukan seperti manusia?” tanya Yasmin dengan intonasi penekanan dan mengecilkan suaranya.
“Tidak. Mereka sangat ramah menyambut kedatangan kita di desanya,” jawab Aditya sambil terkekeh pelan.
“Kamu salah lihat kali,” imbuh Samudra yang menentang pertanyaannya.
“Aku tidak salah lihat dan tertawa mereka sangat menyeramkan. Bibir mereka lebar sampai ke pipi!” sanggah Yasmin dengan intonasi penekanan sampai urat leher menonjol.