Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Mendadak Jadi Tour Guide

Mendadak Jadi Tour Guide

Arrana | Bersambung
Jumlah kata
151.7K
Popular
757
Subscribe
86
Novel / Mendadak Jadi Tour Guide
Mendadak Jadi Tour Guide

Mendadak Jadi Tour Guide

Arrana| Bersambung
Jumlah Kata
151.7K
Popular
757
Subscribe
86
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifePertualanganKonglomeratBalas Dendam
Terbangun dalam tubuh orang asing di pulau asing, Alexander Cokro Hadikusumo kehilangan segalanya—nama, kuasa, dan masa depan. Terkurung dalam kehidupan seorang tour guide miskin, Pria yang akrab disapa Xander tersebut harus menelan kenyataan pahit bahwa mantan kekasih dan keluarganya ternyata bersekongkol dalam tragedi hidupnya. Di tengah rencana balas dendam, cinta baru justru menuntunnya pada makna rumah yang sebenarnya.
Jatuh Dari Langit

Kota tak pernah tidur. Gedung-gedung menjulang seperti simbol kekuasaan yang tak mengenal batas waktu.

Dari balik jendela kaca penthouse lantai empat puluh, aku memandangi kelap-kelip lampu kota seperti gugusan bintang buatan manusia. Tidak ada suara selain detak jarum jam Swiss yang menandai betapa cepatnya waktu menggerogoti usia, ambisi, dan warisan.

Aku, Alexander Cokro Hadikusumo atau seperti yang tertulis di paspor diplomatikku "C. A. Hadikusumo", duduk sendiri dalam ruang kerja pribadi yang lebih sering terasa seperti penjara emas.

Sebagai pewaris tunggal keluarga Cokro Hadikusumo, kehidupanku sudah tertata rapi sejak kecil.

Setelah menamatkan studi di Inggris, aku memilih menetap di Singapura, pusat bisnis Asia Tenggara yang strategis sekaligus nyaman bagi kalangan ekspatriat dan elite.

Di sinilah aku mengelola sejumlah anak perusahaan CH Corp yang bergerak di bidang properti, teknologi, dan energi terbarukan.

Sebuah penthouse menghadap Marina Bay menjadi tempat tinggalku, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta dan tekanan politik keluarga besar. Singapura bukan hanya markas operasional tapi wilayah kekuasaanku.

Bar bourbon masih penuh. Buku-buku bisnis berjajar rapi tanpa pernah disentuh kembali. Dan layar laptop di hadapanku hanya menampilkan spreadsheet kosong yang menatapku kembali seperti cermin.

Warisan. Kata itu terdengar megah di luar tapi sebenarnya adalah kutukan yang dibungkus dasi sutra dan kontrak sah.

Sejak kecil aku dibesarkan bukan untuk menjadi manusia, melainkan hli waris.

Aku sudah menghafal neraca keuangan sebelum tahu arti kata cinta.

Aku juga menguasai negosiasi sebelum pernah tahu bagaimana cara meminta maaf.

Ayahku–Raden Mas Adrian Cokro Hadikusumo–saat ini terbaring lemah di rumah sakit. Tubuhnya dijaga alat dan hidupnya otomatis digantungkan pada mesin yang tak mengenal rasa itu.

Para dokter berkata kondisinya kritis, tapi stabil. Frasa paling hampa yang pernah kudengar dalam dunia medis yang mungkin lebih bisa kusebut dengan stabil menuju kematian.

Di antara rasa kehilangan yang belum datang sepenuhnya, ada rasa dingin lain yang lebih nyata yaitu tekanan dari keluarga. Terutama dari pihak pamanku, Winoto, dan anaknya yang mana adalah sepupu langsungku, Gerald.

“Gerald makin aktif di board meeting, Xander. Kau terlalu lama menyendiri.” Suara Tante Yunita tempo hari masih membekas di kepala.

Mereka tak pernah benar-benar menunggu. Bahkan ketika tubuh ayah belum sepenuhnya menyerah, namun mereka sudah bersaing seperti srigala yang haus darah.

Tapi bukan itu yang membuatku resah malam ini. Ada sesuatu yang yang tak bisa kuterjemahkan. Seperti sesuatu yang halus namun diam-diam menjebak.

Kukira, kehadiran Sofia akan memberi kehangatan karena iaadalah satu dari sedikit hal yang tampak normal dalam hidupku.

Cantik, elegan, lulusan Oxford, cucu Duta Besar. Kombinasi yang membuat namanya tak hanya cocok di kartu undangan pernikahan, tapi juga dalam lembar portofolio keluarga.

Namun belakangan, setiap kali aku menatap matanya, aku merasa seperti membaca laporan tahunan yang terlalu sempurna. Rapih, indah tapi juga terasa palsu.

“Xander,” katanya malam itu sambil menyentuh tanganku, “kamu harus istirahat. Pergilah sebentar. Ke tempat yang sunyi. Jauh dari semua tekanan ini.”

“Apa maksudmu?”

“Liburan. Sehari dua hari. Ke tempat yang tak ada sinyal. Reset semuanya. Termasuk pikiranmu.”

Aku menatapnya lama. Tak ada senyum tulus, hanya wajah yang dibentuk oleh pelatihan etiket dan diplomasi.

Saat itu, untuk pertama kalinya aku merasa Sofia mendorongku bukan demi kebaikanku, tapi demi sesuatu yang tersembunyi.

Aku tak langsung menjawab tapi malam itu juga, aku memutuskan untuk pergi. Tak mengatakan pada siapapun, tidak juga meminta sopir atau bodyguard untuk ikut. Aku ingin sendiri. Ingin merasa bebas, meski hanya beberapa jam.

Mobil Aston Martin yang biasa kugunakan untuk perjalanan bisnis terasa terlalu formal untuk liburan kali ini. Jadilah ku ambil Land Rover lama milik ayah yang sudah dikandangkan bertahun-tahun.

Kususuri jalan tol yang sepi menuju kawasan pinggiran kota di daerah pegunungan.

Aku memilih arah ke utara, ke kawasan Batang Kali, daerah berbukit yang masih masuk wilayah Malaysia tapi hanya dua jam dari pusat Singapura.

Aku dan ayah pernah mampir ke sana untuk melihat lokasi resort keluarga yang batal dibangun dulu. Sejak itulah, kami tak pernah lagi ke sana.

Dan mali ini aku ingin melihat kabut. Kabut dan pohon pinus serta suara jangkrik yang menggantikan semua kebisingan dunia yang kugenggam selama ini.

Angin malam pun bertiup kencang dan lagu-lagu klasik mengalun pelan dari speaker yang kunyalakan sejak mobil melaju keluar dari halaman rumah.

Aku menatap refleksi wajahku di kaca tengah. Masih muda, masih sehat tapi mataku terlihat sangat lelah. Seperti pria berusia lima puluhan yang terlalu lama pura-pura tangguh.

Pikiranku mengembara pada ayah yang mungkin tak akan pernah bangun lagi, pada Sofia, pada Gerald yang semakin agresif juga pada direksi yang diam-diam melirik kursi CEO.

Tapi kemudian...

Sesuatu terjadi.

Mobilku berguncang hebat. Suara letupan dari bawah membuatku refleks membanting setir ke kanan. Lalu ban depan meledak.

Sial!

Rem tak merespon saat jalanan menurun. Tikungan terlalu tajam, dan segalanya bergerak cepat sekaligus terasa melambat. Entah apa ini.

Lalu…

Tubrukan pertama menghantam batu pinggir jalan, membuatku terguling hingga satu, dua, tiga kali.

Brakkk…

Pintu terbuka, sabuk pengaman yang kukenakan robek. Tubuhku terlempar jauh ke dalam semak-semak hutan gelap. Dan perlahan semua menjadi gelap.

Tapi…

Samar-samar aku mendengar suara deburan ombak.

Lalu muncul yang lainnya, suara perempuan. Bukan Sofia. Bukan siapa pun dari dunia yang kukenal. Suaranya halus, dengan logat asing yang entah kenapa terasa begitu hangat.

"Putu...? Putu, bangun!"

Siapa itu Putu?

Aku mencoba membuka mata. Cahaya terlalu terang. Lengan kiriku terasa ringan bahkan rasanya terlalu ringan.

Lalu aku melihat tanganku. Kulit yang lebih gelap dan jari jemari yang lebih kurus.

Aku mencoba duduk lalu merasakan tubuh yang bukan milikku.

Napasku pendek. Pakaian yang ku kenakan bukan milikku. Bahkan napasku juga bukan milikku. Dan detak jantung ini, milik orang lain.

Cermin pun retak. Duniaku seketika berkabut.

Aku berteriak tanpa suara.

Siapa aku?

Dan, bukankah aku mengalami kecelakaan?

Dan... kemungkinan mati?

Aku menarik napa seraya mencoba bicara. Namun suara yang keluar bukan suaraku. Terdengar asing, serak dan lebih berat.

Gadis Bali berselendang tipis itu tampak familiar. Rambutnya digelung rapi dan ia menatapku dengan mata membulat.

"Kamu kenapa, Putu? Kamu mimpi buruk lagi, ya?"

Aku ingin menjawab, "Aku bukan Putu." Tapi lidahku kaku, dan logika butyar. Seperti terbangun dari mimpi yang terlalu nyata untuk disebut khayalan.

Dunia ini sungguh asing. Dinding bambu. Aroma dupa. Kain-kain putih tergantung di sudut kamar yang kutempati saat ini.

Langit-langitnya rendah. Tak ada marmer apalagi AC di dekat ventilasi. Hanya langit asri yang mengintip dari jendela terbuka.

Ya, aku berada di Bali. Terduduk dengan kebingungan.

Tubuh Putu bergetar. Namun bukan karena hawa dingin, melainkan karena jiwaku, jiwa asing yang terperangkap dalam hidup seseorang yang terus dipanggil Putu.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku yang panjang serta rumit dengan deretan penuh angka-angka, aku merasa kerdil sekali.

Lanjut membaca
Lanjut membaca