Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Reinkarnasi Ember

Reinkarnasi Ember

Ombob | Bersambung
Jumlah kata
83.3K
Popular
100
Subscribe
36
Novel / Reinkarnasi Ember
Reinkarnasi Ember

Reinkarnasi Ember

Ombob| Bersambung
Jumlah Kata
83.3K
Popular
100
Subscribe
36
Sinopsis
FantasiIsekaiReinkarnasiPahlawan
Dirga adalah pemuda biasa yang hidupnya tak pernah jauh dari kesialan sepele — sandal jepit putus saat hujan, nasi gosong karena lupa menekan tombol magic jar, sampai tersesat di jalan yang sama dua kali dalam seminggu. Tapi di antara semua kesialan itu, tak ada yang lebih parah dari pagi sialnya hari itu: sebuah ember bocor yang jatuh dari atap kosan, tepat mengenai kepalanya. Seketika gelap. Lalu sunyi. Ketika membuka mata, Dirga mendapati dirinya di dunia asing — langit berwarna ungu, rumput biru, dan seekor ayam bisa berbicara dengan sopan. Di hadapannya berdiri sosok dewa berpakaian aneh, tersenyum canggung sambil memegang catatan. > “Maaf, kematianmu terjadi karena kesalahan administrasi,” ucap sang dewa pelan. “Sebagai kompensasi, kau boleh memilih satu kekuatan untuk hidup barumu.” Sayangnya, dalam kepanikan dan kebingungan, Dirga hanya bergumam lirih, > “Asal jangan ember lagi…” Dan di situlah segalanya salah. Dewa itu salah dengar. Maka dimulailah kisah absurd seorang pemuda yang bereinkarnasi dengan kemampuan paling tak masuk akal di dunia fantasi: mengendalikan ember. Di dunia baru bernama Aurelia, Dirga hidup sebagai pemuda desa dengan kekuatan untuk memanggil dan mengubah bentuk ember sesuka hati. Ember-ember itu bisa menyerap sihir, menampung air suci, bahkan bicara — meski lebih sering mengeluh daripada membantu. Awalnya, Dirga hanya ingin hidup tenang sambil mencari cara kembali ke bumi. Namun dunia Aurelia sedang berada di ambang kehancuran: naga berkeliaran, para penyihir berebut tahta, dan ramalan kuno menyebut tentang “pahlawan dari langit” yang membawa simbol kehancuran berbentuk wadah perak. Tiba-tiba, semua mata tertuju padanya — para ksatria, penyihir, bahkan dewa-dewa yang dulu mengurus reinkarnasinya. Sementara Dirga hanya ingin memperbaiki ember penyok yang baru saja dipakai menangkis bola api naga. Namun perlahan, di balik semua kekonyolan dan kesialannya, Dirga mulai memahami sesuatu: kekuatan yang ia anggap lelucon itu menyimpan rahasia besar. Sebuah rahasia yang bisa mengubah nasib dunia. Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dirga harus berhenti mengeluh — dan belajar menjadi sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seorang pahlawan.
Bab 1 — Tiga Hari, Satu Ember, dan Seribu Alasan

Sudah tiga hari Dirga berjanji pada dirinya sendiri untuk memperbaiki ember bocor di kamar mandi.

Tiga hari.

Dan hasilnya? Ember itu masih di tempat yang sama—bocor di titik yang sama, dengan lakban hitam yang semakin menyerah menghadapi gravitasi.

Setiap kali menatap ember biru itu, Dirga selalu punya alasan baru.

“Besok aja lah.”

“Belum sempat.”

“Atap belum bocor parah, masih aman.”

Atau alasan favoritnya:

“Embernya juga kayaknya belum siap diperbaiki.”

Begitulah Dirga, manusia dengan kemampuan super untuk menunda segala sesuatu kecuali lapar.

---

Kosan tempatnya tinggal bernama Kosan Blok C, bangunan tua dua lantai di pinggiran kota yang cat dindingnya sudah berubah jadi teka-teki warna antara krem, abu-abu, dan jamur. Dari lima kamar di sana, empat sudah terisi oleh manusia-manusia tangguh yang bertahan hidup dengan gaji pas-pasan dan harapan yang menipis.

Dirga menempati kamar nomor tiga.

Kamarnya sederhana: kasur tipis, meja kecil dengan kipas angin yang bunyinya seperti helikopter rusak, dan rak buku yang lebih banyak menampung bungkus mi instan ketimbang buku sungguhan.

Tapi buat Dirga, itu sudah cukup. Ia tidak butuh banyak—hanya Wi-Fi stabil, makanan hangat, dan ember yang tidak bocor. Sayangnya, dari tiga hal itu, cuma satu yang bisa diandalkan, dan itu pun bukan ember.

---

“DIRGAAA! Air mati lagi, bro!”

Teriakan Jodi dari depan kamar membuat Dirga menoleh lesu.

“Yaudah, biarin aja. Air juga butuh istirahat.”

“Lo tuh kalo jadi air, pasti nggak ngalir. Mager banget!”

“Yah, kan biar selaras sama pemiliknya,” jawab Dirga santai.

Keduanya sudah terbiasa saling melempar humor receh sejak awal kos bareng. Jodi adalah teman sekamarnya yang paling berisik, tapi juga yang paling cepat panik kalau Wi-Fi mati.

Mereka berdua mirip: anak perantau dengan nasib pas-pasan, kerja serabutan sambil nunggu nasib jadi lebih baik—meskipun belum jelas kapan “lebih baik” itu akan datang.

---

Pagi di kosan selalu punya pola tetap.

Suara burung gereja ribut di genteng. Motor-motor tua batuk-batuk di halaman. Dari dapur umum tercium aroma mi instan yang terlalu direbus, dan dari ujung lorong terdengar suara ibu kos, Bu Rani, yang sedang menegur seseorang soal “uang listrik yang belum cair.”

Kosan Blok C seperti dunia kecil yang hidup dalam kekacauan teratur. Tidak ada yang benar-benar berfungsi sempurna, tapi entah kenapa, semuanya tetap berjalan.

Dirga keluar kamar sambil menggeliat. Kaosnya kusut, rambutnya berantakan, dan di tangannya ada gelas kopi sachet yang sudah lebih sering diisi ulang daripada dicuci.

Ia duduk di kursi plastik depan kamar, menatap langit yang mendung.

“Kadang gue mikir,” gumamnya, “kalau hidup punya tombol reset, gue pencet tiap Senin.”

---

Dari kamar sebelah, Jodi keluar sambil membawa rokok dan gitar murahan.

“Reset sih nggak ada, tapi bisa di-pause,” katanya.

“Caranya?”

“Tidur.”

“Masalahnya, pas bangun tetep miskin.”

Mereka berdua tertawa. Tawa yang entah kenapa, meski pahit, terasa menenangkan.

---

Sekitar jam sepuluh pagi, Dirga berangkat ke tempat magangnya—toko percetakan kecil di ujung jalan. Bosnya, Pak Santo, adalah pria baik hati dengan kesabaran tingkat dewa terhadap karyawan lemot seperti Dirga.

Pekerjaannya tidak sulit: mencetak brosur, mengatur tinta, dan menjaga agar printer tidak mogok. Tapi yang paling Dirga kuasai adalah menggulung kabel sambil terlihat sibuk.

“Dirga,” kata Pak Santo suatu pagi, “kalau mesin macet, jangan dipukul, ya. Mesin tuh kayak manusia. Kalau rusak, ditenangin dulu.”

Dirga mengangguk. Lima menit kemudian, printer mogok, dan hal pertama yang ia lakukan adalah… memukulnya.

Entah kenapa, berhasil.

“Lihat kan, Pak?” katanya bangga. “Kadang cinta butuh kekerasan.”

Pak Santo hanya menggeleng lelah.

---

Malamnya, Dirga kembali ke kos.

Hujan baru saja reda, aroma tanah basah menyelimuti halaman sempit. Jodi sedang duduk di depan kamar, menyalakan rokok, sementara di dalam dapur umum, Bu Rani sedang berdebat dengan penghuni lain tentang siapa yang nyolong sabun cuci piring.

Dirga lewat begitu saja, menaruh tas, lalu menatap ember bocornya lagi.

Tetesan air jatuh dari langit-langit kamar mandi, jatuh tepat ke dalam ember, menimbulkan suara pelan—tik… tik… tik…

Ia diam lama, lalu berucap pelan,

> “Gue beneran harus benerin lo, ya?”

Ember itu diam. Tapi entah kenapa, Dirga merasa seperti ditatap balik.

---

Keesokan harinya, kesialan datang seperti biasa: printer kantor macet, motor mogok di tengah jalan, dan saat makan siang, lauknya jatuh ke lantai sebelum sampai ke mulut.

“Kayaknya hidup gue dikutuk deh,” katanya pada Jodi saat malam.

“Lah, udah gue bilang. Karma dari ember lo itu. Udah bocor, tapi lo biarin.”

“Jadi maksud lo, ember itu sumber kesialan gue?”

“Bisa jadi. Lo pikir semua hal di dunia ini logis?”

Dirga terdiam. Ia tahu Jodi cuma bercanda, tapi ada sesuatu dalam kata-kata itu yang anehnya terasa… benar.

---

Hari-hari berikutnya berjalan sama.

Rutinitas yang membosankan, tagihan yang menumpuk, ember yang makin miring.

Namun malam itu berbeda.

Langit di atas kos tampak aneh—berwarna ungu lembut, seolah cahaya kota tergulung dalam kabut. Dirga yang sedang menyapu halaman kecil tiba-tiba melihat cahaya samar memantul dari embernya. Hanya sebentar, seperti pantulan petir jauh di awan.

Ia menatap, mendekat.

“...Aneh. Kok bisa nyala?”

Tapi sebelum sempat memeriksa, suara Bu Rani memecah keheningan.

“Dirga! Besok pagi bantu benerin pompa, ya! Jangan kabur lagi!”

“Siap, Bu!” jawabnya cepat.

Saat menoleh lagi, cahaya di ember sudah hilang.

Dirga menggeleng.

“Gue kurang tidur, fix.”

---

Malam itu, Dirga tidur lebih cepat dari biasanya. Tapi untuk pertama kalinya, mimpinya terasa aneh.

Ia melihat air yang berputar seperti spiral, dan di tengahnya, sebuah ember biru mengapung perlahan, memantulkan cahaya seperti logam perak.

Dari dalam air terdengar suara samar—pelan, tapi jelas:

> “Temukan aku.”

Dirga terbangun mendadak.

Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia menatap ember bocor di sudut kamar yang tetap diam dalam kegelapan.

Lalu, dengan suara serak, ia bergumam,

> “Serius, kalau ember itu mulai ngomong beneran, gue pindah kos.”

Keesokan harinya, Dirga bangun lebih pagi dari biasanya.

Bukan karena niat baik atau semangat hidup baru, tapi karena suara ayam tetangga yang seolah ikut lomba tarik napas tanpa henti sejak subuh.

Ia menatap langit-langit kamarnya yang retak halus, lalu menguap panjang.

“Setiap pagi gue berharap yang bangun bukan gue,” gumamnya.

Di pojok kamar, ember biru itu masih berdiri diam, menampung air dari atap yang bocor semalam. Lakbannya makin terkelupas, airnya menetes perlahan ke lantai, membuat genangan kecil yang membulat sempurna.

Dirga meliriknya. “Gue belum kalah, ya. Nanti sore, sumpah, gue perbaiki.”

Tapi ia sudah tahu, itu cuma janji keempat dalam minggu yang sama.

---

Setelah cuci muka dan berganti baju, Dirga berangkat kerja. Motor bututnya, si “Naga Hitam”, langsung batuk tiga kali sebelum mau nyala.

Setiap kali mesin itu hidup, Dirga merasa sedang menang melawan hukum fisika.

Jalanan kota ramai seperti biasa: anak sekolah, tukang ojek, pedagang sayur, dan satpam yang terlalu bersemangat meniup peluit. Di antara semua hiruk-pikuk itu, Dirga hanyalah satu dari ribuan manusia yang sedang mengejar sesuatu—walau dia sendiri nggak yakin apa yang dikejar.

“Kayaknya hidup gue kayak file .zip,” gumamnya di lampu merah, “banyak isinya, tapi dikompres terlalu keras.”

---

Di toko percetakan tempatnya magang, suasana tidak jauh berbeda. Mesin printer besar di sudut ruangan terus berdengung seperti dengusan monster lapar.

“Dirga!” panggil Pak Santo, bosnya, dari balik tumpukan kertas. “Kamu tolong cetakin yang 500 lembar itu, ya. Tapi hati-hati—jangan kayak kemarin.”

Dirga menegakkan badan. “Kemarin kenapa, Pak?”

“Kamu cetak 500 lembar... tapi semua kebalik.”

Dirga garuk kepala. “Tapi kalau dibaca dari belakang, bisa jadi perspektif baru, Pak.”

Pak Santo menatapnya lama. “Kadang saya bingung, kamu pintar atau licin.”

---

Waktu berjalan lambat di toko itu. Jam dinding terasa seperti menolak berpindah.

Dirga menatap tumpukan brosur berwarna, berpikir betapa ajaibnya manusia bisa bikin ribuan lembar kertas demi sesuatu yang sering kali dibuang setelah lima menit.

“Kerja keras, hasil tak seberapa,” gumamnya, “tapi tetap dijalani.”

Ia tersenyum tipis. Entah kenapa, di balik semua keluhan, ada rasa kecil dalam dirinya yang tetap mensyukuri hidup sederhana itu.

---

Malam tiba saat Dirga pulang ke kos. Hujan baru saja reda. Lampu jalan berkelap-kelip, memantulkan cahaya ke genangan air di halaman.

Jodi sudah duduk di depan kamar, memetik gitar sambil bersenandung lagu lama yang nadanya salah terus.

“Lo tuh kayak YouTube buffering,” komentar Dirga sambil lewat.

“Minimal gue masih muter, bro,” balas Jodi tanpa berhenti main.

Dirga nyengir. Ia membuka pintu kamarnya, menggantung jaket, lalu duduk di lantai sambil menatap ember biru yang kini berisi setengah air hujan.

Cahaya lampu redup memantul di permukaannya.

Tenang, tapi… aneh.

Untuk sesaat, Dirga merasa ada sesuatu di balik pantulan air itu—bayangan samar seperti simbol bulat, bergerak pelan lalu hilang.

Ia mengerjap.

“...Apa gue ngantuk?”

Dirga meraih gelas kopi sachet di meja, meneguknya sambil masih menatap ember.

Tetesan air dari atap jatuh lagi, tik… tik… tik, menciptakan ritme aneh yang terasa terlalu teratur.

Hening memenuhi kamar kecil itu.

“Besok deh gue betulin,” katanya akhirnya, menaruh gelas dan berbaring di kasur tipisnya.

“Kalau nggak, lo bisa bocor permanen, ember...”

Matanya perlahan tertutup.

Dan di tengah keheningan malam, suara air itu terdengar semakin pelan—seolah ikut berbisik:

> “Kita lihat saja… besok.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca