“Pak, bukain pintunya dong, udah telat ini.” Rama memelas pada satpam sekolahnya.
“Enak aja, siapa suruh telat!” balas satpam itu acuh tak acuh.
Rama berdecak, mencari jalan keluar sembari melihat sekitar. “Oh, jadi Bapak nggak mau bukain nih? Ya udah, gue laporin aja ke kepsek kalau Bapak ngerokok saat jam kerja.”
Satpam itu melotot kaget, lalu dengan cepat membukakan pintu untuk Rama. “Lo gak asik, Ram. Main ngelaporin, sana-sana masuk, nanti motor lo gue yang parkirin,” ucapnya panik.
Rama tertawa sembari melangkah menuju lapangan untuk mengikuti upacara yang diadakan setiap hari Senin. Setelah upacara berakhir, dia melangkah menuju kelas diikuti oleh kedua temannya.
“Widih, pentolan sekolah lagi jalan bareng nih,” ucap Adit.
Rama menoleh pada Adit dan bertanya, “Siapa?”
“Noh lihat si Sinta sama Erza, gue berasa lihat selebriti. Si cewek cakep, cowoknya juga cakep. Sama-sama berprestasi dan juga kaya raya, nggak kayak kita mau jajan aja ngutang dulu di warung.”
“Kita? Lo aja kali, gue mah ogah!” seru Denis seraya menyenggol bahu Adit.
“Udah-udah, sesama orang miskin nggak usah saling haus validasi, daripada ngurusin hidup orang mending lo berdua cepetan deh, bentar lagi masuk!” perintah Rama sembari menguap. Maklum saja, semalam dia lembur. Alhasil hanya tidur beberapa jam saja.
“Eh Ram, Sinta sama Erza ngapain jalan ke arah kita nih?” tanya Adit ketika melihat kedua sosok di depannya itu melangkah mendekat.
Rama mengernyit bingung, mengangkat bahu acuh tak acuh. “Mana gue tau, mau minta sumbangan kali.”
“Sembarangan, adanya lo yang diberi sumbangan!” Adit menepuk keras bahu Rama, membuat lelaki itu mendengkus kesal.
“Lo yang punya motor matic warna hijau itu?” tanya Sinta berdiri di hadapan Rama.
Adit dan Denis yang melihat gadis itu dari jarak dekat hanya melongo, bahkan membatin dalam hati jika gadis cantik ini benar-benar sangat harum, belum lagi postur tubuhnya yang semampai, entah siapa yang beruntung mendapatkannya.
Rama dengan gaya acuh tak acuhnya bertanya balik. “Kenapa?”
“Kendaraan lo halangi mobil gua, bisa nggak dipindah ke parkiran motor? Lagian lo markirnya di parkiran mobil, bukan tempat motor,” jawab Sinta seraya menunjuk ke arah objek yang jadi pembahasan mereka.
Rama yang melihat itu meringis, awas aja satpam kampret itu, akan diberi pelajaran karena mengisengi Rama. “Oke, gue pindahin sekarang.”
Rama yang hendak melangkah menuju parkiran langsung ditahan oleh Sinta. “Nggak usah, nanti aja pas pulang sekolah. Lagian lo juga mau ke kelas, ‘kan? Takutnya telat masuk.”
Rama mengernyit bingung, tapi tidak ingin berdebat. Dia hanya mengangguk sembari melangkah menuju kelasnya, diikuti oleh Adit dan Denis.
Setelah sampai di kelas, ternyata sang guru tidak masuk dikarenakan sedang sakit, alhasil mereka hanya diberi tugas mencatat.
Adit menatap ke arah Rama sembari berseru, “Gila! Lo bisa-bisanya diajak ngomong sama Sinta hanya perkara salah parkir motor, lagian kenapa sikap lo cuek banget sih, kapan lagi coba disamperin cewek cakep idola semua cowok di sekolah!”
“Tau nih, bukannya dimanfaatkan dengan baik, walaupun Sinta deket sama Erza, bukan berarti mereka udah jadian. Lagian menurut gue, lo juga cakep Ram, seharusnya gunakan kegantengan ini dengan menggaet ratu sekolah ini, mana tatapan si Sinta kayak dalem gitu lagi sama lo, kalau gue udah petantang-petenteng ditatap kayak gitu!” timpal Denis.
Rama meneguk air mineral yang ada di tangannya, setelah itu menatap kedua temannya. “Yang pertama, gue nggak suka cewek sombong dan manja. Poin kedua, dunia gue sama dia itu beda, gue perintis, bukan ahli waris. Lagi pula, lo berdua tau gue sukanya sama siapa.”
Adit dah dan Denis menganga mendengar itu, lalu setelahnya menggebrak meja sembari berseru kagum. “ Kelaz King! Angkat gue jadi murid lo, ini nih cowok sejati. Nggak silau akan kecantikan dan tetap milih gadis pilihannya!”
Adit dan Denis bertepuk tangan heboh, penghuni kelas yang sudah biasa melihat kelakuan mereka hanya menggeleng sembari mencatat.
Rama sudah jengah dengan kelakuan temannya, bangkit dari duduk dan melangkah menuju meja depan yang didominasi oleh perempuan.
“Kia, pulang sekolah jadi ke Perpustakaan Kota Verinda sama gue?” tanya Rama sembari duduk di samping gadis itu.
Kia mengangguk, wajahnya memerah ketika ditatap seperti itu oleh Rama. Walau lelaki ini berasal dari keluarga sederhana, tapi dia mempunyai kharisma yang tak bisa ditepis.
Siulan dari teman sekelasnya membuat Kia semakin menunduk.
“Sikat Ram, jangan sampai lolos. Jangan lupa nanti sore kerja ya Ram, biar bisa halalin Dedek Kia!” teriak Adit, membuat seisi kelas semakin menggoda mereka.
“Kak Rama diam-diam agresif ah, adek takut,” kelakar Denis membuat mereka semua yang ada di kelas tertawa, apalagi melihat gaya Denis yang menggoda Rama.
“Jangan dengerin mereka, otaknya pada geser kalo laper.”
Kia yang mendengar ucapan Rama sontak tertawa.
Setelah bel pulang sekolah, Rama dan Kiana berjalan beriringan menuju parkiran. “Lo suka baca buku apa selain self improvement?” tanya Rama memulai pembicaraan.
“Aku biasanya baca novel, sebenarnya aku juga nulis novel dan cerpen, beberapa waktu yang lalu juga udah gabung ke grup sosial media literasi gitu. Seru banget di sana. Mereka juga kadang pake jasa aku buat promosiin buku mereka, ” ujar Kia tersenyum lebar.
Kia memang bekerja sebagai admin medsos, dia juga membuka jasa promosi untuk novel. Tentunya semua itu untuk membantu keuangan keluarganya, apalagi dia mempunyai adik yang masih kecil.
Rama terlihat tertarik, dia tersenyum hangat menatap Kia dari samping, tutur kata gadis itu lembut dan sopan. Mungkin karena Kia juga berasal dari kota kecil. Jadi, dia masih menggunakan bahasa yang sedikit kaku.
“Oh, ya? Bagus dong, gue bangga dengarnya,” balas Rama.
Kia tersenyum malu, tapi gadis itu terlihat bingung ketika mereka sudah sampai di parkiran. “Ini bukannya parkiran mobil?”
“Iya, satpam depan itu ngerjain gue. Bukannya parkirin motor gue di tempat seharusnya, malah di sini.” Rama mengomel dan mengeluarkan motornya.
“Oh, lo udah dateng rupanya,” celetukan itu membuat Rama dan Kia menoleh, terlihat Sinta dan kedua temannya melangkah menuju mereka.
Kia terdiam, gadis itu merasa minder karena melihat sosok Sinta dan teman-temannya.
Alih-alih menanggapi ucapan Sinta, Rama justru menarik tangan Kia. “Ayo naik.”
Ekspresi Sinta terlihat tak suka, mungkin baru kali ini gadis itu mendapatkan perlakuan tak istimewa. Membuat egonya terusik.
“Sebagai pertanggungjawaban lo menghalangi mobil gue, bisa nggak keluarin mobil gue dari parkiran? Itu pun kalau lo bisa ngendarain mobil,” tantang Sinta seraya bersedekap dada.
“Yang bener aja Sin, mobil lo ini limited edition, hanya beberapa orang yang punya di kota ini. Jangan ngaco ah, ya kali dia bisa ngendarain mobil lo,” tegur Sandra selaku teman Sinta.
“Benar Sin, lagian dia mana pernah ngendarain mobil mewah begini. Dia aja ke sekolah pake motor butut,” kata Maya.
Rama yang mendengar itu mematikan motornya, lalu melangkah menuju Sinta. “Kunci mobil lo mana?”
Sinta tersenyum miring, lalu menyerahkannya pada Rama, membuat teman Sinta was-was, takut mobil seharga miliaran itu akan menabrak tembok atau pohon di depan sana.
Rama masuk ke dalam mobil itu, dengan santai memutar setir, mengoperasikan gigi mundur dengan gerakan presesi, matanya tak lepas dari spion dan celah sempit di antara mobil lain. Setelahnya dia mengeluarkan mobil mewah itu dari parkiran sempit dengan mulus.
Dia keluar sembari menyerahkan kunci mobil Sinta, terlihat gadis itu masih membeku melihatnya, dan kedua teman Sinta melongo dengan mulut terbuka.
Rama bersedekap dada sembari berkata, “Lain kali belajar cara parkirnya, jangan kayak orang baru punya mobil,” ucapnya sembari terlalu pergi.