Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kesayangan Keenam Kakak Cantik

Kesayangan Keenam Kakak Cantik

Pena Uni | Bersambung
Jumlah kata
201.0K
Popular
18.8K
Subscribe
735
Novel / Kesayangan Keenam Kakak Cantik
Kesayangan Keenam Kakak Cantik

Kesayangan Keenam Kakak Cantik

Pena Uni| Bersambung
Jumlah Kata
201.0K
Popular
18.8K
Subscribe
735
Sinopsis
18+PerkotaanAksiHaremKultivasiPria Dominan
Endra mengakhiri kultivasinya di gunung. Setelah kembali ke kota, dia terus dihina dan direndahkan oleh orang-orang. Kamu dewa perang? Maaf, kakak seperguruanku adalah pemimpin dewa perang; Kamu tabib genius? Maaf, kakak seperguruanku adalah pemilik akademi tabib; Kamu itu penguasa bela diri? Maaf, hampir satu perguruan bela diri itu milik kakak seperguruanku; Tapi, kenapa ada wanita muda yang terus-terusan mengejar dirinya? Harusnya tidak seperti ini!
Bab 1

Endra Angasta menatap sepasang kaki jenjang berbalut stoking hitam di depannya. Cahaya matahari pagi menembus sela-sela jendela pondok kayu kecil mereka, menimbulkan kilau halus di kulit putih yang tersamar kain tipis itu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya menahan, matanya menatap lurus tanpa berkedip.

“Ngapain melamun?” suara itu terdengar dingin, menuntut. “Cepat pijat, bagian atasnya.”

Endra tersentak, menatap paha sang guru perempuan. Tangannya yang sejak tadi hanya menempel pelan, bergerak sedikit, tapi ia menahan, menoleh ke arah wajah cantik yang menatap tajam padanya.

“B—boleh … lebih ke atas lagi?” tanyanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdegup kencang, seperti genderang perang yang ditabuh tanpa henti.

Tatapan wanita itu berubah menjadi kilatan kemarahan. “Bokongku yang sakit, bukan kakiku. Kau pijat kaki ini untuk apa?”

Endra menunduk dalam-dalam, mukanya memerah. “Aku … aku hanya .…”

“Hanya apa? Hanya ingin pegang-pegang kakiku?” nada suaranya terdengar menohok, sinis.

“Bukan begitu Bu Widya,” jawab Endra tergagap, menatap wajah gurunya dengan takut-takut. “Aku … aku cuma … kemarin Bu Widya jatuh tiba-tiba … aku khawatir .…”

Widya Mirani mendengus, matanya semakin tajam menatap Endra. “Jatuh tiba-tiba? Kau pikir aku bodoh? Jatuhku kemarin karena apa hah?!”

Endra menahan napas, matanya menghindar. “Aku … aku nggak sengaja Bu … aku cuma, khawatir penyakit dingin dalam tubuh Bu Widya kambuh kalau mandi air panas sendirian di luar, jadi … jadi aku—”

Endra tidak melanjutkan ucapannya, karena Widya segera menyela.

“Jadi kau mengintipku mandi?!” potong Widya dengan nada tinggi. Pipinya memerah, matanya berkilat menahan amarah dan rasa malu bercampur. “Endra Angasta, kau pikir alasan itu bisa kau pakai untuk membela diri?!”

“Bu Widya, aku beneran khawatir, sumpah, aku nggak berniat mengintip. Aku cuma … cuma, ya cuma khawatir .…” suaranya melemah, menahan rasa bersalah yang menyesak.

Widya Mirani menatapnya tajam. Mengingat kejadian kemarin, bagaimana Endra menatap tubuhnya tanpa sehelai benang pun, membuat pipinya makin panas. Tubuhnya waktu itu basah oleh uap air panas, rambut panjangnya terurai, menempel di pundak dan punggung. Dadanya berembun. Pinggangnya terekspos. Semuanya. Semua terlihat jelas oleh murid sialan itu.

Widya menahan napas, menahan rasa malu yang membuat dadanya bergetar. “Sudah lihat segalanya, sekarang cepat pijat. Jangan lama!” bentaknya pelan tapi tegas. “Atau kamu nggak mau?”

“Mau!” jawab Endra cepat, kepalanya menunduk lebih rendah. Dalam hati ia menjerit, ‘sepasang kaki seindah ini, seumur hidup pun aku tak akan bosan menyentuhnya.’

Tangannya bergerak pelan, naik menyentuh bagian atas paha, mendekati bokong yang tertutup rok ketat hitam. Saat ujung jarinya menekan titik di bawah bokong wanita itu, tubuhnya seperti kesetrum. Ia menahan napas, merasa wajahnya memanas sampai telinga.

“Aahh ….” desah pelan keluar dari bibir Widya Mirani. Tubuhnya bergetar kecil, matanya terpejam menahan sensasi hangat yang merambat cepat di antara otot-otot kaku. Pipi wanita itu memerah, napasnya tak beraturan.

“Ma … maaf, terlalu keras?” tanya Endra gugup.

Widya tak menjawab. Ia hanya menunduk dalam, menutup matanya, menikmati tekanan lembut di area yang sejak kemarin ngilu akibat benturan batu besar.

“Teruskan,” jawabnya pelan. Suaranya berat, napasnya bergetar di akhir kalimat.

Endra menuruti, memijat perlahan dengan tekanan melingkar. Ia menatap wajah gurunya diam-diam. Rambut panjang hitam itu tergerai menutupi pundak dan sebagian payudaranya. Wajah cantik itu memerah, bibir merahnya terbuka sedikit, menahan desah.

“Endra .…” suara itu pelan, nyaris tak terdengar.

“Ya?”

“Setelah ini, kamu akan turun gunung lagi?” tanya Widya Mirani tanpa menoleh. Suaranya bergetar, menahan rasa sepi yang tiba-tiba menyesak.

Endra Angasta menghentikan pijatannya, menatap punggung ramping di depannya. Rambut hitam panjang itu tergerai hingga menutupi bagian atas bokongnya. Ia menatap lekat-lekat, menahan rasa aneh yang muncul di dadanya. "Aku harus turun, Bu Widya. Organisasi Istana Dewa Malam butuh aku."

Widya Mirani menoleh setengah, matanya bertemu mata Endra Angasta. "Jangan panggil aku 'Bu Widya'."

Endra terkejut. “Tapi, sejak kecil aku memanggilmu begitu.”

“Sekarang aku bukan gurumu, bukan siapa-siapamu di sini,” ucapnya. Tatapannya menukik tajam. “Kau boleh panggil aku Widya saja.”

“Kalau gak boleh panggil Bu, aku panggil Widya saja, ya? Widya, seperti itu?” Endra Angasta mengulang nama itu, perlahan, seakan mengecap madu di lidahnya. Suaranya berat dan dalam. Mendengar itu, tubuh Widya Mirani bergetar, pipinya merona hebat.

Hening menelan mereka untuk beberapa saat. Angin pegunungan masuk melalui celah jendela, membuat helaian rambut Widya menari pelan. Endra Angasta menatap wanita itu, mengingat pertemuan pertama mereka.

Saat itu ia berusia enam belas, baru turun gunung setelah belasan tahun hidup di hutan. Lima tahun kemudian, ia sudah mendirikan organisasi Istana Dewa Malam, menguasai dunia bawah tanah, hingga menghancurkan Menara Langit Agung yang menguasai Asia Timur selama satu dekade. Saat ia membunuh Penguasa Menara Langit Agung hanya dengan satu jurus, seluruh dunia kriminal gemetar mendengar namanya.

Tapi, setiap pembunuhan membuatnya kehilangan kendali atas naluri haus darahnya. Tangannya menodai ratusan nyawa, dan jiwanya perlahan retak. Sang guru pun menjemputnya kembali ke gunung, lalu memberikan metode pengobatan yang tak pernah ia sangka, menggunakan seorang wanita untuk menenangkan jiwanya.

Wanita itu adalah Widya Mirani.

Sejak itu, sang guru menghilang tanpa kabar. Endra Angasta sempat menolak, tapi tiga tahun bersama wanita cantik ini mengubah segalanya. Ia menyadari bahwa Widya Mirani hanya tujuh tahun lebih tua darinya. Kulitnya putih, tubuhnya indah, wajahnya nyaris sempurna, idaman banyak pria. Dan setiap harinya, saat ia membuka mata, wanita itu selalu ada untuknya.

Tahun pertama, Widya membantu menahan aura haus darahnya. Tahun kedua dan ketiga, justru dia yang dimanjakan Endra Angasta. Wanita itu dimasakkan, dicucikan baju, bahkan dirawatnya saat sakit. Perlahan, aura haus darah Endra pun menghilang, tergantikan kehangatan yang menenangkan semua orang di dekatnya.

Widya Mirani menatap Endra, matanya berkaca-kaca. “Kau tahu, dulu ayahku menyerahkanku pada gurumu karena penyakit dingin ini. Aku … aku membencinya, menahanku di gunung begini.”

Endra menatapnya dalam diam.

“Tapi sekarang, aku tidak menyesal.”

Hati Endra Angasta terasa ditusuk sesuatu. Ia menelan ludah. “Aku … aku sudah memeriksa meridianmu. Penyakit dinginmu sudah separuh sembuh.”

Widya menunduk, menahan senyum pahit. “Separuh sembuh tak ada gunanya, Endra. Kau tahu, hanya ada satu cara untuk menyembuhkannya total.” ia menatap tubuh kekar Endra dengan tatapan penuh arti.

Endra menatap wanita itu dengan serius. “Apa pun caranya, aku akan lakukan, Widya. Tolong katakan bagaimana caranya?”

Wajah Widya merah padam ingin bicara tapi urung ia lakukan dan berkata, “Nanti saja aku bilang.”

Kemudian Widya mengeluarkan selembar undangan pernikahan. “Ini adalah perjanjian pernikahan yang telah ditentukan dua puluh tahun lalu oleh tua Bangka itu.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca