Bab 1: Diusir Sebelum Ulang Tahun Istri
Tik ... tik ... tik ...
Gerimis turun pelan dari langit malam yang kelabu, membasahi aspal jalanan yang menghitam di bawah sorot lampu jalan. Raka memelankan laju motor bebek tuanya yang sudah sering batuk-batuk itu. Mesin menggeram pelan, lalu mendengus berat saat ia menarik rem di tikungan terakhir menuju kompleks perumahan elit Cipete.
Dedaunan pohon trembesi bergoyang pelan ditiup angin lembab. Cahaya kuning dari lampu taman memantul di jalan basah, membentuk bayangan samar dirinya—lelaki kurus berjaket lusuh dengan helm penuh baret. Di jok belakang motornya, ada kantong plastik putih yang dibungkus rapi. Di dalamnya: sebuah kue ulang tahun kecil, lapis cokelat sederhana, yang ia beli dengan sisa uang kerja serabutan selama seminggu terakhir.
Tangannya menggenggam erat stang motor, gemetar. Bukan karena udara dingin, tapi karena kegugupan yang membekukan.
"Selamat ulang tahun, Sayang ... maaf kue-nya nggak seberapa, tapi aku sayang kamu ... selamanya."
Ia menggumamkan kalimat itu lagi. Lagi dan lagi. Seperti mantra pelipur resah. Seperti satu-satunya pelindung rapuh saat ia hendak masuk ke sarang singa.
Motor berhenti dengan desahan terakhir di depan rumah dua lantai bergaya kolonial. Pilar-pilar putih menjulang angkuh di balik pagar hitam berlapis emas. Halaman depan bersih, rumput terpangkas rapi. Aroma bunga melati dari taman kecil ikut terseret angin. Raka menarik napas panjang, mengusap wajahnya yang basah oleh hujan, lalu mengetuk gerbang besi perlahan.
Tidak langsung ada jawaban. Tapi beberapa detik kemudian, daun gerbang berderit pelan.
Ciiiit ...
Dari balik pagar, muncul wajah Reno—adik iparnya. Rambut disisir belah pinggir, wajah bersih dengan ekspresi sinis yang langsung menyembul saat melihat Raka.
"Lho ... ngapain kamu ke sini, Rak?" Nada suaranya tinggi, menusuk.
Ia menyilangkan tangan, berdiri tegak seperti penjaga istana.
"Mau numpang makan gratis juga, ya?" tebaknya.
Raka menunduk sedikit. Napasnya mengepul samar. “Maaf, Ren ... aku cuma mau kasih kue buat Nadya. Hari ini ulang tahunnya.”
Reno menoleh sejenak ke kantong plastik yang tergenggam di tangan Raka, lalu menyipitkan mata. Sudut bibirnya terangkat, mencibir.
“Ini?” Ia menunjuk plastik itu dengan dagu. “Kue dari toko pinggiran itu? Serius?”
Reno menggeleng sambil berdecak, "Cckk. Hahaha."
Suara tawanya terdengar kecil, tapi tajam seperti pisau cukur.
"I---iya."Raka mencoba tersenyum, walau dadanya mulai sesak. “Aku cuma pengin merayakan bareng. Nggak lebih,” ucapnya pelan, hampir berbisik.
Reno menghela napas panjang, lalu membuka gerbang setengah hati. “Masuk, tapi jangan lama. Papa udah bilang kamu dilarang datang.”
Dengan langkah ragu, Raka melangkah masuk. Setiap injakan sepatu basahnya menimbulkan cepak-cepak kecil di lantai marmer halaman. Gerimis terus turun membasahi rambutnya yang sudah lepek.
Begitu memasuki ruang tamu, matanya langsung diserbu warna dan cahaya. Langit-langit dipenuhi balon pink metalik dan pita-pita, lilin aroma terapi menyala di sudut-sudut ruangan, dan musik lembut terdengar dari speaker tersembunyi di balik rak kayu jati. Aroma vanilla dan kayu manis mengambang di udara.
Semua orang tampak rapi. Elegan. Sepupu-sepupu Nadya mengenakan dress pesta dan jas semi-formal. Gelak tawa dan percakapan santai terdengar, tapi perlahan meredup ketika mereka menyadari kehadiran Raka. Tatapan mengarah padanya seperti sinar laser. Ada yang menyipitkan mata, ada yang mendengus pelan, ada pula yang terang-terangan menatap dari atas sampai bawah—menilai seperti menilai barang obral.
Raka berdiri kaku, tangan masih memegang plastik yang kini mulai bocor di ujung bawah, meneteskan air hujan ke lantai putih mengilap.
Reno menyelinap ke dalam, meninggalkan Raka berdiri seperti benda asing.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari tangga. Tap ... tap ... tap ... pelan tapi berirama.
Nadya turun dengan gaun merah muda selutut. Wajah cantiknya dipoles makeup sempurna. Rambutnya disanggul elegan. Tapi begitu matanya bertemu dengan Raka, ekspresinya mengeras. Sejenak, hanya diam yang mengisi ruang antara mereka.
“Sayang ...” suara Raka nyaris tercekat. Ia melangkah pelan ke arah tangga, seperti anak kecil yang takut dimarahi. “Selamat ulang tahun, ya. Ini ... aku bawa kue buat kita potong bareng.”
Tangannya terulur, menawarkan kantong plastik itu. Nadya tidak bergeming. Wajahnya seperti tertutup kabut—dingin, datar, tak terbaca.
“Makasih ...” jawab Nadya datar. “Tapi kamu nggak usah repot-repot datang. Ini acara keluarga.”
“Kan aku suami kamu,” ujar Raka lembut, matanya berkaca-kaca.
Nadya menunduk, menghindari tatapan suaminya. “Kamu tahu sendiri, Papa masih marah sama kamu …” suara Nadya terputus oleh suara langkah berat bergema dari arah dalam rumah.
Pak Hasyim muncul dengan batik sutra warna gelap, wajahnya penuh gurat tegas dan sorot tajam yang tak pernah bersahabat bagi Raka.
“Kamu belum kapok juga datang ke sini, Raka?”
Raka menunduk hormat. Suaranya bergetar. “Saya cuma mau kasih kue buat Nadya, Pak. Hari ini ulang tahunnya …”
Pak Hasyim menatap tajam plastik kresek itu. Mulutnya meringis. “Kue dari toko pinggir jalan? Untuk anak saya? Huh.” Ia mendengus. “Kamu pikir dia pantas dapat yang kayak begitu?”
Raka menunduk. Jemarinya menggenggam erat plastik, sampai kuku-kuku jarinya memutih.
“Saya tahu saya belum pantas, Pak. Tapi saya tetap suaminya.”
“Suami?” Pak Hasyim tertawa pendek, penuh cemooh. “Kamu itu numpang hidup! Dari dulu kami yang biayai Nadya. Kamu itu beban!”
Beberapa tamu terdiam. Percakapan terputus. Suasana menjadi ganjil, seolah ruangan kehilangan udara.
Reno kembali muncul. Ia meraih plastik dari tangan Raka, lalu meletakkannya kasar di meja kaca, menimbulkan suara plak! yang menyakitkan.
“Nih. Kue murahan kamu. Biar nanti kami buang.”
Raka menggigit bibir. Matanya mencari Nadya.
“Nadya ...” panggilnya lirih. “Kamu nggak akan bilang apa-apa?”
Nadya memandang lantai. “Kamu tahu sendiri ... kamu nggak punya kerja tetap. Aku capek dijelek-jelekkan terus sama keluarga …”
Raka menahan napas. Dada kirinya serasa sobek. Suara Nadya ... suara perempuan yang dulu memeluknya erat saat hujan membasahi atap kontrakan, kini terdengar seperti orang asing. Dingin. Memukul tanpa ampun.
Pak Hasyim menunjuk ke arah pintu. “Keluar. Sebelum saya panggil satpam!”
Raka berdiri kaku beberapa detik. Lalu menunduk, membungkuk dalam. “Maaf, Pak .... Maaf, Nadya …”
Ia berbalik. Langkah kakinya pelan, nyaris tanpa suara. Dunia terasa sunyi. Gemetar. Bahkan detak jam di ruang tamu terdengar terlalu nyaring.
Di luar, hujan turun lebih deras. Sesaat kemudian gerbang tertutup keras di belakangnya.
Brak!
Bersamaan itu Reno melempar plastik kresek itu hingga jatuh ke tanah. “Ambil tuh kue kamu. Bawa pulang! Hahaha! Kamu meninggalnya tadi!"
Raka memungutnya pelan. Tangan kirinya gemetar. Karton di dalamnya lembap, mulai merekah. Tapi ia tak peduli.
Dengan tubuh basah kuyup, ia kembali duduk di atas motornya. Hujan menusuk kulit, angin malam menampar wajahnya. Ia melaju perlahan, tanpa arah, lampu depan motor redup menembus kabut hujan.
Ia berhenti di bawah pohon ketapang besar di pinggir jalan. Udara harum tanah basah menyeruak. Di sana, ia membuka plastik itu perlahan. Kotak kue sudah lembek. Tutupnya roboh. Tapi di atas kue cokelat yang sederhana itu, masih terlihat tulisan:
*Selamat Ulang Tahun Sayang, Dari Suamimu yang Miskin Tapi Tulus.*
Tulisan itu mulai luntur. Tinta cokelatnya bercampur air.
Raka menatapnya lama. Lalu air matanya mengalir. Diam-diam. Tanpa suara. Campur dengan air hujan yang mengucur dari rambut dan dagunya.
Ia menatap langit. “Tuhan …” bisiknya parau. “Kalau memang aku hina di mata mereka ... ajari aku cara berdiri sendiri. Biar suatu hari ... aku bisa buat mereka menyesal pernah mengusir aku kayak anjing.”