Di sebuah gedung tinggi sekolah, suara tawa terdengar di telinga seorang siswa yang sedang mendapatkan perlakuan tidak adil. Tepat di kelasnya yang sudah kosong, tiga orang siswa lain tengah melemparkan tas milik lelaki itu ke tangan mereka secara berputar.
Anak lelaki tersebut sudah berungkali mencoba mengambil benda miliknya, tetapi tetap tidak bisa karena mereka terlalu cepat melemparkannya. Mereka semakin tertawa puas melihat raut wajahnya yang sangat menyedihkan.
"Kau tidak akan bisa menangkapnya dari kita," seru salah satu lelaki itu.
Kemudian isi tas itu dikeluarkan, tasnya di lemparkan keluar kelas sedangkan buku-buku dirobek oleh siswa lain tanpa rasa kasihan. Setelah merasa puas mereka pun pergi begitu saja, anak itu memunguti buku tulisnya yang kini sudah menjadi potongan kecil.
Di luar ruangan itu, seorang guru pria menemukan tas hitam milik siswa tersebut, ia melihat sekeliling mencari pemiliknya, pandangannya beralih ke pintu kelas yang masih terbuka.
"El, kamu diganggu mereka lagi?" tanya pria seraya memberikan tas tersebut.
El atau nama lengkapnya adalah Elvano Permana yang biasa dipanggil El atau Vano, ia adalah siswa paling berprestasi di sekolah itu, ia duduk bangku sekolah menengah atas kelas dua belas.
"Besok Bapak akan segera menindaklanjuti masalah ini, kamu tenang saja, ya." Pria itu berbicara seraya menepuk pundak Elvano.
Elvano hanya mengangguk pelan, lalu guru itu meninggikannya seorang diri lagi. Ia melangkah keluar bersiap untuk meninggalkan sekolah. Pikirannya benar-benar kalut dengan kejadian yang telah didapatkannya hingga tidak sengaja menabrak seorang siswi cantik, menjatuhkan tumpukkan buku di tangannya.
Elvano mengambil satu-persatu benda yang sudah berada di lantai lorong sekolah. Baru saja mulutnya terbuka hanya untuk mengucap kata maaf, tetapi lengan seorang lelaki telah berada di pundaknya.
"El, ayo kita pulang sekarang, sepertinya kamu akan terlambat pulang." Pemuda itu angkat bicara pada Elvano.
Elvano meliriknya, ia merasa tidak yakin dengan perkataan yang berubah seratus persen dari sebelumnya. Lelaki itu mengambil alih benda yang berada di lengan Elvano, lalu diberikan pada gadis itu seraya tersenyum manis.
"Cantik, kita duluan." Pemuda tersebut berbicara padanya seraya menarik paksa pundak Satria, tetapi tetap dengan senyuman untuk membuat gadis itu tidak curiga.
Jauh darinya tepat di area lapang parkir, ia menarik kerah baju Elvano yang sudah lusuh. "Lo jangan cari gara-gara sama gue, apa selama ini lo belum cukup takut?!"
"Dia itu mau dianggap pahlawan sama cewek, Gas." Salah satu darinya menimpali.
"Pahlawan kesiangan atau apa, sih? Dia itu cuma cowok cupu dan bodoh, bisa apa coba?" Lelaki satunya lagi angkat bicara.
Mereka tertawa serentak seraya memperhatikan Elvano yang menunduk. Kemudian lengan itu berpindah ke dagunya, mencekal bagian tersebut hingga pemiliknya sedikit meringis, tetapi kali ini Elvano berusaha menyingkirkan tangan siswa itu.
"Dia pikir sanggup melawan gue," kata lelaki itu pada teman-temannya.
"Mungkin pikirnya punya kekuatan super yang bisa mengalahkan lo," seru temannya.
"Kekuatan super dalam mimpi aja gak bakal dia rasakan apalagi di dunia nyata, bela diri aja gak mampu." Satunya lagi menimpali.
Lelaki itu melepaskan dagu Elvano, tetapi tidak sampai di sana, ia mendorong dadanya hingga terjatuh hampir saja wajahnya mengecup tembok lapang parkir yang sudah pasti akan membuat wajahnya cedera.
Namun, ia berhasil menahan wajahnya dengan kedua tangannya walaupun tubuhnya sudah ambruk. Lelaki yang dominan itu mengajak kedua temannya untuk pergi, tetapi salah satu di antara mereka menendang kaki Elvano sebelum akhirnya benar-benar pergi.
Elvano bangkit dari sana, ia segera menghentikan bus yang lewat. Ia menjadi pusat perhatian penumpang lain karena seragamnya yang kotor. Mereka banyak berpikir tentang Elvano, habis sekolah atau membajak sawah? Kendaraan itu mengantarkannya ke kediamannya.
Elvano segera mencuci semua pakaiannya sebelum orang tuanya pulang. "Aku harap Ayah dan Ibu tidak pernah tahu soal ini."
Elvano duduk di ambang pintu depan rumahnya, ia menatap telapak tangannya yang sudah mengeluarkan rembesan darah. Luka yang sudah mulai kering, tetapi kembali terluka. Ini bukan pertama kali Elvano mendapatkan perlakuan seperti itu. Menatap luka itu membuat dirinya teringat kejadian sepuluh tahun yang lalu di mana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari tiga orang anak seusia dengannya.
"Apa mereka adalah orang yang sama?" Elvano bertanya-tanya sendiri.
Ia menghela napas beratnya, pikirannya mulai berkecamuk. "Mungkinkah diamku adalah salah?"
Hanya karena dirinya punya sikap diam, tidak suka bergaul dengan orang-orang membuatnya dibully habis-habisan. Dalam pandangan orang-orang seperti mereka, sikap Elvano ini sangat terlihat cupu dan juga bodoh. Padahal Elvano bisa sekolah di sana karena beasiswa karena kepintarannya di atas rata-rata.
Akan tetapi, bagi mereka Elvano adalah siswa yang sangat bodoh. Elvano memang tidak mempunyai kemampuan apa pun untuk melawan mereka yang lebih dari satu orang, baginya mereka terlalu kuat untuk dihadapi. Namun, Elvano pun tidak bisa menghindar dari semua yang terjadi.
Ia juga tidak bisa mengubah sikapnya karena diam adalah bawaannya. Dahulu pun ia dibully karena selalu saja diam tidak bisa berbuat apa pun, terkesan seperti anak yang bodoh. Ia hanya selalu diam merasa tidak ada seorang pun yang berpihak padanya, ia benar-benar merasa sendirian.
Jika semua telah terjadi, lalu siapa yang harus Elvano salahkan? Mungkinkah dirinya harus menyalahkan mereka sedangkan dirinya tidak akan bisa mengadu tentang semua itu? Apa mungkin harus menyalahkan dirinya yang punya sikap banyak diam? Atau mungkin harus menyalahkan takdir yang tidak adil karena tidak berpihak padanya? Banyak orang yang memiliki sikap serupa hanya saja tidak mendapatkan nasib yang sama.
"Andai aku bisa, tapi sayangnya aku nggak pernah bisa melakukan apa yang aku mau." Sekali lagi Elvano berbicara sambil menatap lukanya.
Luka di tangan tidak seberapa daripada luka yang ada di dalam hatinya. Di sekolah itu ia harus tetap bertahan demi cita-cita kedua orang tuanya yang menginginkan Elvano menjadi anak yang sukses punya pendidikan tinggi tidak seperti mereka bekerjasama di telunjuk orang lain.
Elvano tidak ingin mengecewakan mereka yang sudah menyayanginya. Sebab, itulah yang membuatnya tetap berada di sana apa pun yang terjadi. Ia paham betul bahwa melawan mereka bukanlah solusi yang bagus sekalipun tubuhnya banyak terluka. Mereka sangat berkuasa di tempat itu yang kapan saja bisa membuat Elvano menghilang dari sekolah.
"Ayah, Ibu, akan aku pastikan cita-cita kalian terwujud dengan sempurna sekalipun dengan tetesan darahku." Elvano berbicara seraya tersenyum tipis.
Ia mengalihkan pandangan dari telapak tangannya ketika nentranya berhasil mendapatkan tiang listrik yang tidak jauh dari rumahnya tiba-tiba korslet menghadirkan cahaya-cahaya dari listrik. Elvano membulatkan matanya ketika sesosok bayangan hitam yang terlihat samar, lalu semua listrik di sekitar sana pun seketika padam sehingga dirinya tidak bisa melihat apa pun.
"Pasti tukang listrik," monolog Elvano seraya menghidupkan senter ponselnya yang dikeluarkan dari saku celananya.