Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Penguasa Lorong Belakang

Penguasa Lorong Belakang

Queen_Dyy | Bersambung
Jumlah kata
161.3K
Popular
495
Subscribe
84
Novel / Penguasa Lorong Belakang
Penguasa Lorong Belakang

Penguasa Lorong Belakang

Queen_Dyy| Bersambung
Jumlah Kata
161.3K
Popular
495
Subscribe
84
Sinopsis
PerkotaanAksiGangsterIdentitas TersembunyiBadboy
Ketika Vyan pindah ke SMA Pradipa Cendikia, dia hanya ingin hidup tenang dan fokus menyelesaikan sekolah. Tapi semua berubah saat ia menyelamatkan seorang siswi dari geng penguasa sekolah. Aksi heroiknya membuatnya jadi incaran geng brutal bernama Black Fang, kelompok yang sudah lama menguasai lorong belakang sekolah: tempat segala transaksi kotor terjadi. Yang tidak mereka tahu, Vyan bukan murid biasa. Dia adalah mantan anggota geng motor legendaris dari kota lamanya, yang berhenti setelah tragedi menewaskan kakaknya. Kini, untuk melindungi teman-temannya, Vyan harus kembali ke dunia yang coba ia tinggalkan: dunia kekerasan, strategi, dan dendam berdarah. Saat konspirasi besar yang melibatkan pihak sekolah, polisi, dan dunia bawah mulai terkuak, Vyan harus memilih: berdamai dengan masa lalunya, atau menghancurkan semuanya sekali lagi demi keadilan?
Langkah baru

Langit pagi itu menggantung abu-abu, seperti selimut tipis yang belum sepenuhnya tersibak cahaya matahari. Udara terasa lembap, dan semilir angin menerbangkan beberapa daun kering di halaman depan SMA Pradipa Cendikia.

Di depan gerbang sekolah yang megah namun tampak agak tua, berdirilah seorang remaja laki-laki dengan seragam baru yang terlihat terlalu bersih. Lengan kemejanya masih tampak kaku, dan lipatan celana abu-abu itu nyaris sempurna. Wajahnya polos, pucat, dan kosong—seperti belum sepenuhnya hadir di tempat itu.

“Jangan lupa sarapan, ya. Tante udah titip bekal ke kantin juga, kalau kamu lapar nanti...” kata seorang perempuan paruh baya di sampingnya. Suaranya lembut, tapi ragu-ragu. Matanya berkaca-kaca, menatap remaja itu dengan campuran sayang dan cemas.

“Aku nggak lapar, Tante Rini,” jawab Vyan tanpa menoleh. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar di tengah suara kendaraan yang lalu-lalang.

Bu Rini menghela napas pelan. “Kamu nggak harus kelihatan kuat setiap waktu, Nak. Kalau memang belum siap, nggak apa-apa, Tante bisa—”

“Aku cuma mau sekolah,” potong Vyan, masih dengan nada datar.

Hening sesaat menyelimuti mereka. Bu Rini menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk kecil.

“Baiklah. Semangat, ya.” Ia menepuk bahu Vyan pelan.

Tanpa membalas, Vyan melangkah melewati gerbang, membiarkan bibinya berdiri sendiri di belakangnya. Ia tidak suka perpisahan. Sejak kakaknya pergi untuk selamanya, setiap ucapan “hati-hati” dan “semangat” terdengar seperti kalimat terakhir yang akan ia dengar dari seseorang.

Langkah Vyan menyusuri koridor sekolah yang masih sepi. Suara langkah sepatunya bergema pelan di antara dinding-dinding putih dan deretan loker siswa yang belum banyak terisi. Ia melirik ke arah papan petunjuk kelas, memastikan arah sebelum berbelok ke kanan menuju lantai dua.

Sembari berjalan, pikirannya kembali melayang ke—malam itu. Sirine ambulans, suara teriakan, dan bayangan motor yang terhempas di jalan aspal masih terekam jelas dalam kepalanya. Kilas balik itu datang seperti hantaman gelombang, cepat dan menyakitkan.

Tapi ia menggeleng pelan, menepis kenangan itu sejauh mungkin.

Sebuah pintu bertuliskan Kelas XI IPS 2 kini berdiri di hadapannya. Dari balik kaca kecil di pintu itu, ia bisa melihat siluet siswa-siswa yang sedang duduk, sebagian sibuk berbicara, sebagian lainnya tertawa pelan.

“Permisi,” suara seorang guru perempuan mengagetkannya. “Kamu Vyan, ya?”

“Iya, Bu.”

“Saya Bu Endang, wali kelas kamu. Yuk, masuk.”

Pintu dibuka perlahan. Semua suara di dalam kelas langsung meredup.

Pandangan puluhan pasang mata mengarah padanya. Vyan menunduk sedikit, tak nyaman dengan perhatian tiba-tiba itu.

“Anak-anak,” kata Bu Endang ceria, “ini teman baru kalian. Vyan, pindahan dari Kota Raya.”

Beberapa murid mulai berbisik.

“Anak kota, tuh.”

“Kayaknya pendiam, deh.”

“Cakep sih, tapi serem.”

Vyan tidak menanggapi. Ia berdiri tegak, tapi matanya kosong. Tatapannya seperti menembus dinding kelas, jauh ke tempat lain yang hanya dia yang tahu.

“Silakan duduk, Vyan. Itu kursi kosong dekat jendela,” kata Bu Endang sambil menunjuk barisan ketiga dari depan.

Vyan mengangguk kecil dan berjalan ke bangku yang ditunjuk. Ia menarik kursi tanpa suara, lalu duduk dan membuka buku catatannya. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Hanya keheningan yang ia ciptakan di sekitarnya.

Beberapa siswa mengernyit, sebagian lainnya tak peduli. Bagi mereka, ini hanya anak pindahan biasa—mungkin korban pindahan karena nilai, mungkin karena orang tua pindah kerja, atau alasan klasik lain. Tidak ada yang mengira anak itu menyimpan sesuatu yang lebih gelap.

Jam pelajaran pertama dimulai. Suara guru menjelaskan materi ekonomi dasar terdengar seperti latar belakang yang jauh bagi Vyan. Ia mencatat, tapi pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Pandangannya sering melirik keluar jendela, memperhatikan langit yang mulai memutih. Awan kelabu tadi perlahan menghilang, memberi ruang pada cahaya pagi yang ragu-ragu.

Saat bel istirahat berbunyi, beberapa siswa langsung bangkit. Ada yang berlari ke kantin, ada pula yang tetap di kelas sambil membuka bekal. Vyan masih duduk di tempatnya, membuka botol air minum dan meneguk sedikit.

“Eh, kamu nggak ke kantin?” tanya seorang siswa dari kursi sebelah.

Vyan mengangkat bahu. “Nggak lapar.”

“Oh, oke. Gue Dika, by the way.”

“Vyan.”

“Ya, gue tahu,” kata Dika sambil terkekeh. “Tadi kan udah dikenalin.”

Vyan hanya mengangguk pelan.

Dika tidak tersinggung. Ia malah kembali sibuk dengan cemilan dalam kotak bekalnya. Obrolan pun menguap.

Namun keheningan itu tak berlangsung lama. Dari arah belakang kelas, langkah kaki mendekat. Seorang siswi berambut sebahu dan berseragam rapi berdiri di depan bangku Vyan.

“Lo anak baru, ya?” tanyanya sambil tersenyum tipis.

Vyan mengangguk.

“Gue Nayara. Kalau lo butuh apa-apa, tanya aja, ya.”

“Terima kasih,” jawab Vyan pelan.

Nayara tidak langsung pergi. Ia menatap Vyan sejenak, seolah mencoba membaca lebih dari sekadar wajah datarnya. Lalu ia tersenyum lagi, lebih hangat.

“Selamat datang di SMA Pradipa Cendikia” katanya, lalu berjalan kembali ke bangkunya.

Vyan memandangi punggung Nayara yang menjauh. Di tengah segalanya yang masih terasa asing, ada sesuatu dari gadis itu yang terasa sedikit... berbeda.

Mungkin, untuk pertama kalinya pagi itu, ia merasa sedikit lebih ringan.

Namun ketenangan itu hanya berlangsung sekejap. Di sisi lain kelas, dua siswa terlihat mengamati Vyan diam-diam. Salah satunya berbisik, “Kayaknya tuh anak bakal menarik perhatian orang-orang Black Fang.”

“Hmm... kita lihat aja nanti,” balas temannya sambil menyeringai.

Dan di bangkunya, Vyan tetap diam. Pandangannya kosong, tapi telinganya menangkap segalanya.

Sekolah ini menyimpan sesuatu yang tidak biasa.

Dan ia tahu, cepat atau lambat, ketenangannya akan terusik lagi.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca