Kota Andalas, empat tahun berlalu dengan cepat, semenjak Aidan dan Aiden masuk ke sekolah menengah pertama.
Seperti biasanya terlihat Aidan dan Aiden diantar oleh pengawal pribadinya sampai didepan SMA Negeri Andalas.
"Tuan muda!" seru seorang remaja yang mengenakan seragam sama dengan sikembar itu sambil berlari tergesa-gesa saat baru turun dari mobilnya.
Aiden yang melihat itu menghela napas pelan. Eder Galisman, sosok yang dulu berniat merundung mereka, tapi malah sekarang menjadi seperti pengawalnya berkat teguran dari Ayah mereka.
Eder langsung menggantikan posisi Aidan untuk mendorong kursi roda Aiden, karena sudah biasa, Aidan pun membiarkannya.
"Tumben, kamu tidak bersama Karina dan yang lain?" tanya Aidan sembari meriah tas sang Adik dan menggendongnya.
"Sepertinya mereka masih dalam perjalanan, katanya Bary sakit dan mereka menjenguknya semalam, jadi mereka sedikit terlambat," jawab Eder sembari lekas mendorong kursi roda Aiden.
"Bary sakit?" Aiden bertanya dengan nada khawatir.
Eder mengulas sebuah senyum, sambil mlirik Aiden. "Tuan muda tidak perlu khawatir, dia hanya kebanyakan makan saja."
"Hahaha... itulah akibatnya kalau makan berlebihan." Aidan tiba-tiba tertawa.
Aiden memicingkan matanya, menatap sang kakak dengan sinis. "Kamu juga sering berlebihan saat makan, kalau merasakan hal yang sama tahu rasa!"
Aidan seketika berhenti tertawa, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe... kalau aku beda, tubuhku mampu mencerna makanan dengan baik, lihatlah aku yang sangat kekar ini," ujarnya sedikit sombong sambil memperlihatkan otot tangannya.
Aiden menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, dia tahu berdebat dengan sang kakak yang memiliki otak otot mengenai makanan akan sulit, jadi lebih memilih diam.
Eder yang sudah biasa mendengar pertengkaran saudara kembar itu hanya bisa tersenyum-senyum saja tanpa berbicara apa pun.
Eder sengaja tidak naik kelas saat di SMA, agar dia bisa satu kelas dengan Aidan dan Aiden, karena itulah mereka sekarang satu angkatan, walau usia Eder terpaut dua tahun dari mereka berdua.
Orang tua Eder sebenarnya kesal, tapi saat mendengar kalau Eder melakukan itu demi memiliki hubungan baik dengan sikembar, mau tidak mau mereka pun setuju.
***
Setelah semua siswa SMA Negeri Andalas semuanya sudah masuk kelas dan gerbang pun sudah tertutup, terlihat seorang remaja pria mengenakan pakaian lusuh sambil membawa karung rongsok berjalan dengan langkah gontai.
Remaja itu berhenti didepan gerbang, dia menghela napas pelan menatap bangunan sekolah nomor satu di kota Andalas itu sambil berpegangan pada gerbang.
"Andai saja aku bisa sekolah juga," gumamnya lirih.
Seorang penjaga gerbang tua, terlihat berlari tergesa sambil membawa setumpuk buku yang ada didalam kardus ditangannya menghampiri gerbang.
Remaja pria lusuh yang melihat pria tua itu mengulas sebuah senyum, tatapan matanya tampak berbinar penuh semangat.
"Maaf Aditya, bapak hanya bisa mengumpulkan ini saja, buku-buku yang sudah tidak terpakai sudah tidak ada lagi," kata pria tua itu tampak sedih, sambil membuka gerbang sedikit.
Remaja pria yang dipanggil Aditya itu menerima kardus yang berisi buku tersebut sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak apa Pak, ini juga sudah cukup untuk makan."
Security tua itu mengulas sebuah senyum. "Nanti, kalau ada buku-buku yang tidak digunakan lagi, Bapak akan memberitahu kamu."
Aditya mengangguk sambil tersenyum. "Sekali lagi terima kasih Pak," katanya sebelum memasukan kardus buku itu ke kantong rongsoknya.
"Oh iya, tadi bapak mendengar dari para guru, katanya akan ada perekrutan siswa kurang mampu Minggu depan di sekitar tempat tinggal kamu, cobalah untuk mendaftar," kata pria tua itu bersemangat.
Aditya menggelengkan kepala. "Untuk makan saja sulit Pak, Kalaupun keterima nantinya, darimana aku akan mendapatkan uang untuk membeli seragam, belum lagi beli buku pelajaran dan yang lain." Dia menggendong kantong rongsoknya dan tersenyum pada pria tua itu sambil sedikit membungkukkan badan. "Terima kasih Pak, aku pergi dulu."
Security tua itu hanya mengangguk pelan, dia menatap kepergian Aditya dengan mata berkaca-kaca, andai saja dirinya tidak sedang membiayai kuliah sang anak, pasti dirinya bisa membantu remaja itu.
Mungkin benar sekolah tersebut sedang merekrut anak orang tidak mampu, dan seragam juga diberikan pihak sekolah secara cuma-cuma, tapi tidak dengan alat tulis dan yang lainnya.
Bagi Aditya yang hidup sebatang kara, jelas dia tidak bisa memenuhi semua itu, untuk makan saja terkadang dia tidak bisa mendapatkan uang, apa lagi untuk hal semacam itu.
Aditya Harlan, dia memang hidup dalam keterpurukan, walaupun kota Andalas sudah dibilang maju berkat pemerintahan Adrian. Namun, dibalik semua itu masih ada orang-orang yang masih dalam hidup sengsara.
Adrian pernah berkelakar jika dia ingin menerapkan kesetaraan, tetapi sifat orang berbeda-beda, walaupun dia berusaha semaksimal mungkin menekan angka kemiskinan dinegaranya, masih ada saja orang-orang nakal yang bisa memanfaatkan keadaan untuk memperkaya diri dan membuat beberapa orang tertekan dengan tindakan itu, salah satunya Aditya.
Setelah berjalan sekitar dua puluh kilometer, Aditya pun tiba di penimbangan barang bekas, sebelum menjual buku-buku tersebut. Aditya menyisihkan buku yang masih cukup bagus untuk dia belajar sendiri.
Namun, saat memilah buku-buku itu, dia melihat sebuah kacamata diantara tumpukan buku tersebut. Aditya pun mengambil kacamata tersebut.
"Kacamata ini masih bagus, apa Pak Kani tidak sengaja membawakannya yah? Nanti aku kembalikan saja lah," kata Aditya pada dirinya sendiri, sambil menaruh kacamata di buku yang ia sisihkan.
Baru setelah itu Aditya menjual buku itu, dia terlihat sumringah karena mendapatkan uang sepuluh dolar dan hari ini bisa makan kenyang, pikirnya.
Aditya pun bergegas kembali ke SMA Andalas untuk mengembalikan kacamata dan memberitahu Pak Kani, berapa uang yang dia dapat dari menjual buku.
"Pak, aku mau mengembalikan kacamata ini, dan aku dapat sepuluh dolar, bapak mau aku belikan apa?" kata remaja lusuh itu dengan napas sedikit terengah-engah dan menyodorkan kacamata.
Pak Kani mengerutkan kening. "Kacamata? Tidak ada guru yang merasa kehilangan kacamata, dan uangnya bukankah Bapak sudah bilang, buat kamu saja."
"Tapi Pak...." Aditya baru akan bicara, terlihat beberapa mobil berhenti didepan gerbang.
Melihat itu Pak Kani terkejut, dia bergegas membuka gerbang. "Adit, kamu lebih baik cepat pergi dari sini."
Aditya yang mengerti maksud Pak Kani, dia pun bergegas pergi dari sana agar tidak mendapatkan masalah.
Remaja lusuh itu berjalan gontai menuju tempat tinggalnya yang berada dibantaran kali, tertutup oleh pohon pisang.
Saat sampai dirumahnya yang terbuat dari barang-barang bekas, Aditya duduk di kasur lusuh yang ia temukan saat mencari rongsokan.
Aditya menaruh buku dipojokan rumah, lalu dia mengambil kacamata yang ada di atas buku, melihat-lihatnya sebentar kemudian mengenakannya.
Tiba-tiba kacamata itu mengeluarkan sengatan listrik yang langsung menjalar ke mata Aditya, membuat remaja itu seketika berteriak histeris dan melempar kacamata tersebut.
"Mataku, sakit...." Aditya mengucek matanya, air mata tampak menetes dipipinya.
Perlahan Aditya membuka matanya, dia langsung tertegun ketika melihat layar hologram terpampang didepannya.
[Penyatuan dengan pemilik berhasil.
Sistem Mata Penilaian telah terpasang!]
Layar hologram itu menghilang, tiba-tiba semua benda yang ada dihadapan Aditya memunculkan angka-angka harga diatasnya.