Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Satu Persen Kebenaran

Satu Persen Kebenaran

emurbawa | Bersambung
Jumlah kata
61.9K
Popular
100
Subscribe
18
Novel / Satu Persen Kebenaran
Satu Persen Kebenaran

Satu Persen Kebenaran

emurbawa| Bersambung
Jumlah Kata
61.9K
Popular
100
Subscribe
18
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeDetektif
Rei Dirgantara adalah mantan detektif muda yang terbuang. Dipecat dari kepolisian tanpa pernah menyentuh satu kasus pun, bukan karena tak mampu, tapi karena kalah dengan detektif lain yang memiliki koneksi. Kini, ia membuka kantor detektif swasta kecil di sudut kota yang penuh asap dan kebisingan. Tarif jasanya murah. Kliennya? Mereka yang tak punya pilihan lain untuk menyewa detektif resmi yang harganya mahal. Namun, ketika kasus-kasus itu mulai membawanya ke dalam hal yang tak pernah dirasakannya, Rei sadar bahwa dunia ini jauh lebih bengkok dari yang pernah dia bayangkan.
Bab 1 – Detektif yang Tak Pernah Diandalkan

Di sudut sebuah kantor polisi yang cat temboknya mulai terkelupas, seorang pria muda duduk bersandar di kursi kayu. Ia memutar bolpoin di tangannya, sedangkan matanya menatap langit-langit seakan menanti inspirasi jatuh dari sana.

Namanya Rei. Usianya baru kemarin menginjak dua puluh lima. Jabatan resminya adalah seorang detektif junior divisi penyelidikan umum.

Tugasnya hari ini? Entah bisa dikatakan itu tugas atau bukan, sekarang Rei tengah mencatat laporan kehilangan kucing, lagi.

“Ada kucing putih dengan ekor belang, namanya adalah Roro. Biasanya pulang sore, tapi sudah dua hari ini tak terlihat.”

Seorang ibu-ibu dengan daster ungu dan tatapan khawatir duduk di depannya, sambil menunjuk foto kucing yang sudah dicetak dan dilaminasi dengan baik.

“Ini salahku karena membiarkannya bermain terlalu lama, jika saja waktu bisa diputar ... Roro ....”

Air mata ibu tersebut jatuh, sementara Rei mengangguk dengan khidmat mendengar cerita dari ibu tersebut.

“Baik, Bu. Nanti saya bantu buatkan laporan. Mungkin Roro sedang mencari jodoh di luar sana, sekarang sedang musim kawin bagi kucing, Bu.”

“Jodoh apanya, Detektif! Dia sudah saya disterilkan tiga tahun lalu!”

“Eh ...?”

Rei menahan tawa sambil mengetik. Jari-jarinya lincah, tapi pikirannya melayang jauh. Bukan karena kasus ini tidak penting, baginya semua laporan warga berarti. Tapi ada perasaan mengganjal yang belum hilang sejak seminggu lalu.

Ia baru saja genap satu tahun bekerja di kantor ini.

Satu tahun. Dan belum pernah sekali pun ia diberi tanggung jawab menyelidiki kasus besar yang sering terjadi di kota itu.

Rei menghela napasnya sambil menatap langit-langit kantor.

“Kapan aku diberi tugas besar, ya?”

Setelah ibu pencinta kucing pergi, Rei merebahkan tubuhnya ke meja. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga siang, dan seperti biasa, tidak ada yang menarik. Hanya suara AC tua yang kadang berbunyi ‘tek-tek’ seperti kentut yang terdengar sopan.

“Masih belum dipercaya menangani kasus, ya, Rei?”

Suara berat itu datang dari belakang.

Pak Agus, penyidik senior yang sudah bekerja sejak zaman semua laporan ditulis manual dengan tangan, ia menyodorkan sekotak rokok pada Rei.

Rei menolak sekotak rokok itu dengan senyum kecil sambil menggeleng.

“Saya sudah berhenti merokok, Pak.”

“Berhenti menyelidik juga, apa bagaimana?”

Pak Agus tertawa, keras dan meledak. Rei hanya tersenyum kecut di sana, dan berusaha untuk ikut tertawa tapi tak bisa.

“Padahal kau itu lulus akademi kepolisian dengan nilai tertinggi. Banyak yang bilang kau brilian, meski agak, yah ... canggung.”

Pak Agus lalu duduk di meja seberang sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.

“Cuma, ya ... kadang, brilian aja tak cukup untuk menjadi detektif. Harus punya insting, dan koneksi,” lanjutnya

Rei menatap jari-jarinya.

“Saya tak butuh koneksi, punya saja tidak.”

“Ya, itu prinsip bagus. Tapi prinsip juga terkadang kalah dengan politik kantor, kau mengerti, bukan?”

“Iya, Pak ....”

Jelas Rei mengerti apa maksud dari Pak Agus itu, karena sudah ada contohnya. Seorang lulusan akademi yang baru masuk, sekarang dia sudah menangani kasus perampokan besar di toko emas berkat ‘koneksi’ yang dimilikinya.

Sedangkan Rei? Ia sudah mirip sekali dengan bujang lapuk yang tak pernah dilirik sekali pun walau sudah satu tahun berada di sana.

Kepala Rei kembali tertunduk. Ia tahu benar apa yang dikatakan Pak Agus. Sejak masuk, ia selalu ditempatkan di meja laporan sepele seperti kehilangan benda dan kasus hewan peliharaan yang hilang.

Ia bahkan pernah menangani kasus sandal jepit yang tertukar di masjid.

Konyol, bukan?

Sialnya, ia menyelesaikan semua itu terlalu cepat dan bersih. Kata komandannya: “Terlalu cepat menyelesaikan kasus kecil, berarti belum diuji dalam tekanan.”

Apa pun maksudnya, Rei tetap bukan pilihan utama untuk kasus serius.

Ketika sore menjelang, Rei berdiri meregangkan badan, lalu mengambil jas lusuh yang digantung di belakang pintu.

Hanya ada dua benda yang membuatnya tampak seperti detektif, yaitu jas itu sendiri, dan kartu identitas dari kepolisian.

Rei menarik napas dalam-dalam.

Udara sore mengendap di paru-parunya, bercampur aroma kertas tua dan kopi basi yang entah dari gelas siapa. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar.

Mungkin dia akan mampir ke warung tenda depan kantor, beli kopi sachet dan gorengan dua ribu. Mungkin juga duduk di pinggir trotoar sambil menghitung bintang jika langitnya tak mendung.

Itu memang hal yang sering dilakukannya.

Namun, sebelum tangan Rei sempat menyentuh gagang pintu keluar, suara berat dan tegas memanggil dari belakang.

“Rei. Ke ruangan saya. Sekarang.”

Langkah Rei terhenti. Suaranya tak asing, itu adalah Detektif Araya. Kepala divisi penyelidikan. Wajahnya keras seperti cetakan beton, dan senyumnya jarang muncul kecuali saat ia melihat hasil tes urine narkoba negatif di tengah pekan.

“Baik, Pak.”

Ia melangkah masuk ke ruangan dengan pintu kayu tua bertuliskan ‘KEPALA UNIT PENYELIDIKAN’ yang huruf-hurufnya sudah mulai mengelupas.

Di dalam, suasananya lebih sunyi dari kuburan. Hanya suara kipas angin tua yang memutar pelan dan tumpukan berkas yang menyesaki meja besar.

Detektif Araya sudah duduk di belakangnya, tangannya menyilang di atas meja, wajahnya serius.

Rei berdiri tegak saat masuk ke dalam ruangan tersebut.

“Silakan duduk.”

Rei duduk perlahan, tubuhnya agak kaku.

Araya membuka map cokelat di atas mejanya, menatapnya sebentar, lalu menutupnya kembali.

“Rei. Kau sudah satu tahun di sini, dan saya tahu kau datang dengan nilai akademi yang sangat sempurna.”

Nada suaranya datar, tapi tajam.

Rei menelan ludah. “Terima kasih, Pak.”

“Tapi itu satu tahun tanpa satu pun kasus besar yang kau tangani. Tak satu pun hasil investigasi yang kau laporkan.”

“Karena saya belum diberi kesempatan.”

Araya tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum yang menyenangkan. Lebih mirip senyum dari seseorang yang sudah memutuskan untuk menjatuhkan palu hukuman.

“Dan kami memutuskan untuk tidak memberimu kesempatan lagi.”

Rei mengangkat kepalanya, kalimat itu menghantamnya dengan keras.

“Maaf, Pak?”

“Mulai hari ini, kau tidak lagi bekerja di divisi ini. Kau kami keluarkan dari tim penyelidik.”

“... dipecat, maksud Bapak?”

Araya menatapnya selama beberapa detik, lalu pria itu mengangguk ringan.

“Kami sudah punya Rio sekarang. Dia terbukti lebih cepat, lebih tanggap, dan sudah menyelesaikan tiga kasus besar bulan ini. Kami butuh detektif seperti dia.”

Nama itu muncul seperti paku di kepala Rei.

Rio.

Detektif baru dengan jas mahal, rambut klimis, dan koneksi langsung ke wakil kepala kepolisian.

Beberapa bulan yang lalu, Rio masuk dengan senyum penuh percaya diri, dan sekarang ia menggantikan posisi yang bahkan belum pernah sempat diduduki Rei.

“Pak ... saya minta satu kesempatan. Apa pun. Saya akan buktikan—”

“Ini bukan soal kemampuanmu, Rei.” Araya memotongnya cepat. “Ini soal efisiensi. Kami tak punya waktu untuk menunggu seseorang yang bahkan tak dikenal siapa pun di jajaran atas.”

Rei menggertakkan gigi. Tangan di pangkuannya mengepal, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

“Kau bisa mengambil barang-barangmu besok. Terima kasih atas jasamu selama satu tahun terakhir ini.”

Itu saja.

Kalimat penutup yang begitu sopan, tetapi menghantam dengan keras seperti palu yang diarahkan ke dada Rei.

Rei bangkit perlahan. Ia menunduk sedikit sebagai salam, walau dadanya terasa seperti disayat.

“Baik, Pak. Terima kasih, saya undur diri dulu.”

Saat ia membuka pintu dan melangkah keluar, dunia di luar tampak lebih sepi dari biasanya. Cahaya senja menyorot ke dalam lorong, menimbulkan bayangan panjang dari tubuhnya yang kini bukan siapa-siapa.

Tangannya masih menggenggam erat jas detektifnya. Jas lusuh itu kini bukan lagi seragam kebanggaan, hanya selembar kain yang tak punya arti.

Di depan kantor, Rei berhenti sejenak.

Ia melihat ke seberang jalan, ke warung tenda kecil tempat ia biasa duduk malam-malam. Kopi sachet dan gorengan masih ada di sana. Tapi kali ini ia tak lapar.

Ia merogoh saku. Di sana masih ada kartu identitas kepolisian. Ia menatapnya lama, ada lencana kecil, nama lengkap, dan gelar yang kini sudah tak berlaku.

“Jadi begini akhirnya? Kerja keras dikalahkan dengan orang dalam? Haha, lucu sekali.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca