

Hari ini, semua orang berdiri di tengah jalan menunggu sesuatu yang diadakan setahun sekali.
Festival Musik sebuah Kota— acara paling ditunggu oleh semua warga.
Terlihat wajah mereka tampak sangat bersemangat, anak-anak berlari kecil sambil membawa balon warna-warni, sementara para orang tua sibuk mencari posisi terbaik untuk menonton.
Hingga akhirnya, suara pukulan drum, dentingan simbal, dan tiupan terompet mulai terdengar dari ujung jalan.
Riuh tepuk tangan langsung menggema.
Ya, mereka menunggu suara marching band SMA Harmonia — tim kebanggaan kota yang setiap tahun selalu menampilkan pertunjukan spektakuler.
Awalnya, semuanya berjalan sempurna.
Langkah-langkah barisan itu begitu rapi, seragam, dan penuh percaya diri. Terompet melengking indah, mengalun bersama irama drum yang kuat, membuat penonton berdecak kagum.
“Seperti biasa, SMA Harmonia emang keren banget!” seru seseorang di antara kerumunan.
Namun, keindahan itu hanya berlangsung beberapa menit.
Di tengah parade, suara salah satu drum mendadak fals—pukulan tak lagi seirama. Pemain snare di barisan kiri tampak panik, matanya melirik ke kanan-kiri, mencari tempo yang hilang.
Beberapa detik kemudian, nada terompet ikut kacau.
Satu, dua, lalu tiga pemain kehilangan irama, membuat melodi yang seharusnya megah berubah menjadi sumbang dan berantakan.
Penonton yang tadinya bersorak kini saling menatap bingung.
“Ada apa itu?” bisik seorang ibu sambil menutup telinganya.
Seorang konduktor muda di depan barisan berusaha memperbaiki tempo.
Ia mengangkat tongkatnya tinggi, matanya menatap tajam, tapi tubuhnya tampak gemetar.
Peluh menetes di pelipisnya.
Dan tepat ketika ia mengayunkan tongkatnya lagi—
PRAK!
Simbal di barisan belakang tiba-tiba terjatuh.
Suara benturannya memecah keheningan sesaat, diikuti oleh jeritan kecil dari salah satu anggota yang kehilangan keseimbangan.
Suara musik berhenti.
Semua mata tertuju pada barisan yang kini kacau balau.
Seorang pemain terompet menutup mulutnya, wajahnya pucat, sementara yang lain menunduk, tampak ingin menghilang dari pandangan.
Dan di tengah keheningan itu… terdengar suara aneh.
Seperti desiran angin, tapi bercampur bisikan halus.
Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, tapi beberapa anggota marching band tampak kaku mendadak—mata mereka kosong, seperti melihat sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
“Lanjutkan!” suara pelatih mereka terdengar lantang dari tepi jalan. “Teruskan permainannya!”
Namun entah kenapa, bukannya kembali tampil, semua alat musik serentak dimainkan kembali—dengan irama yang salah, cepat, dan tak terkendali. Drum dipukul semakin keras, terompet ditiup tanpa jeda, hingga suaranya menusuk telinga.
Penonton mulai berteriak panik. Beberapa mencoba menutup telinga, sementara yang lain berusaha menjauh dari barisan marching band yang semakin menggila. Anak-anak menangis ketakutan, dan orang tua berusaha melindungi mereka.
Di tengah kekacauan itu, konduktor muda itu masih berusaha mengendalikan situasi. Ia berteriak-teriak, mencoba menghentikan permainan, tetapi suaranya tenggelam dalam kebisingan yang memekakkan telinga. Ia melihat sekeliling, mencari bantuan, tetapi tidak ada yang berani mendekat.
Suasana festival yang awalnya meriah kini berubah menjadi kacau dan mencekam.
Penonton yang tadi bersorak kini bubar dengan wajah tegang, beberapa berbisik-bisik seolah baru menyaksikan sesuatu yang tak wajar. Sementara itu, di sisi belakang panggung, anggota marching band SMA Harmonia berdiri terpaku — dengan wajah penuh keringat, lelah, dan rasa malu yang begitu dalam.
“Gimana bisa… kita gagal segini parahnya?” gumam salah satu pemain terompet, suaranya bergetar.
“Padahal latihan kita udah gila-gilaan,” sahut pemain snare, menggertakkan giginya. “Tapi di panggung malah hancur kayak gini.”
Konduktor muda itu berdiri diam di depan barisan mereka. Tangannya yang tadi menggenggam tongkat komando kini gemetar hebat. Pandangannya kosong, menatap ke tanah yang masih basah oleh keringat dan air mata.
Pelatih mereka, Pak Rendra, melangkah masuk ke area belakang panggung. Tatapannya tajam, nadanya berat.
“Kalian tahu,” ucapnya pelan tapi tegas, “ini… bukan sekadar gagal. Ini… aib buat sekolah kita.”
Beberapa anggota spontan menunduk. Ada yang menggigit bibir, ada pula yang tak kuasa menahan tangis.
Di antara mereka, Sena—pemain simbal—menatap tangannya sendiri yang tadi menjatuhkan alat itu. Wajahnya pucat.
“Kalau aku nggak ngejatuhin simbal itu… semua pasti nggak bakal kacau kayak tadi…” suaranya parau, nyaris hilang ditelan keramaian orang yang masih berserakan di luar.
“Jangan nyalahin diri sendiri,” sahut temannya pelan. “Tadi semua… aneh. Kayak ada sesuatu yang—”
“Cukup!” potong Pak Rendra dengan nada tinggi. “Apapun alasannya, yang dilihat orang-orang cuma satu: kita gagal. Dan kalau kalian masih mau pakai nama Harmonia, kalian semua harus perbaiki ini. Latihan. Lebih keras. Lebih serius. Tidak ada lagi ruang untuk kesalahan.”
Ucapan itu bagai cambuk.
Satu per satu dari mereka mengangguk dengan ekspresi berat. Bukan karena semangat—melainkan takut. Takut akan kekecewaan yang lebih besar lagi.
Malam itu, ketika semua orang pulang dengan perasaan tidak enak, para anggota marching band masih duduk diam di belakang panggung. Hening. Hanya suara angin malam yang berhembus pelan.
Sena menggenggam erat tongkat simbalnya.
“Mulai besok,” ucapnya lirih, “kita nggak boleh gagal lagi. Apa pun caranya.”
_____
Keesokan harinya, suasana di SMA Harmonia terasa berbeda dari biasanya. Udara dipenuhi bisik-bisik dan tatapan sinis. Di setiap sudut kelas, di kantin, bahkan di lorong sekolah, kegagalan memalukan marching band menjadi topik utama pembicaraan.
"Denger-denger, penampilan mereka bener-bener kacau ya?"
"Iya, katanya sih ada yang kesurupan segala."
"Makanya, jangan sok modern! Balik aja ke musik tradisional."
Asha, pemain quartom yang biasanya ceria dan penuh semangat, berjalan menunduk di sepanjang koridor. Ia berusaha menghindari tatapan orang-orang, tetapi percuma. Setiap langkahnya terasa berat, seolah semua mata tertuju padanya.
"Eh, lihat tuh, si Asha anak marching band!"
"Gimana perasaannya jadi bahan lelucon satu kota?"
Asha menggigit bibirnya kuat-kuat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia mempercepat langkahnya, berharap bisa segera sampai di kelas dan bersembunyi dari dunia luar.
Namun, takdir seolah mempermainkannya. Saat ia hendak memasuki kelas, sekelompok siswa laki-laki menghadangnya. Mereka tertawa mengejek sambil menunjuk-nunjuk Asha.
"Woi, Asha! Gimana rasanya jadi marching band gagal?"
"Jangan-jangan kalian semua emang nggak becus main musik ya?"
"Mendingan bubar aja deh, daripada bikin malu sekolah!"
Asha terdiam sejenak.
Kedua tangannya mengepal di sisi rok seragamnya, tubuhnya sedikit gemetar—bukan karena takut, tapi karena menahan amarah yang membuncah di dada.
Tawa ejekan para siswa laki-laki itu terus menggema di lorong sekolah yang kini terasa sempit.
Beberapa siswa lain menonton dari jauh, sebagian tertawa, sebagian lagi hanya menatap iba.
Asha perlahan mengangkat kepalanya.
Tatapan matanya tajam, begitu dalam, sampai-sampai tawa mereka mendadak mereda.
“Udah puas?” ucap Asha tenang, tapi nada suaranya menusuk seperti pisau. “Kalian senang liat orang gagal, kan? Tapi pernah nggak kalian mikir, kalau yang kalian hina itu—orang yang udah berusaha sampai hampir nyiksa diri sendiri buat tampil sebaik mungkin?”
Salah satu cowok itu mendengus, mencoba tetap sombong. “Usaha tapi hasilnya nol ya percuma juga, Sha. Sekolah ini jadi malu gara-gara kalian.”
Asha tersenyum tipis, senyum sinis yang tenang tapi dingin.
“Setidaknya kami punya keberanian buat berdiri di depan ribuan orang dan mencoba,” katanya pelan tapi mantap. “Beda sama kalian yang cuma bisa bersembunyi di belakang, nyinyir tanpa ngerti gimana rasanya jatuh di atas panggung tapi masih mau bangkit lagi.”
Suasana mendadak hening.
Para siswa yang tadinya menonton kini saling pandang, sebagian bahkan menahan napas.
Asha melangkah mendekat, suaranya makin pelan tapi tegas.
“Kegagalan kami memang nyata. Tapi itu bukan akhir. Karena cuma orang yang berani gagal yang bisa tahu gimana rasanya berjuang. Dan kalian?”
Tatapannya beralih dari satu ke yang lain.
“Kalian cuma penonton—pengecut yang bahkan nggak punya nyali buat salah.”
Salah satu dari mereka hendak membalas, tapi Asha menatapnya tajam sekali—tatapan yang membuat cowok itu menelan kata-katanya sendiri.
Asha kemudian memutar tubuhnya dan berjalan masuk ke kelas tanpa menoleh lagi. Langkahnya tenang, tapi setiap langkah terasa menggema, meninggalkan keheningan panjang di koridor.