Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
MENIKAHI IBUNYA, MENCINTAI ANAKNYA

MENIKAHI IBUNYA, MENCINTAI ANAKNYA

Kevin Young | Bersambung
Jumlah kata
75.9K
Popular
1.1K
Subscribe
281
Novel / MENIKAHI IBUNYA, MENCINTAI ANAKNYA
MENIKAHI IBUNYA, MENCINTAI ANAKNYA

MENIKAHI IBUNYA, MENCINTAI ANAKNYA

Kevin Young| Bersambung
Jumlah Kata
75.9K
Popular
1.1K
Subscribe
281
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifePria MiskinMengubah NasibDarah Muda
Terjebak dalam belenggu hutang keluarga, Baskara Hermansyah yang baru berusia 22 tahun, seorang mahasiswa Teknik Informatika, semester terakhir yang cerdas terpaksa menandatangani pernikahan kontrak satu tahun dengan Vidya Jayanthi yang usianya tiga puluh tahun lebih tua darinya yang juga merupakan seorang CEO kaya raya yang penuh misteri. Pemuda itu menjalani hari-harinya dalam kemewahan palsu, menyembunyikan kebenaran dari semua orang, hingga putri Vidya, Heidi von Braun, si gadis blasteran kembali dari Jerman. Ketegangan, intrik, dan gairah tidak terduga mulai mengikis batas loyalitas Baskara. Akankah dia bertahan pada janji yang terikat uang, atau menyerah pada cinta terlarang yang mampu menghancurkan semua yang telah dia bangun? Cerita ini tentang sebuah kisah pengorbanan, pengkhianatan, dan penebusan yang lebih dalam dari sekadar hutang.
BAB 1 - Panggilan Mengerikan

Dering telpon itu menusuk di telinga, memecah kesunyian kos-kosan yang pengap seperti belati dingin yang menembus kulit Baskara Hermansyah. Pemuda itu tahu siapa yang menelepon, bahkan sebelum dia melirik ke layar ponselnya yang bergetar di atas meja kayu lapuk.

Sebuah nomor kontak asing, tapi rasa takutnya sudah sangat akrab. Dibiarkannya ponsel itu berdering, satu, dua hingga tiga kali, berharap mungkin, suara itu akan lelah dan menyerah. Namun, pada deringan keempat, keberaniannya menciut. Baskara menghela nafas panjang, mengumpat pelan, lalu meraih ponsel itu seolah mengangkat bom waktu.

“Halo?” suaranya terdengar serak, parau, seperti baru bangun dari mimpi buruk.

“Saudara Baskara Hermansyah?” Suara di seberang sangat tegas, tanpa basa-basi maupun intonasi yang ramah. “Ini dari Bank Mitra Usaha. Dengan Bapak Indra.”

“Ya, saya Ibas, maksud saya Baskara.” Jantung Baskara berdegup kencang, memukul-mukul dadanya seperti palu. “Ada apa, Pak?” Padahal dia tahu betul ada apa.

“Kami hanya ingin memberitahu kalau kami sudah mengirimkan surat peringatan terakhir kemarin, orang tua Anda juga sudah tahu itu,” ujar pria di seberang sana, suaranya terdengar seperti robot yang tidak memiliki empati. “Anda pasti sudah menerimanya, bukan?”

Baskara menelan ludah. Surat itu tergeletak di atas meja, amplopnya putih bersih tapi isinya berdarah-darah. Ancaman penyitaan rumah kedua orang tuanya dalam waktu 72 jam. “Sudah, Pak. Saya sudah baca.”

“Bagus. Jadi, Anda sudah tahu tenggat waktunya, bukan?”

“Tiga hari, Pak. Saya tahu.” Baskara meremas ponselnya. Tangannya berkeringat dingin.

“Tepat sekali dan kami ingin memastikan Anda memahami implikasinya.” Suara Indra terjeda, pria itu sengaja menciptakan ketegangan.

“Jika dalam 72 jam ke depan dana yang terutang, beserta denda dan biaya administrasi, tidak masuk ke rekening kami, maka dengan berat hati, kami akan melanjutkan proses eksekusi aset orang tua Anda. Sesuai perjanjian.”

Perjanjian, itulah kata yang menghantui Baskara. Perjanjian bodoh yang ditandatangani orang tuanya bertahun-tahun lalu, ketika bisnis orang tuanya berupa warung makan dan warung sembako masih di puncak kejayaan dan janji manis pinjaman bank terasa seperti jaminan surga, sekarang, surga itu berubah menjadi neraka.

“Pak, saya mohon, apa kita bisa bicara lagi? Saya sedang berusaha keras mencari jalan keluar.” Baskara mencoba agar suaranya terdengar meyakinkan, padahal dia sendiri tidak yakin.

“Upaya Anda sudah kami dengar berulang kali, Saudara Baskara,” sahut Indra tajam, ada nada jengkel di sana. “Ini bukan lagi negosiasi, tapi pemberitahuan final. Anda punya waktu sampai hari Jumat, pukul tiga sore. Lewat dari itu, tim penyita akan datang. Kami tidak akan menunda lagi.”

“Tapi, Pak…,” sela Baskara cepat, “semua ini aset orang tua saya! Rumah kami, tanah warisan… hanya itu yang mereka punya!” Baskara mulai panik, suaranya naik satu oktaf.

“Itu adalah jaminan yang mereka berikan, Saudara Baskara. Anda tahu risikonya. Kami sudah sangat toleran.” Terdengar desahan frustrasi dari seberang.

“Kalau tidak ada lagi yang ingin Anda sampaikan, kami anggap pembicaraan ini selesai. Semoga Anda bisa memenuhi kewajiban Anda. Selamat pagi!” Terdengar sambungan telepon terputus di sebrang.

Baskara hanya bisa terdiam, ponselnya masih menempel di telinga. Matanya menatap kosong ke dinding yang mengelupas. Tiga hari, 72 jam. Angka-angka itu berputar di kepalanya, menari-nari seperti setan.

Rumah masa kecilnya, tempat dia tumbuh besar, tempat orang tuanya menua, tempat semua kenangan manis dan pahit tersimpan. Semuanya akan hilang, disita dan dijual murah untuk menutupi hutang yang dia sendiri tidak tahu bagaimana cara melunasinya.

“Sialan!” Baskara membanting ponselnya ke ranjang, lalu mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Laki-laki itu berjalan mondar-mandir di kamar kos-kosan yang sempit, kakinya lalu menghentak ke lantai. “Bagaimana caranya melunasinya?!”

Diraihnya surat bank yang tergeletak di atas meja belajar. Angka yang tertera di sana terasa seperti beban ribuan ton. Miliaran rupiah.

“Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu tiga hari?” gumam Baskara kesal.

Sementara Baskara hanya seorang mahasiswa Teknik Informatika biasa, yang bekerja paruh waktu sebagai freelancer desain web. Uang yang dihasilkannya hanya cukup untuk biaya kuliah dan sedikit jajan. Jangankan melunasi miliaran, untuk melunasi ratusan juta saja dia tidak sanggup.

“Oke, tenang, Bas. Tenang.” Baskara mencoba menenangkan dirinya sendiri, tapi napasnya memburu. “Pasti ada jalan lain. Ayok mikir, mikir!”

Bergegas diraihnya laptop lalu membuka browser mencari informasi tentang pinjaman tanpa agunan.

“Pinjaman tanpa agunan?” gumam Baskara, “rasanya mustahil. Apa aku cari investor? Tapi siapa yang mau investasi ke mahasiswa tanpa pengalaman, tanpa koneksi, dan sedang dikejar bank?” Baskara merasa frustasi. “Apa aku harus jual ginjal?” Otaknya mulai berpikir hal-hal gila. “Aah, nggak-nggak, aku yakin ada cara lain.”

Baskara mencoba menghubungi beberapa teman lama yang dia tahu berasal dari keluarga berada, tapi tetap saja hasilnya nihil. Hingga akhirnya pemuda itu teringat sahabat dekatnya, Gilang.

“Halo, Gilang? Apa kabar, bro?”

“Baik, Bas! Tumben telpon? Ada apa nih?” tanya Gilang di ujung sana.

“Gini, Lang… gue mau nanya, lo ada kenalan nggak yang bisa bantu gue pinjem uang dalam jumlah yang gede gitu? Gue lagi butuh banget nih.”

Terdengar tawa Gilang di seberang, “Gede? Seberapa gede? Buat apa emang? Lo mau buka startup mendadak?”

“Bukan, Lang. Ini… ini urusan keluarga. Mendesak banget.” Baskara mencoba terdengar santai, tapi suaranya bergetar.

Gilang terdiam sejenak, ada jeda di antara mereka. “Gue nggak yakin, Bas. Kenapa nggak coba ke bank aja?”

“Bank udah mentok, Lang. Pokoknya butuh cepet banget. Ada nggak kira-kira?”

“Aduh, Bas. Kalau butuh cepat dan jumlahnya gede, itu biasanya riba, Bro… atau rentenir. Gue nggak mau nyeret lo ke sana.” Gilang terdengar khawatir. “Mending lo cerita aja deh masalahnya apa, siapa tahu gue bisa bantu nyari solusi lain.”

“Nggak, nggak… nanti aja. Makasih ya, Lang.” Baskara segera menutup telponnya. Gilang memang sahabat terbaik, tapi dia tidak bisa melibatkan laki-laki itu ke dalam masalah sebusuk ini. Apalagi, Gilang juga tidak akan bisa membantunya dengan nominal yang besar.

Baskara lalu mencoba menghubungi satu dua nama lagi, hasilnya tetap sama saja. Penolakan halus, janji kosong, atau tawaran yang tidak seberapa. Setiap panggilan yang gagal, setiap pintu yang tertutup, semakin mendorongnya ke tepi jurang.

Dan di tepi jurang itu, ada satu nama yang terus terngiang di benaknya yaitu Dandy. Dandy adalah sahabatnya sejak SMP, yang selalu punya jalan pintas untuk setiap masalah. Jalur-jalur yang ilegal, kotor, jalur yang dulu selalu Baskara hindari.

Dandy pernah menawarkan sebuah ‘pekerjaan’ padanya beberapa bulan yang lalu, saat Baskara mengeluh tentang kesulitan finansial orang tuanya.

“Bas, lo itu ganteng, tinggi, pinter, cerdas, badan juga bagus. Jangan sia-siain,” ujar Dandy saat itu sambil menyeringai. “Kalau lo mau, ada banyak tante-tante kesepian di luar sana yang rela bayar mahal buat ditemenin, yaaa… jadi ‘gigolo’ lah, Bas.” Baskara terhenyak.

“Istilahnya High-class escort, Bas. Lumayan buat nambah-nambah. Bisa nutupin semua hutang keluarga lo juga kalau lo mau.”

Saat itu Baskara langsung menolak dengan jijik. “Gila lo, Dan! Gue bukan cowok murahan kayak gitu!”

Dandy hanya mengangkat bahu, “Ya udah, gue gak maksa. Itu kalau elo mau. Kalau kepepet, kabarin aja. Gue punya banyak koneksi. Tenang aja.”

Koneksi, kata itu kini terasa begitu menggoda. Dulu, mungkin Baskara akan muntah mendengar tawaran itu. Harga dirinya, integritas-nya, semua menolak gagasan menjadi "gigolo".

Dia adalah Baskara Hermansyah, mahasiswa berprestasi, penerima beasiswa, calon insinyur, kebanggaan orang tua bukan penjaja diri untuk tante-tante yang kesepian.

Tapi sekarang? Apa artinya harga diri kalau rumah orang tuanya akan disita? Apa artinya integritas jika kedua orang tuanya akan kehilangan semua yang mereka miliki karena kegagalannya? Rasa jijik itu perlahan memudar, digantikan oleh keputusasaan yang menggerogoti.

Baskara menatap ke cermin, melihat pantulan dirinya yang kacau. Rambut tampak acak-acakan, mata merah, bayangan hitam di bawah mata. Dia terlihat seperti orang asing, bukan Baskara atau Ibas yang dia kenal. Ibas yang dulu tertutup, yang selalu menjunjung tinggi kehormatan, kini sedang berada di ambang kehancuran moral.

“Jadi… ini akhirnya?” Baskara berbisik pada pantulan dirinya sendiri di depan cermin. “Ini satu-satunya jalan?”

Pikirannya berteriak, “Tidak! Kamu nggak bisa melakukan ini, Ibas! Kamu akan menghancurkan dirimu sendiri!”

Tapi ada suara lain yang lebih kuat dan lebih mendesak, “Lalu apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan membiarkan orang tuamu menderita dan kehilangan segalanya? Apa bedanya kehancuran moralmu dengan kehancuran hidup mereka?”

Sebuah isakan tertahan, lolos dari bibirnya. Baskara lalu memejamkan mata, membiarkan air mata yang sudah lama dia tahan akhirnya tumpah.

Laki-laki itu menangis, bukan karena rasa takut, tapi karena merasa jijik pada dirinya sendiri, pada pilihan yang kini terbentang di hadapannya. Baskara telah mencari, mencoba, tapi tidak ada jalan lain.

Setelah beberapa jam, yang terasa seperti berhari-hari, Baskara akhirnya mengambil keputusan. Dengan tangan gemetar, diraihnya ponsel, menjelajahi daftar kontak yang jarang disentuh. Mencari nama yang dia benci untuk dihubungi yaitu Dandy.

Tak lama kemudian nomor itu terpampang di layar. Baskara menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Dia lalu menekan tombol panggil. Telpon pun berdering, setiap deringannya terasa seperti detakan jantungnya sendiri.

Halo, Bas? Tumben lo nelpon gue? Ada apa?” Suara Dandy terdengar santai di ujung sana, seolah dia sudah menunggu panggilan Baskara.

Baskara menelan ludah, suaranya tercekat di tenggorokan. Dia mencoba bicara, tapi lidahnya terasa kelu, tidak ada suara yang keluar. Pria itu merasa malu, terhina, dan putus asa.

“Bas? Lo masih di sana, ‘kan? Lo baik-baik aja?” tanya Dandy heran, suaranya mulai terdengar sedikit khawatir.

Sejenak Baskara memejamkan mata seraya berkata, “Dandy…” Laki-laki itu sudah tidak bisa menahannya lagi. Semua pertentangan moral dan harga diri yang coba dipertahankan, runtuh seketika. “Aku butuh bantuanmu.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca