Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kulkas Berjalan: Melebur Takdir Dingin

Kulkas Berjalan: Melebur Takdir Dingin

Creamkane | Bersambung
Jumlah kata
58.7K
Popular
100
Subscribe
14
Novel / Kulkas Berjalan: Melebur Takdir Dingin
Kulkas Berjalan: Melebur Takdir Dingin

Kulkas Berjalan: Melebur Takdir Dingin

Creamkane| Bersambung
Jumlah Kata
58.7K
Popular
100
Subscribe
14
Sinopsis
FantasiIsekaiPertualanganKekuatan SuperTransmigrasi
Ale Mahendra Aditama, seorang pragmatis dingin dari Jakarta, meninggal dalam pengeroyokan dan terbangun di dunia fantasi sebagai Risa, gadis desa yang pingsan. Dengan identitas baru dan kekuatan es misterius yang muncul dari tanda lahirnya, Ale (kini dijuluki 'Kulkas Berjalan') harus menyembunyikan masa lalunya dan meniru Risa yang asli. Meskipun awalnya menolak kehangatan keluarga angkatnya, ia perlahan mencair berkat ikatan tulus dengan orang tua dan teman-teman barunya, Juna dan Elara, seorang gadis misterius yang juga memahami dunia supernatural. Ketika Organisasi T dari Kota H yang korup mulai menyerang desa untuk mencari artefak 'Jantung Es' dan kekuatan Stasis, Ale harus menggunakan kecerdasan dan kekuatan dinginnya, yang kini didukung oleh kehangatan hati, untuk melindungi keluarganya, desanya, dan bahkan realitas antar-dimensi dari ambisi jahat Xerxes.
Bab 1. Suara Lonceng yang Asing

Bab 1. Suara Lonceng yang Asing

Tubuh Ale tersentak di atas ranjang kayu yang terasa keras. Ia mencoba mengingat rasa sakit, tetapi yang ada hanya keheningan. Penglihatannya kabur, mencium aroma herbal yang asing. Ia memaksa dirinya bangun dan menatap langit-langit yang terbuat dari kayu yang belum pernah dilihatnya. Otaknya, yang terlatih untuk memproses data dengan kecepatan kilat, segera mulai bekerja.

“Data input: ranjang kayu kasar, bukan kasur mewahku. Aroma: herbal, bukan pembersih lantai apartemen.”

Kepalanya berdenyut samar, bukan karena pukulan, melainkan karena kebingungan. Keheningan. Itu yang paling aneh. Jakarta tidak pernah hening. Jakarta selalu berisik, bising, penuh klakson, teriakan, dan hiruk pikuk kehidupan yang keras. Di sini, yang ada hanya suara embusan angin tipis dan sesekali kicauan burung yang aneh.

“Ini bukan gang gelap Jakarta,” bisiknya, suaranya serak dan asing di telinganya sendiri. “Sakitnya… ke mana?”

Ia mencoba menggerakkan tangannya, merasakan otot-otot yang terasa lebih ringan, lebih halus. Sebuah keanehan baru yang segera ia masukkan ke dalam daftar observasinya. Tidak ada bekas luka, tidak ada memar akibat pengeroyokan brutal yang seharusnya mengakhiri hidupnya. Yang ada hanya kulit mulus, sedikit pucat, dan terasa… perempuan.

“Tidak mungkin,” gumamnya lagi, sebuah penolakan logis terhadap data yang masuk. “Ini pasti halusinasi sisa trauma. Otakku sedang melindungi diri.”

Namun, sentuhan pada tubuhnya sendiri terasa nyata. Dada yang lebih kecil, pinggul yang lebih ramping. Panik? Tidak. Ale Mahendra Aditama tidak mengenal panik. Ia mengenal kalkulasi. Ia mengenal analisis.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan itu sederhana, dinding terbuat dari anyaman bambu yang dilapisi lumpur, lantai tanah yang bersih, dan sebuah jendela kecil yang ditutupi kain tipis. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk, menciptakan pola bayangan yang menari di dinding. Di sudut ruangan, ada baskom berisi air jernih.

“Refleksi,” ia memutuskan. “Aku butuh data visual yang lebih konkret.”

Dengan hati-hati, ia bangkit. Kakinya terasa sedikit goyah, namun secara keseluruhan tubuhnya merespons dengan baik. Ia berjalan menuju baskom, setiap langkah terasa aneh, seolah mengenakan sepatu baru yang belum terbiasa. Ia membungkuk, menatap permukaannya yang tenang.

Mata itu. Bukan matanya.

Mata di pantulan air itu bulat, dengan iris cokelat hangat yang memantulkan cahaya matahari pagi. Rambutnya panjang, hitam legam, terurai acak di bahu. Wajahnya mungil, dengan hidung kecil dan bibir tipis yang pucat. Usia sekitar delapan belas, mungkin sembilan belas. Jauh lebih muda dari usianya yang sesungguhnya, dua puluh enam tahun. Dan yang paling penting: itu adalah wajah seorang gadis.

“Ini… bukan aku,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Pragmatisme dinginnya mengambil alih. “Data sebelumnya tentang diriku sendiri harus diabaikan. Data baru: identitas fisik telah berubah secara fundamental.”

Tidak ada teriakan. Tidak ada tangisan. Bahkan tidak ada emosi yang melonjak. Kosong. Ale telah lama belajar untuk membuang emosi yang tidak efisien. Di dunia lamanya, di Jakarta, emosi adalah kelemahan, sebuah variabel yang bisa dieksploitasi musuh-musuh bisnisnya. Ia telah hidup dalam kehampaan yang nyaman, dikelilingi kemewahan yang tidak pernah memberinya kehangatan.

“Masa lalu,” ia mengevaluasi. “Ale Mahendra Aditama. CEO muda. Pragmatis, dingin. Diserang di gang gelap. Mati.”

Kini, ia adalah… siapa?

Ia menghela napas, napas yang terasa asing di paru-paru ini. “Baiklah. Ini adalah kenyataan baru.”

Penerimaan itu datang begitu saja, tanpa perlawanan. Mengapa harus menolak? Hidup lamanya, meskipun penuh kekuasaan dan uang, terasa hampa. Sebuah kemeja mahal yang terlalu ketat, tidak pernah benar-benar pas. Sebuah piala kosong yang indah. Tidak ada yang benar-benar ia pedulikan. Tidak ada yang benar-benar mempedulikannya.

“Tidak ada alasan untuk kembali,” pikirnya, suaranya internalnya kini terdengar lebih tegas. “Jika ini adalah kesempatan kedua, apa yang harus aku lakukan dengannya?”

Ia memindai ruangan lagi, mencari petunjuk. Sebuah laci kayu sederhana. Ia membukanya perlahan. Kosong. Hanya ada beberapa helai pakaian sederhana yang terlipat rapi. Di dinding, tergantung sebuah kalender sederhana dengan coretan tangan yang rapi. Semuanya menunjukkan kehidupan yang jauh dari hingar-bingar teknologi.

“Desa,” ia menyimpulkan. “Atau setidaknya, komunitas yang sangat terpencil. Tidak ada teknologi modern. Ini bukan Bumi yang aku kenal.”

Sebuah kesimpulan yang seharusnya memicu kepanikan, tetapi tidak bagi Ale. Baginya, ini hanyalah variabel baru dalam persamaan yang harus ia pecahkan. Dunia baru. Aturan baru. Permainan baru.

Ia berdiri di tengah ruangan, memproses semua informasi yang ia dapat. Ia merasa sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, tetapi posturnya tetap tegak, meskipun tubuh ini jelas tidak sebiasa tubuh lamanya. Ia mengangkat tangannya, mengamati jari-jari lentik yang bukan miliknya.

“Aku harus beradaptasi. Mengumpulkan data. Mempelajari lingkungan. Meniru siapa pun pemilik tubuh ini sebelumnya.”

Tiba-tiba, ia mendengar suara lonceng samar dari kejauhan, diikuti oleh gumaman orang-orang di luar. Suara itu terasa aneh, asing, namun juga entah mengapa… damai. Kedamaian yang tidak pernah ia alami di Jakarta.

Lalu, sebuah suara lain. Lebih dekat. Langkah kaki mendekat ke pintu kamarnya.

Ale segera kembali ke ranjang, berbaring seolah-olah ia masih sakit, menutup mata perlahan. Ini adalah instingnya. Berpura-pura. Mengamati tanpa terdeteksi. Sebuah taktik dasar yang sudah mendarah daging.

Pintu kayu tua itu berderit pelan, terbuka. Aroma sup hangat segera memenuhi ruangan, mengalahkan bau herbal yang samar. Sebuah sosok wanita paruh baya berdiri di ambang pintu, siluetnya memancarkan kehangatan yang asing di tengah cahaya pagi. Wajahnya keriput, namun senyumnya tulus, matanya memancarkan kekhawatiran yang murni.

“Nak, kamu sudah sadar?” suara itu lembut, penuh kasih. Wanita itu melangkah masuk, memegang mangkuk sup mengepul dengan hati-hati. “Syukurlah. Ibu khawatir sekali.”

Ale membuka matanya, menatap wanita itu. Ibu? Ibu yang mana? Ia tidak ingat pernah memiliki ibu yang tersenyum seperti itu. Ibu kandungnya telah meninggal saat ia kecil, dan ia dibesarkan oleh pengasuh yang digaji. Di dunia lamanya, kehangatan semacam ini selalu datang dengan harga, selalu ada motif tersembunyi di baliknya.

Wanita itu mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh kening Ale dengan kelembutan yang membuat Ale membeku. Kontak fisik yang tulus. Rasa asing yang menusuk.

“Bagaimana perasaanmu, Risa? Ada yang sakit?” tanyanya lagi, suaranya bergetar dengan kepedulian.

Risa. Nama itu. Jadi, ia adalah Risa.

Ale menatap mata wanita itu, mencari celah, mencari tanda penipuan, seperti yang selalu ia lakukan di Jakarta. Tetapi tidak ada. Hanya ada kehangatan murni yang menyakitkan untuk ia terima. Sebuah kehangatan yang tidak ia mengerti, tidak ia kenali, dan tidak ia inginkan untuk saat ini.

Ia hanya menatap dingin, tanpa berkedip, tanpa respons. Kosong.

Lanjut membaca
Lanjut membaca